KAUM PEREMPUAN, MEDIA SOSIAL DAN KEBUTUHAN INFORMASI
KAUM PEREMPUAN, MEDIA SOSIAL DAN KEBUTUHAN INFORMASI
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Ada yang menarik di dalam sessi tanya jawab pada acara Moderasi Beragama bagi Para Guru Madrasah Se Kabupaten Bangkalan. Acara yang diselenggarakan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror. Acara ini menghadirkan para kepala Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) dan juga guru-guru pada madrasah di Kabupaten Bangkalan. Acara ini diselenggarakan di Aula MAN Bangkalan, 24/05/2023, dan dihadiri oleh Kakankemenag Kabupaten Bangkalan, Ahmad Sururi, Kepala Madrasah Aliyah Negeri Bangkalan, Ali Wafa, dan tentu saja AKBP Dofir, Kanit Pencegahan Terorisme pada Densus 88 Anti Teror.
Pertanyaan yang menarik tersebut terkait dengan ungkapan saya dalam sessi presentasi yang saya nyatakan bahwa para ibu jangan secara terus menerus menonton Youtube, agar menonton Youtube atas apa yang diperlukan saja, jangan sampai kecanduan Youtube. Jika seperti ini nanti akan bisa menjadi masalah terkait dengan keluarga. Tidak dilarang menonton Youtube tetapi agar dibatasi sesuai dengan kebutuhan.
Pernyataan ini memantik respon langsung dari kaum Wanita. Pertanyaannya adalah “sekarang ini kita hidup di era media sosial, artinya kita harus terlibat di dalam dunia media sosial tersebut. Saya merasa kurang sepakat dengan narasumber, kenapa yang dijadikan sebagai sasaran larangan atau pengurangan nonton Youtube hanya kaum perempuan, kenapa yang lelaki tidak. Lalu, selama ini kami menggunakan media Youtube untuk kepentingan-kepentingan yang positif, misalnya untuk mengetahui berbagai informasi dan juga perkembangan informasi di dunia. Selain juga misalnya untuk memenuhi kebutuhan tentang resep makanan, pengetahuan agama dan informasi hiburan. Jadi tidak mungkin kami menutup begitu saja kecenderungan untuk menjadi bagian dari media sosial”.
Saya memberi respon balik atas pertanyaan ini. “Saya bersyukur bahwa Ibu-Ibu memiliki kecenderungan untuk melihat berbagai keadaan dan informasi di seputar kehidupan kita. Saya memang secara sengaja untuk menyatakan bahwa nonton Youtube itu kebolehan, akan tetapi yang boleh itu akan menjadi makruh bahkan haram jika kemudian jika itu kebablasan atau menjadi pecandu media sosial. Seakan kita berada di bawah tempurung jika tidak nonton media sosial. Bagi saya nonton Youtube, tik tok, WA, Instagram, Facebook itu boleh saja, tidak ada larangan. Hukumnya mubah. Akan tetapi yang boleh itu bisa menjadi larangan jika kemudian kita menomorsatukan media sosial dan melupakan sisi kehidupan lainnya.
Saya lanjutkan: “kita semua harus cerdas dalam bermedia sosial. Kita bisa menentukan apa yang penting dilihat dan apa yang tidak perlu ditonton. Kita harus cerdas memilih mana konten yang bermanfaat dan mana yang tidak. Kecerdasan bermedia sosial itu menentukan apakah kita sudah bisa mamahami dunia baru atau belum. Jika kita menjadi orang yang melakukan tindakan sharing saja apa yang didapatkan, maka itu pertanda bahwa kita belum dewasa di dalam bermedia sosial. Jika kita melakukan itu berarti kita sedang berada di dalam era transisi menuju peradaban digital. Kita masih masyarakat transisional.
Secara commonsense, waktu luang ibu-ibu lebih banyak dibandingkan dengan lelaki, kecuali bagi perempuan yang bekerja. Tetapi bagi perempuan yang menjadi ibu rumah tangga, maka waktu luangnya cenderung lebih banyak. Itulah sebabnya di antara pengalihannya adalah dengan menonton Youtube. Bagi perempuan yang tipenya seperti ini, maka dipastikan bahwa temannya adalah media sosial.
Sesungguhnya menjadi bagian dari dunia sosial tentu merupakan kebaikan, selama yang menjadi konten yang dicermatinya adalah konten yang positif. Misalnya mendengarkan ceramah-ceramah agama yang mendidik dan bukan ceramah agama yang merusak disharmoni di antara sesama umat Islam. Jadilah bagian dari konten-konten ceramah agama seperti ceramahnya Gus Baha’ atau Gus Muwafiq, atau Gus Miftah, Kyai Marzuki Mustamar dan da’i-da’i lain yang mengusung tema-tema yang moderat. Dan jangan menjadi pengikutnya da’i-da’i yang justru akan merusak terhadap ukhuwah Islamiyah. Saya kira para guru sudah tahu siapa yang di dalam konten ceramahnya itu bisa merusak citra Islam yang ramah menjadi Islam yang galak atau menakutkan.
Kita harus cerdas bermedia sosial. Oleh karena itu kita harus menjadi agen bagi literasi media tersebut. Para guru harus menjadi imam dalam literasi media sosial. Guru itu digugu lan ditiru atau dijadikan sebagai teladan. Makanya, para guru harus memberi contoh yang baik dalam memahami agama atau mengamalkan ajaran agama. Jangan sampai justru guru yang mengajarkan agama yang penuh kebencian dan bukan agama yang memberikan kasih sayang.
Kita yang akan merasa bersalah kalau negeri Indonesia yang aman dan damai ini lalu menjadi kacau balau, menjadi tidak aman dan penuh konflik sosial. Kitalah yang bertanggung jawab, sebab para gurulah yang akan mengantarkan anak didik kita akan kemana arah yang ditempuhnya. Mari kita sadari di tangan kitalah nasib bangsa Indonesia ke depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.