MENJAGA HARTA DAN KETURUNAN UNTUK KEBAIKAN
MENJAGA HARTA DAN KETURUNAN UNTUK KEBAIKAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSI
Kita memang hidup di dunia dan salah satu yang menjadi penting bahwa kita harus memenuhi kebutuhan biologis kita. Kebutuhan biologis tentu tidak bisa kita hindari karena kita merupakan makhluk yang dapat hidup secara fisikal dengan memenuhi kebutuhan biologis dimaksud. Itulah sebabnya orang menjadi pontang panting untuk memenuhi kebutuhan utama ini.
Kita sekarang sedang hidup di era kapitalisme, di mana orang menganggap harta dan kekayaan adalah segala-galanya. Bahkan untuk memperoleh kekayaan juga menggunakan berbagai macam cara, misalnyab dengan melakukan tindakan koruptif, dan melakukan tindakan moralitas rendah untuk memperolehnya. Banyak orang yang menganggap bahwa harta adalah segala-galanya, makanya juga harus diperoleh dengan bermacam-macam cara, termasuk cara yang tidak terpuji dan bertentangan dengan agama. Bagi orang yang seperti ini, maka agama hanyalah lapisan tipis di luar dan dengan mudah bisa dikibaskan di saat bersentuhan dengan pemenuhan keinginan untuk menjadi kaya.
Sesungguhnya, kekayaan itu sudah semenjak lama, bahkan di masa-masa kenabian, menjadi cerita yang mengasyikkan. Kita ingat peristiwa Qorun, kapitalis kuno, seorang pemuja kekayaan, seorang penggila harta dan menumpuk hartanya sedemikian banyak, yang akhirnya justru mati dalam belenggu kekayaannya. Harta dan dirinya masuk ke dalam lobang bumi karena terkena gempa bumi, yang diyakini sebagai adzab Tuhan.
Nabi Sulaiman juga dikenal sebagai seorang raja dengan kekayaan yang luar biasa. Akan tetapi kekayaan tersebut didarmabhaktikan untuk kepentingan rakyatnya. Bahkan pernah menyembelih 1.000 unta karena kelalaiannya melaksanakan shalat ashar karena memelihara unta-unta tersebut. Penyembelihan unta adalah lambang betapa mahalnya harga satu shalat.
Khadijah Alaihas Salam Istri Nabi Muhammad SAW adalah wanita yang sangat kaya. Dua pertiga tanah di Makkah Al Mukarramah adalah miliknya. Harta yang demikian banyak tersebut didapatkan karena usahanya dalam perdagangan internasional. Tetapi seluruh hartanya itu kemudian habis menjelang wafatnya karena digunakan untuk membiayai perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW menangis di saat menjelang kematiannya, karena kain kafan saja tidak dimilikinya. Tetapi Allah Yang Maha Rahman dan Rahim kemudian memberikan kain untuk menjadi kafannya. Subhanallah, Maha Suci Engkau Ya Allah atas Rahman dan Rahim-MU.
Manusia memang di dalam Alqur’an, Surat Al Kahfi ayat 46, dinyatakan: Wal Malu wal Banuna zinatul hayatid dunya, yang artinya: “bahwa harta dan keturunan adalah hiasan kehidupan dunia”. Manusia di dalam hidupnya selalu mengagungkan harta dan keturunan. Dua hal yang menjadi kekuatan, kebanggan dan kesejahteraan manusia. Meskipun itu adalah kekuatan, kebanggaan dan kesejahteraan lahiriyah. Dengan harta yang banyak kita akan merasa memiliki otoritas atas kehidupan duniawi. Dengan keturunan kita juga merasakan menjadi orang yang bisa melestarikan generasi lebih lanjut. Makanya, manusia akan berusaha dengan sangat mendasar jika terkait dengan dua hal, harta dan keturunan.
Lanjutan ayat berikutnya adalah: “wal baqiyatus sahlihatu khairun inda rabbika tsawaban wa khairun ‘amala. Yang artinya: “akan tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhan serta lebih baik untuk menjadi harapan”.
Oleh Allah SWT, dijelaskan bahwa orang jangan hanya menjadikan harta dan keturunan itu sebagai keinginan dan pujaan, karena yang lebih mulia di sisi Allah adalah amalan-amalan shaleh yang pahalanya dipastikan akan diberikan oleh Allah kepada hambanya yang melakukan amalan shaleh dimaksud. Amalan yang baik sajalah yang akan menyelamatkan manusia, sedangkan amalan yang lainnya tidak. Jika menjadi kaya akan tetapi tidak menggunakan kekayaannya untuk kebaikan, maka hartanya itu akan menjadi boomerang bagi dirinya. Sebagaimana Qarun, yang kemudian meninggal dalam kehinaan. Akan tetapi Khadijah Alaihas Salam yang kaya tetapi wafat setelah mendarmabhaktikan hartanya, maka Sayyidatina Khadijah wafat dalam kemulyaan. Atau sebagaimana Nabi Sulaiman Alaihis Salam yang juga wafat di dalam kemuliaan. Atau seperti Syekh Hasan Syadzili, mursyid tarekat Syadziliyah, yang juga wafat di dalam kemuliaan.
Memiliki keturunan juga merupakan kewajiban bagi manusia. Manusia menjadi tidak komplit di dalam kehidupannya jika tidak memiliki keturunan. Jika ada pasangan suami istri yang lama tidak memiliki keturunan, maka harus melakukan upaya maksimal, misalnya melalui program kehamilan dan sebagainya. Sekali lagi keturunan itu rasanya seperti harga mati bagi sebuah keluarga. Keturunan adalah kebanggaan dan kebahagiaan bagi sebuah keluarga dan kerabatnya.
Namun demikian, yang sungguh sangat penting adalah bagaimana kita memanej harta dan keturunan. Di antara cara yang penting bahwa Islam sudah memberikan instrument untuk harta dan kekayaan, yaitu zakat, infaq dan shadaqah. Maka sebaiknya kita harus mengeluarkannya untuk kepentingan umat. Rasanya, kita belum bisa seperti Sayyidah Khadijah, yang hartanya habis untuk dakwah. Tetapi setidak-tidaknya kita harus mengeluarkan untuk infaq dan sedekah atau zakat.
Mengenai keturunan, maka hendaknya anak-anak keturunan kita harus menjadi anak dan keturunan yang shalih dan shalihah. Dengan menjadi anak yang shalih dan shalihah, maka kita akan dapat merasakan kenikmatan di alam dunia, bahkan di alam barzakh dan alam akhirat. Anak dan keturunan yang pada masa hidupnya mendoakan leluhurnya adalah dambaan bagi umat Islam, dan saya rasa kita semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.