UKHUWAH BASYARIYAH: RENUNGAN TENTANG INDONESIA
UKHUWAH BASYARIYAH: RENUNGAN TENTANG INDONESIA
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Saya ingin memperdalam tentang ukhuwah basyariyah, satu aspek dalam khutbah saya pada Masjid Nur Iman, pada waktu Hari Raya Idul Fitri 1444 H, Sabtu 1 Syawwal 1444 H atau 22 April 2023. Pada artikel ini sengaja saya pilih topik tersebut sebab di sinilah problem besar yang mengakibatkan pertentangan, dan bahkan konflik social di Indonesia, misalnya kasus Ambon, kasus Poso, kasus Kalimantan Barat dan beberapa tempat lain.
Indonesia merupakan negara yang sangat kompleks dilihat dari variasi etnis, ras dan agama serta golongan social. Bisa dibayangkan jika yang satu atas yang lain merasa lebih besar jumlahnya, lebih kuat dan luas wilayahnya, lebih superior dibanding yang lain, maka yang terjadi adalah persaingan, kontestasi, pertentangan dan bahkan konflik social. Jika semuanya tidak bisa dimenej dengan benar, maka akan menjadi hambatan dan tantangan yang luar bisa bagi kemajuan bangsa.
Untunglah bahwa masyarakat Indonesia memiliki pemahaman yang cair tentang identitas politik, identitas kesukuan, dan identitas agama. Yang beragama Islam meskipun jumlahnya banyak juga tidak selalu berpikir representasi. Yang suku Jawa jumlahnya banyak dan tidak berpikir representasi. Di Ambon yang seimbang agamanya juga tidak berpikir representasi. Di Manado, Bali, dan Papua juga tidak selalu berpikir represantasi. Ada perasaan kesamaan bangsa Indonesia di tengah kompleksitas kesukuan, agama dan ekonomi. Inilah kekuatan bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan berbagai identitas yang melekat padanya.
Kita memiliki tantangan politik dalam jangka dekat. Kita akan menghadapi gawe politik 2024 yang akan datang. Kurang dari setahun. Dan biasanya akan terjadi rivalitas dalam memenangkan pertarungan politik. Disebut oleh para ahli ilmu politik sebagai tahun politik. Tahun di mana terjadi pertarungan politik yang “mengeras” karena artikulasi kepentingan politik yang semakin menguat. Di Indonesia, ada yang disebut sebagai “politik aliran”. Artinya, bahwa ada beberapa aliran yang berkontestasi di dalam arena politik kebangsaan. Semuanya berebut satu tujuan: “mememangkan kontestasi politik dalam Pilpres dan pilihan legislative yang akan berlangsung”.
Menurut saya, bangsa Indonesia sudah memiliki pengalaman panjang dalam berkutat dengan masalah-masalah politik kebangsaan. Semenjak pra-kemerdekaan, post kemerdekaan hingga Indonesia modern. Dengan demikian, sudah kenyang makan garam politik praktis untuk menentukan apa yang terbaik bagi bangsa dan negara. Yang paling rawan adalah seputar pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965, dan hal ini bisa diselesaikan berkat kesigapan dan kebersamaan seluruh elemen bangsa Indonesia. Organisasi social keagamaan dan tentara serta masyarakat luas memberikan dukungan sepenuhnya untuk memberantas dan menghancurkan kekuatan komunisme dan akhirnya berhasil.
Tantangan kehidupan keagamaan. Yang tidak kalah adalah konflik social bernuansa agama. Kasus Ambon, kasus Poso, kasus Mataram, Kasus Aceh dan sebagainya akhirnya bisa diredam karena kemampuan untuk melokalisir kasus dimaksud dalam ruang terbatas. Kasus yang relative besar tersebut tidak menyulut konflik yang lebih luas. Meskipun di era media social yang digdaya, akhirnya kasus-kasus tersebut bisa diredam dengan kebersamaan alih-alih membuat kegaduhan. Termasuk juga tindakan bom bunuh diri yang meresahkan dan menyedihkan. Meskipun kecil jumlah yang ekstrim tetapi tetap perlu kewaspadaan.
Di dalam konteks ini, maka Islam mengajarkan tentang ukhuwah basyariyah atau persaudaraan berbasis kemanusiaan. Di dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori terdapat potongan hadits yang menyatakan: “kunu ibadallahi ikhwana”. Yang artinya: “jadilah hamba Tuhanmu yang bersaudara”. Islam mengajarkan agar kita dapat menjadi sesama umat manusia yang bersaudara. Jadi bukan hanya bersaudara sesama agama tetapi persaudaraan sesama manusia. Manusia di dunia sesungguhnya adalah bersaudara. Semua merupakan keturunan Nabiyullah Adam, dan kala banjir besar melanda seluruh dunia, maka putra Nabi Nuh AS, yaitu Syam, Yafeth dan Ham kemudian menurunkan tiga etnis besar di dunia, yaitu Ras Negroid, Ras Mongoloid, dan Ras Kaukasoid. Masing-masing menghuni Eropa, Afrika dan Asia. Jadi, meskipun sekarang terjadi ras-ras yang berkembang sedemikian banyak, hakikatnya terdiri dari tiga ras besar.
Oleh karena itu, apapun tantangan di dalam kehidupan, seperti tantangan politik, keberagamaan, social dan ekonomi, akan tetapi harus kembali kepada ikatan primordial bahwa sesama manusia harus saling mengasihi dan menyayangi. Hanya sayangnya bahwa yang banyak terjadi adalah kasus konflik social atau peperangan dibandingkan dengan kedamaian. Masa konflik di dalam sejarah manusia jauh lebih panjang dibandingkan dengan sejarah perdamaian.
Untuk menjadi manusia yang mengedepankan ukhuwah basyariyah, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, menyadari bahwa manusia tidak hidup sendiri. Tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Jauhi keinginan untuk menang sendiri dan menguasai sendiri. Yang penting adanya kemauan untuk berbagi tidak hanya bagi kelompoknya tetapi juga merangkul yang berbeda. Umat menjadi kuat jika antara yang sama dan berbeda dapat menjadi satu kesatuan.
Kedua, menahan nafsu amarah atau nafsu angkara murka. Sumber masalah kemanusiaan adalah keangkaramurkaan. Keinginan untuk menguasai dan memiliki semua hal adalah awal dari malapetaka. Makanya, benar yang dinyatakan Nabi Muhammad SAW bahwa jihad yang besar adalah jihad melawan hawa nafsu. Kendalikan hawa nafsu agar ukhuwah basyariyah akan bisa dirajut dengan baik.
Ketiga, menjaga harkat dan martabat kemanusiaan. Tidak ada yang lebih indah di dalam kehidupan sesama antar manusia kecuali kita menghargai, menghormati dan memulyakan manusia sebagai sebaik-baik ciptaan Allah SWT. Adapun kemudian kita berbeda dalam warna kulit, etnis, suku bangsa dan agama hanyalah asesori dalam kehidupan. Substansi manusia adalah pada aspek kemanusiaannya. Yang paling hebat di antara asesori itu adalah ketaqwaan seseorang. Taqwa adalah pembeda di antara sesama manusia.
Keempat, menghargai kreasi manusia dengan sikap dan tindakan yang relevan dengan prinsip umum dalam beragama dan kehidupan bersama. Jangan ada di antara kita yang merasa bahwa hanya kita satu-satunya yang memiliki kreasi dan kemampuan untuk menyatakan kebenaran yang dihasilkan oleh kemampuan logika. Mari kita pahami bahwa dalam dunia tafsir agama sekalipun, maka kebenaran itu tidak tunggal. Ada para penafsir lain yang juga perlu untuk diapresiasi. Yang mutlak benar hanya Allah, Rasul dan kitab sucinya. Yang bukan itu adalah tafsir dan kita harus menoleransi atas perbedaan.
Kelima, menjauhi kekerasan, baik kekerasan simbolik maupun actual. Keduanya akan menjadi awal petaka bagi kemanusiaan. Manakala terjadi kekerasan maka akan menghasilkan kekerasan baru atau munculnya spiral kekerasan. Kekerasan baik simbolik apalagi fisik akan meninggalkan trauma berkepanjangan. Oleh karena itu, agar terjaga ukhuwah basyariyah maka semua orang menyadari akan akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan social. Perang akan menimbulkan luka psikhis dan fisik dan untuk menyembuhkannya membutuhkan waktu tidak kurang dari 30 tahun.
Manusia diberikan oleh Allah kemampuan untuk membangun silaturrahmi berbasis pada ukhuwah basyariyah. Mari kita rajut kerukunan berdasar atas rasa kemanusiaan agar hidup kita menjadi aman dan damai.
Wallahu a’lam bi al shawab.