• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

JAGALAH KEYAKINAN KAMI: RENUNGAN RAMADLAN (24)

JAGALAH KEYAKINAN KAMI: RENUNGAN RAMADLAN (24)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Membaca judul artikel ini, sepertinya saya menyuruh Allah untuk menjaga iman saya. Sungguh tidak dimaksudkan untuk menyuruh Allah SWT agar Allah menjaga iman kami. Tetapi yang sesungguhnya yang saya maksud adalah permohonan kepada Allah SWT agar iman kami dalam kebenaran. Di dalam artikel ini saya akan membahas tentang doa nas’aluka yaqinan shadiqan, Ya Allah berikan kepada kami keyakinan yang benar.

Mengapa harus iman atau keyakinan yang benar? Islam mengajarkan tentang iman yang disebut sebagai arkanul iman. Yaitu iman kepada Allah, iman kepada Malaikat Allah, iman kepada Rasulullah, iman kepada Kitab Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada takdir Allah. Alqur’an dan Alhadits sangat jelas tentang arkanul iman tersebut. Tidak ada pertentangan tentang arkanul Iman di kalangan ulama-ulama ahli sunnah wal jamaah, hanya di kalangan kaum Syi’ah yang sedikit berbeda. Perbedaan ini tidak urgen untuk dibahas, sebab hakikat iman adalah kepercayaan kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Dzat yang diyakini merupakan pencipta langit,  bumi dan semua hal yang ada di alam raya.

Di dalam ilmu kalam memang terdapat varian pemikiran tentang Tuhan. Sekali lagi pemikiran dan bukan doktrin. Jika pemikiran, maka pasti ada varian karena berada di dalam ruang tafsir dan bisa berbeda. Pasti. Tidak ada tafsir yang berlaku mutlak. Semua nisbi yang bisa juga salah dan juga bisa benar secara konseptual. Oleh karena itu, kita  tidak usah risau jika kita tidak dapat mengakses langsung kepada Alqur’an dan Alhadits, karena ketidakmampuan kita dalam menafsirkan Alqur’an. Terkait dengan hukum-hukum ibadah kita ikuti saja pedoman dalam bentuk fiqih ibadah yang sudah dihasilkan oleh ulama-ulama terdahulu sambil menyadari  bahwa ada orang lain yang cara ibadahnya tidak sama dengan kita. Janganlah kita berselisih karena factor tafsir agama.

Yang penting bahwa kita telah menjadi orang Islam dengan segala atribut yang dilekatkan oleh orang lain tentang kita atau identitas yang melekat pada keislaman kita. Kebahagiaan sebagai umat Islam adalah kala kita dapat  menjalankan ajaran Islam secara memadai. Bisa menjadi Islam kaffah dalam konteks mengamalkan ajaran agama yang benar sesuai dengan tafsir para ulamanya. Kita tidak bisa mengamalkan Islam  langsung dari  Alqur’an dan Alhadits sebab menggunakan Bahasa Arab. Sedangkan kita minus Bahasa Arab. Itulah sebabnya kita harus mengikuti apa yang ditafsirkan oleh para ulama.

Pada Bulan Ramadlan, kita harus introspeksi diri atau ihtisaban tentang kesucian iman kita kepada Allah SWT. Artinya tidak terdapat unsur yang menyebabkan kemusyrikan. Yang menyebabkan iman kita ternoda. Apakah di dalam batin kita masih ada keraguan tentang Allah karena Allah yang sangat sir atau rahasia?. Allah yang tidak terjangkau. Allah yang misterius. Allah yang telah dicari orang selama 4000 tahun sebelum masehi. Apakah di dalam batin kita masih meyakini bahwa ada ilah lain yang harus dimulyakan?. Apakah kita masih meyakni bahwa ada kekuatan gaib lain yang menggerakkan dunia ini selain Allah?. Jika pemikiran dan hati kita masih seperti ini,  maka kita belum membebaskan pikiran dan hati kita untuk menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya ilah di dalam kehidupan kita.

Lalu kalau kita shalat itu menghadap Ka’bah, apakah kita menyembah ka’bah. Tentu bukan. Sebab ka’bah itu lambang atau symbol tentang kesatuan Islam, yang dijadikan sebagai pusat peribadatan. Ka’bah itu pusat peribadatan. Jadi sama sekali tidak dimaksudkan kita menyembahnya. Allah yang ada dibalik penciptaan Ka’bah itulah yang disembah. Jadi ka’bah, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Muhammad SAW adalah washilah Allah untuk manusia dalam mewujudkan relasi fisikal  sebagai lambang spiritual Islam dengan spiritualitas manusia.

Pembahasan yang seperti ini memang rumit, karena kita harus memperoleh penjelasan tentang hakikat Allah dan representasi-representasinya atau washilah-washilahnya. Itulah sebabnya ada yang menafsirkan bahwa kala manusia shalat, maka pikiran dihadapkan pada ka’bah sebagai symbol representasi ritual di dunia dan hati kita konsentrasi padanya. Focus pikiran dan hati ke ka’bah, dan merasa bahwa kita sedang berjalan di atas jembatan Shiratal Mustaqim, sementara itu di bawah kanan terdapat surga atau kenikmatan dan di bawah kiri terdapat neraka sebagai lambang kesengsaraan. Dengan cara seperti ini, maka kita akan bisa terfokus dalam beribadah kepada Allah. Kita jangkau lambang fisikal dalam beribadah, sebab kita tidak mampu menjangkau Allah yang sangat misterius. Inilah cara beribadah kaum awam seperti kita. Tentu berbeda dengan ahli spiritual atau kaum arif billah  yang sudah memasuki maqam  ilahiyah, sehingga sudah tersibak hijab antara diri dengan Allah. Kita tidak mampu menuliskannya atau menggambarkannya.

Puasa merupakan instrument untuk memurnikan keyakinan kita kepada Allah dengan melakukan amalan-amalan yang sesuai dengan amalan ramadlan. Puasa merupakan saat yang tepat untuk menjadikan ka’bah sebagai pusat ritual, saat yang tepat kita menjadikan Alqur’an sebagai washilah kita menuju Allah, dan menjadikan Nabi Muhammad SAW kekasih Allah sebagai washilah untuk mencapai keridlaan Allah. Jika kita ridla atas bacaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, maka Allah juga akan meridlai kita.

Di dalam bacaan doa iftitah di dalam shalat selalu kita baca: “la syarikalahu wa bidzalika umirtu wa ana awwalul  muslimin”, yang artinya kurang lebih: “tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dengan demikian itulah aku diperintahkan, dan aku adalah orang pertama yang berserah diri”. Marilah kita memohon kepada Allah agar keyakinan kita diselamatkannya, keyakinan kita dijaganya, dan akhirnya kita memperoleh derajat muttaqin dan akan berakhir kepada kebahagiaan. Amin.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..