Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

JANGAN  BERPUASA UNTUK INSTRUMEN KEDUNIAAN: RENUNGAN RAMADLAN (7)

JANGAN  BERPUASA UNTUK INSTRUMEN KEDUNIAAN: RENUNGAN RAMADLAN (7)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di masa lalu, orang-orang tua kita mengajarkan tentang pentingnya puasa untuk mencapai tujuan di dalam kehidupan. misalnya jika kita akan ujian, maka orang tua mengajak kita untuk berpuasa. Tujuannya adalah agar lulus. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi, misalnya agar memiliki kesaktian, maka ada orang yang puasa di atas pohon dengan tangan mendekap ranting kayu dan bahkan kalau ingin menjadi ahli santet orang juga berpuasa dengan teknik dan metodanya. Inilah pembukaan ceramah pemantik diskusi yang disampaikan oleh Dr. Sahid pada acara ceramah ba’da Shubuh di Masjid Al Ihsan pada Rabo, 29/03/2023. Ceramah yang biasanya hari Selasa pagi dicancel menjadi hari Rabo.

Selanjutnya dinyatakan bahwa Islam mengajarkan atau tepatnya mewajibkan umat Islam untuk puasa sebagai umat manusia di masa lalu agar manusia menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Puasa menjadi cara agar kita menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah, yaitu orang yang terus mengerjakan amal shaleh dan meninggalkan amalan yang jelek. Terus menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Allah menyatakan bahwa pada bulam puasa ini, maka siang hari diperintah man shoma ramadlana dan jika malam kita diminta man qama ramadlona.  Jadi pada siang hari berpuasa dengan keimanan dan penuh perhitungan agar kita menjadi bertaqwa dan jika malam kita qiyamul lail juga dengan keimanan dan perhitungan yang matang agar kita menjadi orang yang bertaqwa.

Ditambahkan bahwa ada empat kategori orang yang berpuasa: pertama, orang yang merasa puasa menjadi beban. Misalnya pernyataan yang berbunyi, “walah sudah puasa lagi”. Jadi ada nuansa tidak gembira dengan datangnya puasa. Kedua, orang yang biasa-biasa saja dalam menghadapi puasa. Hadir atau tidak bulan puasa itu berarti sama saja. Tidak senang dan juga tidak susah. Biasa saja. Ketiga, orang yang dalam berpuasa itu ritmenya naik turun. Ada kalanya bersemangat dan ada kalanya biasa saja bahkan tidak bersemangat. Keempat, orang puasa dengan sangat serius untuk menggapai keridlaan Allah swt.  Dia lakukan puasa secara sungguh-sungguh, tarawih, tadarrus Alqur’an dan menjalani dzikir yang sebanyak-banyaknya. Nah, kita masuk di mana. Semoga masuk kategori yang keempat.

Saya lalu melanjutkan pembahasan tentang berpuasa sebagai pendalaman atas materi yang sudah dibicarakan. Saya menggambarkan  bahwa ada tiga konsep besar yang bisa dijadikan sebagai analisis atas perilaku puasa kita: pertama, Puasa instrumental. Puasa  sebagai instrument dunaiwi. Atau saya sebut sebagai puasa instrumental. Puasa yang digunakan untuk memenuhi tujuan hidup duniawi. Misalnya untuk kepentingan kesaktian, menemukan orang yang dicintai, atau hal lain yang erat kaitannya dengan dunia. Oleh karena itu, jika kita puasa, maka cantolkan niat kita kepada tujuan menuju Allah, jangan hanya untuk kepentingan dunia. Innamal a’malu bin niyat. Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya. Makanya marilah kita berniat puasa untuk kepentingan duniawi bernuansa ukhrawi.

Kedua, puasa transcendental. Puasa yang dimaksudkan sebagai upaya agar kita dapat bertaqarrub ilallah. Yakni sebagai upaya agar kita dapat  berdekatan kepada Allah. Dalam dunia tasawwuf, maka puasa itu akan dapat menarik kemanusiaan kita menuju Allah SWT. Sering disebut sebagai alam lahut. Atau diri manusia diserap oleh kekuatan Allah SWT. Yang bisa seperti ini tentu adalah orang yang mengabdikan dirinya hanya kepada Allah saja. Puasa khas seperti ini akan dapat dilakukan sejauh kita sudah memasuki ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah semata. Rasanya masih sulit bagi orang awam untuk memasuki dunia puasa transcendental dimaksud.

Ketiga, puasa imanental. Puasa yang sungguh sangat khas dan hanya, sekali lagi hanya,  dapat dilakukan oleh orang-orang yang masuk atau dalam Bahasa Jawa disebut manjing dalam kedirian Tuhan dan manusia. Tuhan terserap di dalam keduniaan manusia. Inilah yang di dalam tradisi Islam Jawa disebut sebagai manunggaling kawulo lan Gusti atau kemenyatuan antara manusia dengan Tuhan. Orang yang bisa melakukan ritual seperti ini bisa dianggap sebagai penyelewengan dari aqidah atau syariah, karena kehidupannya memang sudah memasuki alam “kegaiban” yang tidak banyak manusia yang bisa memahaminya.

Di dalam  Islam dikenal ada konsep takhalli atau menjauhi segala yang bisa merusak relasi manusia dengan Tuhan, tahalli atau memasuki pintu dan menyelami relasi dengan Tuhan secara spesifik, dan akan terwujud tajalli atau Tuhan bersama kita atau yang juga sering disebut sebagai masuknya dunia manusia  kepada Tuhan atau masuk dalam alam lahut, manusia terserap ke dalam Tuhan atau bertaqarrub ilallah, dan ada konsep masuk dalam alam nasut atau Tuhanlah yang terserap dalam diri manusia yang spesifik dan bahkan kemudian menghasilkan pernyataan  anal haq. Sebagaimana Al Hallaj, Syekh Lemah Abang atau Syekh Abdul Jalil dan sebagainya.

Orang awam seperti kita memang sulit bisa masuk dalam taqarrub ilallah sebagaimana para ahli tasawuf yang memang fisiknya, perasaannya dan dzauqnya dan kapasitas yang diri dimilikinya memang sudah mencapai maqam seperti itu. Sebuah maqam yang tidak sembarangan diamanahkan  oleh Allah kepada semua manusia.

Yang penting janganlah kita jadikan puasa sebagai instrument untuk kepentingan duniawai semata, tetapi marilah kita jadikan puasa sebagai instrument untuk lebih dari itu, dengan cara meniatkan puasa kita untuk Allah saja.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..