Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA YANG MENCERAHKAN HATI: RENUNGAN RAMADLAN (2)

PUASA YANG MENCERAHKAN HATI: RENUNGAN RAMADLAN (2)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebenarnya saya ceramah Ramadlan pada malam ini. Akan tetapi karena kemarin malam itu adalah hari pertama untuk shalat tarawih, maka saya yang harus memberikan ceramah Ramadlan. Ini merupakan bonus bagi saya. Yang  jelas ini merupakan lahan pahala bagi saya karena saya bisa mentransfer sedikit pengetahuan saya tentang ibadah puasa yang kita kerjakan tahun ini. Takmir masjid menjadwalkan ceramah puasa akan dimulai pada kamis, 23 Maret 2023, namun karena permulaan puasa Ramadlan dimulai hari Kamis, maka akhirnya saya yang ketiban sampur untuk ceramah awal Ramadlan.

Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam acara ceramah Ramadlan 1444 H pada malam kedua, yaitu: Pertama, mengedepankan rasa syukur kepada Allah. Kita semua tentu harus tetap bersyukur kepada Allah SWT yang memberikan kekuatan fisik kepada kita semua untuk melakukan puasa sehari tadi. Tentu saja badan sedikit lemas, karena asupan gizi yang biasanya didapatkan pada pagi dan siang hari, tetapi karena puasa, maka asupan gizi hanya didapatkan pagi hari sebelum imsak dan subuh dan baru memperoleh asupan gizi lagi pada saat ifthar atau berbuka puasa. Bagi orang awam yang tidak terbiasa puasa, maka bisa jadi merupakan hal berat tetapi bagi para perindu puasa mungkin justru saat yang tepat untuk melakukan ibadah sebanyak-banyaknya.

Kita ini rasanya masih orang awam dalam berpuasa, belum menjadi orang khusus dalam pengamalan berpuasa. Ada orang yang hanya puasa Ramadlan saja dengan mengabaikan puasa-puasa sunnah lainnya, akan tetapi juga ada yang berpuasa Ramadlan dan juga puasa-puasa sunnah lainnya. Namun yang jelas bahwa kita sudah termasuk orang yang mengindahkan ajaran agama karena kita sudah melaksanakan puasa Ramadlan sebagai puasa wajib bagi umat Islam.

Kedua, tujuan puasa adalah Allah ingin menjadikan hambanya sebagai orang yang taqwa. Di dalam tradisi kaum arif billah, taqwa itu ada kaitannya dengan taqarrub ilallah. Artinya ada perasaan  untuk  menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya, dan semua itu dilakukan agar manusia dapat berdekatan dengan Allah SWT. Jadi sesungguhnya Allah memberikan peluang kepada hambanya untuk mendekat kepada-Nya.

Tentu saja ada yang bisa mendapatkan peluang dan memanfaatkannya dan ada yang berpeluang tetapi tidak mampu memanfaatkannya. Ada orang yang dengan mudah bisa mengakses kedekatan dengan Allah dan ada yang sangat sulit. Tetapi tentu semuanya harus dengan usaha yang sungguh-sungguh. Man jadda wa jadda. Siapa yang berusaha sungguh-sungguh untuk menggapai kedekatan dengan Allah, maka peluang untuk mendapatkannya tentu jauh lebih besar.

Di sini tidak ada hak-hak istimewa dalam berdekatan dengan Allah. Tuhan membuka dengan lebar peluang untuk mendapatkannya. Status dekat atau jauh dengan Allah bukan karena factor keturunan akan tetapi karena factor usaha. Memang factor genealogis itu ada pengaruhnya, akan tetapi bukan berarti bahwa genealogis itu segala-galanya. Semua tergantung dengan amal perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Itulah sebabnya para waliyullah itu adalah orang yang hebat di dalam tirakat atau ikhtiar agar memperoleh pencerahan dari Allah SWT. Di dalam tradisi Jawa disebut gentur tapane atau kuat mujahadah kepada Allah SWT. Gemar puasa dan ibadah lainnya agar bisa sampai kepada Allah SWT.

Ketiga, puasa adalah sarana pencerahan jiwa. Puasa itu merupakan upaya untuk mencerahkan jiwa manusia agar lebih terang pandangannya terhadap Allah swt. Melalui pelatihan untuk sabar, syukur, tawakkal dan mengekang diri dari hawa nafsu, maka  hal tersebut sesungguhnya merupakan cara agar kita berada di dalam cahaya Allah SWT.

Manusia memiliki cahaya Allah karena manusia merupakan tiupan ruh dari Allah SWT. Artinya, manusia memiliki peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hanya saja untuk mendekat tentu harus ada gelombang yang sama. Ibaratnya, jika Allah itu berada di dalam gelombang kesucian, maka yang mendekati harus berada di dalam gelombang kesucian. Suci badan dapat dibersihkan dengan berwudlu, tetapi yang lebih penting adalah suci pikiran, perasaan dan hati.

Suci pikiran artinya di dalam pikiran kita tidak terdapat benih-benih pikiran jahat, pikiran ingin melakukan kejelekan,  tidak ingin mencelakakan orang, tidak ada pikiran untuk menghina orang, tidak adan pikiran untuk mendeskreditkan orang dan tidak ada pikiran untuk menghancurkan kemanusiaan. Pikiran  kotor  yang bersumber dari nafsu amarah dan nafsu lawwamah. Sebaliknya pikiran berbuat baik  berbasis pada nafsu muthmainnah.

Perasan yang suci adalah perasaan yang berada di dalam keinginan untuk berempati atas orang lain dan bukan perasaan untuk membenci orang lain. Yang paling susah adalah bagaimana mengubah rasa benci menjadi cinta, mengubah rasa antipati menjadi simpati, dan menempatkan diri dalam nuansa empati. Ada orang yang lama menyimpan rasa benci dan ada orang yang cepat membuang rasa benci. Allah tidak bisa didekati jika perasaan kita berada di dalam kubangan kebencian atas yang lain.

Hati yang suci adalah hati yang didasari oleh bersemayamnya nafsu muthmainnah atau hati yang tenang, yang penuh  rasa syukur, rasa tawakkal, rasa pengabdian kepada Allah dan keinginan untuk terus berada di  jalan Allah. Hadits Nabi Muhammad SAW menyatakan: “inna fil jasadi mudghatan, faidza shalaha shalahal jasadu kulluhu, wa idza fasadat fasadal jasadu kulluhu, ala wa hiya qalbu”. Hati adalah segumpal darah yang akan menyelamatkan manusia dan juga mencelakakan manusia. Jika hatinya baik maka baiklah seluruh kehidupannya dan jika jelek maka jeleklah seluruh kehidupannya.

Puasa merupakan sarana untuk memilih, apakah kita akan berusaha dengan puasa untuk memperoleh pencerahan atau sebaliknya akan biasa-biasa saja seperti tidak ada apa-apa. Semuanya tergantung kita semua.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..