RAWE-RAWE RANTAS MALANG MALANG PUTUNG: TRADISI HEROIK ORANG JAWA
RAWE-RAWE RANTAS MALANG MALANG PUTUNG: TRADISI HEROIK ORANG JAWA
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Orang Jawa memiliki banyak ungkapan yang menggambarkan tentang semangat dan kerja keras untuk kehidupan. banyak unen-unen orang Jawa yang disalahpahami, misalnya nggremet-nggremet angger slamet dan alon-alon waton kelakon, yang dianggap sebagai penghambat kemajuan. Dianggap sebagai budaya tidak efektif dan tidak efisien. Bahkan yang lebih parah dianggap sebagai anti kemajuan. Sungguh salah orang memahami budaya Jawa seperti itu. Dua tradisi tersebut bukanlah anti perubahan atau anti kemajuan, tetapi sebenarnya adalah budaya hati-hati, agar proses dan hasilnya benar.
Tradisi Jawa sesungguhnya anti grusa-grusu atau anti ketergesa-gesaan. Budaya Jawa itu anti mental menerabas. Mental menerabas sebenarnya diakibatkan oleh keinginan memperoleh sesuatu dengan cepat. Mental ini yang menyebabkan orang ingin sukses secara cepat atau menjadi kaya secara cepat dan akhirnya melupakan bahwa produk yang diperoleh secara cepat dengan cara yang tidak etis, juga akan menghasilkan ketidakselamatan. Ada ungkapan di dalam Bahasa Inggris, easy come easy go. Yang datang cepat juga akan pergi dengan cepat. Betapa banyak orang yang menghasilkan kekayaan melimpah dengan cepat tetapi berakhir dengan kehidupan yang nista karena dipenjara.
Kembali kepada tema kita sekarang, maka bagi Orang Jawa terdapat ungkapan yang luar biasa, yaitu: “rawe-rawe rantas malang-malang putung”. Arti harafiyahnya adalah tumbuhan yang mengganggu tanaman harus disingkirkan dan yang menghalagi agar dipotong. Arti secara istilahnya adalah jika ada yang menghalangi atas maksud dan tujuan yang sudah dicanangkan agar dapat disingkirkan atau dipatahkan. Inilah prinsip yang menunjukkan kekuatan jiwa dalam upaya mencapai tujuan.
Prinsip dalam tradisi Jawa ini bukanlah sikap permisif, yang terkait dengan tujuan menghalalkan segala cara. Tetapi harus tetap berada di dalam prinsip mencapai tujuan yang baik dengan cara yang baik. Orang Jawa secara etika tidak diperkenankan untuk mencapai tujuan dengan cara yang tidak etis. Misalnya ingin menjadi kaya dengan cara korupsi, menjadi tinggi jabatannya dengan kolusi, dan menjadikan diri dan kerabatnya dalam keberhasilan dengan nepotisme.
Islam sesungguhnya mengajarkan satu prinsip “Jihad” tidak dalam konteks “perang” di dalam negara yang damai, akan tetapi di dalam konteks “berusaha secara sungguh-sungguh”. Jika seorang pelajar maka dia harus belajar keras, jika mahasiswa harus berusaha keras agar sukses, jika pekerja juga harus bekerja keras agar berhasil, jika pegawai negeri juga harus bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, jika pengusaha juga harus bekerja optimal agar sukses usahanya. Di dalam pepatah berbahasa Arab dinyatakan “man jadda wajadda”, siapa yang berusaha secara sungguh-sungguh maka pastilah berhasil. Peribahasa di dalam Bahasa Indonesia dinyatakan “belajar pangkal pandai”, “hemat pangkal kaya”. Artinya agar bisa pandai maka harus belajar sungguh-sungguh dan jika ingin kaya maka jangan boros dan harus berhemat. Semuanya tidak terkait dengan mental menerabas, misalnya tanpa belajar ingin dapat nilai bagus, maka terpaksa nyontek, tanpa kerja keras ingin kaya, maka korupsi.
Ungkapan rawe-rawe rantas malang-malang putung tersebut pernah menjadi ungkapan sakti pada waktu perang kemerdekaan. Kala peperangan melawan kaum penjajah, Belanda dan sekutunya berlangsung maka Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari mencetuskan gagasan untuk melakukan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945 yang sangat terkenal di dalam sejarah perjuangan bangsa. Tanggal 10 November 1945 menjadi ajang pertempuran masyarakat Surabaya dengan Belanda dan sekutunya. Para santri, para prajurit dan masyarakat saling bahu membahu untuk mempertahankan kota Surabaya dari penguasaan penjajah. Para pejuang itu bisa membunuh Jenderal Mallaby pimpinan pasukan Sekutu dalam perang Surabaya. Bendera di atas Hotel Oranje, yang semula berwarna Biru, Merah dan putih atau warna bendera Belanda, maka yang warna biru disobek sehingga yang tertinggal warna adalah warna merah putih. Teriakan Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar yang dikumandangkan Bung Tomo melalui RRI Surabaya begitu mempengaruhi atas mindset para pejuang.
Para pejuang di Surabaya itu hanya berbekal bambu runcing, sementara itu para penjajah menggunakan senapan atau bedil, akan tetapi dengan semangat jihad atau rawe-rawe rantas malang-malang putung, maka pasukan Balanda dan sekutu berhasil dipukul mundur. Begitulah heroiknya para mujahidin yang berperang pada 10 November 1945. Sejarah seperti ini harus menjadi common consciousness dari semua warga negara Indonesia.
Para generasi muda harus belajar sejarah, bahwa mempertahankan negeri ini sungguh-sungguh dengan jihad di jalan Allah dengan mengorbankan jiwa dan raga. Jihad bukan dalam bentuk melawan bangsa sendiri dan untuk mencapai keinginannya sendiri, tetapi jihad melawan musuh yang akan menjajah negeri ini. Pada era damai tentu tidak cocok menggunakan makna jihad dalam konteks perang, tetapi harus menggunakan konsep jihad dalam berjuang untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi kita masing-masing.
Wallahu a’lam bi al shawab.