OJO ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA: FILSAFAT HIDUP ORANG ISLAM JAWA (BAGIAN KEDUA)
OJO ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA: FILSAFAT HIDUP ORANG ISLAM JAWA (BAGIAN KEDUA)
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Sebagai orang yang bukan ahli di dalam ilmu Bahasa, maka saya tentu tidak berkeinginan untuk mencari asal usul kata adigang, adigung lan adiguna. Saya juga tidak akan melacak semenjak kapan konsep orang Jawa ini menjadi unen-unen atau petuah dan pedoman di dalam kehidupan riil masyarakat. Tetapi yang jelas, ungkapan ini benar-benar memiliki makna yang agung dan penting dalam merenda kehidupan masyarakat Jawa yang kita cintai ini.
Dua konsep sebelumnya, adigang lan adigung sudah saya jelaskan berbasis pada beberapa prinsip di dalam agama Islam, yang memang kompatibel dengan filsafat Jawa ini, bahkan secara terus terang saya nyatakan bahwa ketiga konsep ini merupakan pedoman bagi masyarakat Islam Jawa. Saya menduga bahwa ungkapan ini berasal dari ajaran waliyullah di Jawa, di mana di banyak makam waliyullah terdapat pernyataan, misalnya: wenehono payung marang wong kang kepanasan, wenehono mangan marang wong kang kaluwen, lan wenehono busono marang wong kang kawudan. Jika dimaknai maka artinya adalah: “berikan pertolongan kepada orang yang memerlukan perlindungan, berikan makan bagi orang yang kelaparan, dan berikan pakaian bagi orang yang berketelanjangan”. Makna mendalam dari pedoman ini adalah berikan kepada orang lain yang memerlukan perlindungan bagi yang berkesengsaraan, berikan asupan berupa makanan fisik dan rohani bagi yang memerlukan dan berikan kepada orang yang terlupakan dengan dirinya akan pedoman agama yang benar.
Para waliyullah memang dikenal sebagai keturunan Rasulullah yang memasuki dunia filsafat Jawa dengan tuntas. Meskipun para waliyullah tersebut berasal dari tanah Arab akan tetapi sama sekali tidak berkeinginan menjadikan orang Jawa sebagai orang Arab. Mereka justru berprinsip “Hangajawi” dan bukan “Hangarabi”. Jadilah orang Islam Jawa dan bukan orang Islam Arab. Begitulah kebajikan dan kebijakan para waliyullah dalam Islamisasi di Jawa bahkan di Nusantara.
Kedua, Ojo Adiguna, artinya adalah pemahaman, sikap dan tindakan yang berbasis pada pikiran bahwa dialah yang paling bermanfaat. Tidak ada orang lain yang melebihinya dalam kemanfaatan bagi orang lain. Tanpa perannya maka tidak akan terjadi semua yang ada. Hanya melalui perannya, maka segalanya bisa berhasil. Orang yang seperti ini mengabaikan peran sekecil apapun yang dilakukan orang lain. Ujung-ujungnya orang seperti ini ingin dianggap sebagai seorang yang paling hebat, paling top markotob dan paling fungsional di dalam kehidupan. Di dalam dunia tarekat bisa disebut sebagai sifat ananiyah. Sifat keakuan atau sifat egoisme, yang bisa merusak relasi social di tengah kehidupan bermasyarakat.
Di dalam ajaran Islam digambarkan tentang bagaimana Iblis merasa lebih dibandingkan dengan manusia yang diciptakan Allah SWT. Ketika Iblis diminta oleh Allah SWT untuk bersujud kepada Adam AS., maka Iblis menolaknya, sebab dia merasa lebih ditinjau dari sisi penciptaan dan proses penciptaannya. Iblis menyatakan bahwa dia diciptakan dari api murni, sedangkan Adam AS diciptakan dari tanah. Jadi dia lebih hebat dan lebih manfaat dibandingkan dengan manusia. Cerita seperti ini dapat dibaca di dalam Alqur’an, surat Albaqarah, ayat 34. Sebagaimana ayat ini, maka tidak hanya Iblis yang diminta untuk bersujud kepada Adam AS, akan tetapi juga Malaikat. Iblis menolak kehendak Allah sehingga menjadi kafir dan Malaikat melaksanakan sujud kepada Adam AS dan menjadi hamba Allah yang taat.
Di dalam sejarah Nabi Muhammad SAW, maka juga kita dapati nama-nama misalnya Abu Jahal dan Abu Lahab. Dua orang dan banyak lainnya yang juga merasa lebih berfungsi atau berperan pada masyarakat atau Suku Quraisy. Bahkan begitu jahatnya kelakuan Abu Lahab, maka Namanya diabadikan di Alqur’an, surat Allahab, ayat 1-5. Abu Jahal dan Abu lahab serta lainnya sebenarnya dibebani oleh perannya di dalam sejarah m empertahankan keyakinan masa lalunya, yaitu mempertahankan ajaran agama yang sudah jauh melenceng dari tafsir agama yang benar. Agama Hanif, yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS, kemudian ditafsirkan dengan berbagai keyakinan local yang jauh melenceng dari agama yang benar. Nabi Ibrahim yang mengajarkan agama dengan system ketuhanan yang montheisme kemudian diubah atau ditafsirkan para ulama dan pemuka agamanya menjadi kepercayaan yang dilambangkan dengan patung-patung. Di sekitar Ka’bah didirikan patung-patung yang melambangkan Tuhannya. Jika pada masa Nabi Ibrahim dijadikanlah Ka’bah sebagai rumah Allah sebagai lambang monotheisme, maka diubah keyakinan tersebut.
Keinginan yang demikian kuat dari Abu Jahal dan Abu Lahab untuk mempertahankan kekuasaan dan berimplikasi pada fungsi yang berlebihan ini akhirnya mengantarkannya menjadi orang yang terus menerus memusuhi Nabi Muhammad SAW dan menjadikannya sebagai orang yang kafir, bahkan musyrik. Sampai meninggal, maka dua orang ini tetap di dalam keyakinannya pada agama pagan, yang tentu tidak mendapatkan pertolongan Allah SWT.
Adiguna tidak selayaknya menjadi sifat yang dimiliki oleh manusia. Bayangkan bahwa untuk minum air mineral saja berapa orang yang harus terlibat di dalamnya. Jika di dalam rumah terdapat Asisten Rumah Tangga, maka dia terlibat di dalamnya. Jika air mineral itu harus dibeli di toko, maka ada orang yang harus melayani kita untuk memperoleh air. Jika air itu datang ke toko, maka ada sopir ada kenek, ada penjaga jalan tol dan sebagainya. Jika air mineral itu dibuat di pabrik, berapa tenaga kerja yang terlibat. Jadi ini memberikan gambaran bahwa tidak ada orang yang bisa menyelesaikan segala sesuatu dengan dirinya sendiri. Selalu ada kehadiran orang lain.
Makanya setiap kesuksesan adalah keberhasilan bersama bukan hanya kesuksesan orang perorang. Saya sependapat dengan pernyataan: we are the team. Team is together every one achieve more. Ojo adigang, adigung lan adiguna.
Wallahu a’lam bi al shawab.