Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

OJO ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA: FILSAFAT HIDUP ORANG ISLAM JAWA (BAGIAN SATU)

OJO ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA: FILSAFAT HIDUP ORANG ISLAM JAWA (BAGIAN SATU)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Orang Jawa memiliki filsafat hidup yang sungguh adiluhung atau mulia dan bermanfaat. Filsafat hidup tersebut merupakan bagian dari etika di dalam kehidupan, terutama dalam relasinya dengan kehidupan social kemasyarakatan. Etika Jawa tersebut menggambarkan bagaimana seharusnya sikap hidup manusia Jawa dalam kaitannya dengan relasi social dan bahkan juga relasinya dengan Tuhan atau Gusti Kang Akarya Jagad atau Allah SWT dan juga dengan alam semesta.

Sebagaimana diketahui bahwa manusia memiliki tiga relasi dengan di luar dirinya, yaitu relasi dengan Tuhan Allah swt, relasi dengan sesama manusia dan relasi dengan alam. Di dalam Bahasa Agama disebut sebagai hablum minallah, hablum minan nas dan hablum minal alam. Relasi dengan Allah tidak ada maknanya jika relasi social kita jelek dengan sesama manusia. Relasi social kita juga tidak tepat jika relasi social tersebut tidak ditempatkan dalam relasinya dengan Allah swt, dan relasi dengan Allah SWT dan manusia juga tidak benar jika tidak ditempatkan dalam relasi dengan alam.

Agama  Islam mengajarkan agar kita menjalani kehidupan ini untuk memenuhi ajaran Baginda Nabi Muhammad saw: wama arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin. Yang artinya: “dan tidak aku turunkan engkau (Muhammad) kecuali untuk kerahmatan bagi seluruh alam”.

Pertama, Adigang adalah rasa, pikiran, dan tindakan yang mengagungkan kepada dirinya sendiri karena kekuatan yang dimiliknya. Orang yang adigang itu digambarkan bahwa dengan kekuatan yang dimilikinya maka dia akan dapat menguasai dunia. Orang yang adigang merasa pasti menang dalam berbagai pergulatan kehidupan di dunia. Pasti menang secara fisik dan pasti menang dalam hal lainnya.

Al Qur’an memberikan contoh orang yang merasa paling kuat, misalnya Jalut, seorang raksana karena besar dan tinggi badannya. Atau disebut sebagai Gholiat. Kisah Jalut, Thalut dan Dawud telah diceritakan di dalam Alqur’an, Surat Al Baqarah ayat 246-251. Kisah Jalut berperang melawan Thalut akan tetapi yang melawan Jalut adalah Dawud yang kelak diangkat menjadi Nabi untuk Bani Israel. Dawud mengalahkan Jalut dengan ketapel yang memang dijadikan sebagai instrument untuk mengalahkan Jalut. Jalut sebagai manusia yang tinggi besar dengan kekuatan raksasa, namun akhirnya bisa dikalahkan oleh Dawud dengan senjata ketapel. Artinya, bahwa kekuatan yang dimiliki oleh seseorang belum tentu akan menjadi instrument untuk memenangkan apapun di dalam kehidupan. oleh karena itu, tidak selayaknya manusia merasa menjadi yang terkuat atau adigang.

Kedua, Adigung adalah perasaan, sikap dan tindakan yang menggambarkan seseorang yang memiliki kekuasaan yang tiada taranya. Kekuasaan dirasakan sebagai sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menguasai dunia dan isinya. Orang terkadang lupa bahwa kekuasaan itu sesuatu yang terbatas, sesuatu yang tidak abadi bahkan sesuatu yang hanya sementara. Yang abadi hanyalah Allah, huwal awwalu wal akhiru, yang paling awal yang tidak ada awalnya dan yang terakhir tiada akhirnya.

Di dalam kehidupan manusia selalu terdapat orang yang merasa bahwa dia bisa melakukan apa saja terkait dengan kekuasaannya. Makanya dikenal ada orang yang menggunakan kekuasaan dengan jalan otoriter. Biasanya, ditopang oleh seperangkat pendukung yang juga memiliki kesamaan visi dan misinya, serta program-programnya. Semuanya dilakukan untuk mendukung kekuasaan yang otoriter dimaksud.

Sebagai contoh adalah Fir’aun. Dikenal sebagai seorang raja yang sangat berkuasa bahkan karena kekuasaannya itu, dia berpikir dia adalah Tuhan. (Alqur’an, surat Al Qashshash, 38). Karena kekuasaan yang dimilikinya itu, maka Fir’aun bisa melakukan apa saja yang dianggapnya benar sesuai dengan pemahamannya. Dia dikelilingi oleh sejumlah ahli yang selalu menuruti apa kemauan sang raja. Makanya, siapa yang menghalanginya maka akan dienyahkannya, dan siapa yang bisa menuruti kemauannya maka dianggapnya sebagai orang yang berjasa baginya.

Tetapi kemudian di dalam Alqur’an dijelaskan, bahwa akibat kesombongannya untuk menguasai semuanya, maka Fir’aun juga menindas orang Yahudi untuk dijajahnya. Akibat perlakuan buruk atas diri orang Israel tersebut, maka di bawah pengarahan Nabi Musa AS., maka kaum Yahudi diminta untuk meninggalkan Mesir dan pergi ke Palestina. Tapi sayangnya untuk ke tanah Palestina harus melewati Laut Merah. Kaum Yahudi ini nyaris bisa disusul oleh Fir’aun dan bala tentaranya. Tetapi berkat mu’jizat Nabi Musa, maka laut Merah tersebut dapat dibelah menjadi daratan, sehingga kaum Yahudi bisa selamat. Sebaliknya, Fir’aun dan tentaranya tidak selamat karena laut Merah kembali seperti semula. Fir’aun yang gagah perkasa dan berkuasa tersebut akhirnya harus meninggal dan kemudian jasadnya terselamatkan dan menjadi bukti atas kebenaran Alqur’an. (Alqur’an, surat Albaqarah, ayat 50).

Ada banyak ibrah yang diberikan oleh Allah kepada manusia melalui kitab sucinya, bahwa tidak layak manusia itu memiliki sifat adigang dan adigung,  sebab manusia itu sungguh makhluk yang lemah. Hanya karena Allah memberikan kekuatan akal saja sehingga manusia melebihi makhluk lainnya.

Marilah kita sadari bahwa kita ini sesungguhnya bukan siapa-siapa, dan bukan apa-apa. Sungguh tidak elok jika kita merasa kuat dan berkuasa sehingga kita bisa menggergaji dunia ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..