ILMU GAIB DALAM TRADISI JAWA
ILMU GAIB DALAM TRADISI JAWA
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Sebagaimana biasanya, setiap hari Selasa pagi ba’da Shubuh di Masjid Al Ihsan diselenggarakan acara ceramah yang diisi secara bergantian. Tidak ada jadwal yang khusus, artinya bisa diisi oleh siapa saja yang perlu bercerita tentang pengalamannya. Dr. Sahid, biasanya memberikan ceramah tentang aspek-aspek psikhologi dalam ibadah, misalnya mengajarkan tentang focus dalam shalat atau di dalam literatur Islam disebut sebagai khusyu’ dan lain-lain, sedangkan saya materi ceramah umum yang terkait dengan aspek agama dan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat Islam.
Selasa, 11 Oktober 2022, saya menguraikan tentang ilmu gaib dalam masyarakat kita dan bagaimana pandangan para ahli dalam bidang antropologi tentang ilmu gaib dimaksud. saya kemudian membagi ceramah ini dalam tiga bagian, yaitu: Pertama, pandangan tentang adanya ilmu umum. Ilmu umum di dalam dunia ilmu pengetahuan mencakup tentang ilmu alam, seperti sain dan teknologi. Sains meliputi ilmu Kesehatan, ilmu kedokteran, ilmu bumi, ilmu fisika, biologi, matematika dan sebagainya. Kemudian teknologi mencakup misalnya Teknik sipil, Teknik lingkungan, rekayasa genetic dan sebagainya. Sedangkan di sisi lain juga terdapat ilmu sosial, misalnya sosiologi, antropologi, ilmu politik, ilmu hukum, dan sebagainya, kemudian ilmu humaniora, misalnya sejarah, filsafat, sastra, Bahasa dan sebagainya. Semua ini dapat dikategorikan sebagai ilmu umum.
Kedua, terdapat pandangan mengenai ilmu agama, yaitu ilmu yang mengkaji tentang tafsir agama. Jadi bukan ilmu yang akan memverifikasi atau memfalsifikasi wahyu Tuhan baik di dalam Alqur’an atau sabda Nabi, ketetapan Nabi atau perilaku Nabi akan tetapi mengkaji tafsir para ahli tentang Alqur’an, tentang sunnah Nabi dan pemikiran-pemikiran para sahabat, tabi’in dan tabiit tabi’in bahkan para ulama lainnya. Jadi tidak mungkin kita sebagai umat Islam akan menyalahkan (memfalsifikasi) atau merevisi atau mengurangi dan menambah tentang wahyu Tuhan (memverifikasi). Jadi ilmu agama itu mengkaji pandangan para ahli dalam bidangnya untuk direvisi atau ditambah dan dikurangi. Sebagai tafsir atau paham tentu sah-sah saja untuk dilakukan hal itu. Imam Syaf’I sebagai ulama pemuka madzhab Syafi’iyah saja juga melakukan hal yang sama. Ada fiqih berbasis qaul Qadim (pendapatnya yang lama waktu di Basrah) dan kemudian ada qaul jadid (pendapatnya yang baru waktu di Mesir). Sekali lagi ilmu agama bukan mengkaji wahyu Allah untuk direvisi atau disalahkan, tetapi mengkaji tafsir ahli tentang wahyu Tuhan. Hal ini saya tekankan sebab masih banyak orang yang meragukan keberadaan ilmu agama, karena agama itu wahyu sehingga tidak bisa dikaji dengan perangkat ilmu yang positivistic, misalnya dengan pengamatan (observasi) dan pemikiran manusia (rasionalitas). Misalnya kita mengkaji tafsir Al Azhar karya HAMKA merupakan bagian dari ilmu Tafsir. Buya HAMKA menafsirkan atau menganalisis Alqur’an dan kita kemudian mengkaji karya Buya HAMKA. Tafsir Al-Azhar adalah ilmu tafsir karena pandangan Buya HAMKA tentang arti dan makna ayat dalam pandangan Beliau yang bisa saja berbeda dengan pandangan para ahli lain dalam menafsirkannya. Tetapi di dalam menafsirkan Alqur’an harus berpedoman kepada pendapat para sahabat, tabi’in dan tabiit-tabi’in yang pandangannya sudah memperoleh pengabsahan dari para ulama lain, meskipun juga ada yang tidak mengabsahkannya. Jadi bisa saja ada orang yang mengkaji pemikiran Tafsirnya Nashiruddin Al Bani, dan kemudian tidak sependapat dengannya dan ada yang sependapat dengannya. Maka tidak ada kemutlakan tafsir atau pandangan ulama tentang agama. Sebagai orang awam, kita bisa mengambil yang cocok asalkan ada runtutan atau garis lurus yang membenarkan amalan yang dilakukan dan kemudian kita mengikutinya. Kita tidak menjadi pengikut buta, tetapi selalu ada yang mengajarkan kepada kita tentang amalan agama. Dan ini sah-sah saja. jika seperti ini maka tidak ada yang bisa saling mencela pemahaman dan pengamalan agama bagi kita masing-masing.
Ketiga, ilmu gaib. Bagi kaum positivistic tentu tidak meyakini keberadaan ilmu gaib. Tetapi kaum agamawan dan ahli-ahli ilmu antropologi, sosiologi dan yang senafas, tentu akan meyakini bahwa ada dunia gaib dan berbeda dengan dunia manusia ini. Mungkin bisa dinyatakan metafisika atau dunia yang ada dibalik yang fisik atau bendawi. Alqur’an juga membenarkan bahwa memang terdapat dunia gaib yang bisa dipercayai oleh manusia. Di dalam Surat Al Baqarah ayat 3 dinyatakan: “dan orang-orang yang beriman dengan kegaiban, dan mendirikan shalat dan juga mendarmabaktikan penghasilannya untuk infaq”. Beriman kepada kegaiban itu bisa diartikan meyakini terhadap hal-hal yang sekarang masih tidak berwujud, tetapi suatu Ketika bisa menjadi wujud. Misalnya Surga, neraka, Jin atau makhluk halus lainnya.
Para ahli antropologi sudah lama mengkaji tentang hal-hal yang gaib, misalnya magi. Sejenis kekuatan gaib yang bisa menggerakkan atas benda-benda yang sesungguhnya tidak bisa bergerak sendiri. Kebenaran seperti mengakui adanya keyakinan-keyakinan tersebut disebut sebagai empiric-transendental atau kebenaran nyata berbasis pada hal-hal yang transenden atau berbasis keyakinan bahwa hal tersebut ada dan nyata.
Di tanah Jawa, dunia mistis, magi, dunia metafisik sudah lama menjadi keyakinan. Selama ini kita hanya tahu dari film, misalnya film Walisongo, yang menggambarkan bagaimana Kanjeng Sunan Kalijaga bertapa Mbathang atau bertapa di air selama 41 hari atau puasa tanpa tidur selama 36 hari, atau puasa pendhem selama 41 hari dan sebagainya. Lalu santet, teluh, dan sihir juga ada. Bahkan terkadang orang bisa melihat benda seperti jarum yang berjalan di sore hari atau api yang berjalan-jalan di dalam ruangan. Adakah ini kenyataan? Ternyata ada di dalam tradisi Jawa. Orang Jawa sungguh memiliki kemampuan adikodrati yang seperti ini. Ada orang yang bisa mendirikan keris tanpa warongko atau keris telanjang bisa berdiri (tanpa rekayasa), ada orang yang mampu puasa tanpa tidur selama 36 hari dan pada hari ke sebelas sudah terbuka semua hijab kehidupan itu. Isi dunia menjadi telanjang, semua makhluk Tuhan diperlihatkan atau memperlihatkan diri. Ada orang yang bisa puasa mbathang selama 41 hari. Yang ingin dicapai adalah “kesempurnaan” dalam memandang dunia sehingga dunia tanpa tabir dan semuanya bisa diperoleh melalui riyadhoh atau pelatihan fisik dan jiwa seperti ini.
Jika seperti ini, maka dunia kegaiban yang diceritakan di dalam Alqur’an merupakan kebenaran transcendental yang dapat diyakini kebenarannya. Perkara ada yang percaya atau tidak adalah pilihan. Tetapi saya yakin bahwa ilmu gaib itu ada di dalam kehidupan di alam maya ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.