TAHLILAN ALA KAMPUNG
TAHLILAN ALA KAMPUNG
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Sungguh di antara kita bisa saja kurang percaya, bahwa tradisi tahlil di pedesaan itu masih sedemikian kuat. Tradisi Islam Nusantara ini masih terus berlangsung hingga sekarang dengan tradisi yang sambung menyambung terus tidak tergerus oleh badai pemahaman agama yang baru, yang di dalam realitasnya mengusung anti Tahlilan, anti Yasinan, dan anti dzibaan dan sebagainya.
Saya menghadiri acara tahlilan yang diselenggarakan oleh keluarga saya di Dusun Jetak, Desa Kutogirang, Ngoro, Mojokerto pada Selasa, 23/08/2022, ba’da shalat Isya’. Acara ini dilakukan terkait dengan wafatnya Hj. Sriyani atau Mak Ni, begitu kami memanggilnya. Saya datang agak terlambat, sebab ba’da magrib baru berangkat dari Surabaya. Untunglah tidak macet, sehingga dalam waktu yang tepat kami masih bisa mengikuti acara tahlilan.
Realitas tahlilan itu di luar pemikiran saya. Ternyata jumlah jamaah tahlil ini luar biasa banyak. Kurang lebih 200 orang. Factor keluarga yang wafat tentu menjadi penentu atas sedikit banyaknya para anggota jamaah tahlil yang hadir. Putra Mak Ni yang pertama, Pak Tamun (alm) pernah menjabat kepala desa di Kutogirang. Putra Pak Tamun yang pertama, Cak Mukhtar, adalah seorang guru SDN dan mantan kepala sekolah di Kecamatan Ngoro. Selain itu ikatan kekerabatan di dusun Jetak dengan almarhumah juga sangat banyak. Jadi ada beberapa factor yang menentukan terhadap kehadiran dalam acara keluarga, seperti acara tahlilan dan yasinan.
Yasinan adalah pembacaan Alqur’an surat Yasin secara bersama dalam waktu bersamaan. Sedangkan tahlilan adalah bacaan kalimat Allah berulang kali secara bersamaan dan dalam waktu yang bersamaan pula. Di dalam tradisi ini, maka bacaan Surat Yasin dan bacaan tahlil itu ditujukan kepada khususnya Orang yang meninggal. Biasanya dilakukan selama tujuh hari berturut-turut, lalu setiap malam Jum’at atau Kamis malam, 40 hari, 100 hari dan sependak atau setahun. Tradisi ini merupakan ritual khas Islam Indonesia dan juga beberapa negara lain, misalnya Malaysia dan Thailand (khususnya Thailand Selatan). Tradisi ini sudah berjalan dalam kurun waktu sangat lama. Tidak diketahui kapan tepat waktunya, akan tetapi bisa dilacak dari proses Islamisasi awal di Indonesia. Tradisi ini bisa dibangsakan dengan para waliyullah atau para penyebar Islam di tanah Nusantara.
Masyarakat meyakini bahwa hadiah Surat Alfatihah, Surat Yasin dan bacaan Tahlil tersebut akan sampai kepada yang ditujunya. Agar sampai kepada yang dituju (roh si mayat), maka diberlakukan pembacaan washilah kepada Junjungan Nabi Muhammad SAW. Juga kepada beberapa waliyullah, misalnya Syekh Abdul Qadir Jailani Qaddasallahu sirrahu, dan wali lainnya seperti Kanjeng Sunan Ampel, dan keluarga ahli kubur lainnya. Dengan mendasarkan diri pada washilah kepada Nabi Muhammad SAW dan para waliyullah, maka diyakini bahwa bacaan Alqur’an, tahlil dan doa tersebut akan sampai kepada yang bersangkutan.
Memang tradisi ini tidak didapati pada masyarakat Arab terutama masa sekarang yang menggunakan paham keagamaan Islam madzhab Wahabi yang menganggap bahwa segala sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW itu tidak sah atau mengada-ada atau di dalam pandangan mereka disebut sebagai bidh’ah. Bagi mereka ini, bahwa hukum Islam dalam melakukan ritual hanya dua saja, boleh (wajib dan sunnah) dan tidak boleh (haram). Sementara itu, acara membaca Surat Yasin secara bersama-sama itu tidak terdapat di dalam tradisi kaum Wahabi. Demikian pula membaca tahlil secara bersama-sama juga tidak didapati di dalam tradisi mereka.
Tetapi bagi masyarakat Jawa atau Islam Nusantara, maka yang tidak dilakukan pada zaman Nabi Muhammad SAW atau secara spesifik tidak dilakukan di Arab Saudi bukan harus dihukumi tidak boleh. Di sini terdapat hukum mubah, makruh, sunnah dan wajib. Makanya, membaca tahlil dan membaca yasin itu sunnah hukumnya, sedangkan membaca bersama adalah cara atau metode yang hukumnya tentu mubah atau kebolehan dan bukan makruh (tidak melakukan lebih baik) atau haram (dilarang).
Tetapi yang terpenting secara sosiologis, bahwa acara tahlilan atau yasinan adalah kegiatan sosial kemasyarakatan yang bernuansa keagamaan. Bisa dibayangkan sebanyak 200 orang membaca Surat Yasin dan Tahlil, maka di sini terdapat keguyuban di antara warga masyarakat. Melalui kegiatan ini maka dapat diketahui tingkat keharmonisan dan kerukunan warga masyarakat sekitar orang yang berkesedihan karena ada kerabatnya yang meninggal.
Acara ini dipimpin oleh Mbah Modin, biasanya Kaur Kesra desa, yang merupakan tokoh agama di desanya. Pemimpin upacara ritual ini adalah Mbah Modin Sukadi, yang juga biasa menjadi khatib dalam shalat Jum’at di Masjid Desa Kutogirang. Pak Sukadi menyatakan bahwa dia hanya lulusan madrasah dan tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Hanya mondok dan memperdalam ilmu agama. Bacaan Qur’annya bagus, membaca tahlil fasih dan berdoa dengan khusyu’. Sebagian peserta tahlilan juga hafal surat Yasin dan bacaan tahlil.
Dia juga menyatakan bahwa tradisi ini merupakan warisan para leluhur yang mesti dipertahankan. Tradisi pedesaan yang sangat baik untuk membawa masyarakat desa agar rukun dan harmonis. Pak Sukadi juga tahu bahwa tradisi ini adalah tradisi NU yang menyejarah. Jadi meskipun sekarang sedang dihujat oleh kelompok Islam lain, tetapi masyarakat akan tetap memertahankan tradisi ini sampai kapanpun.
Oleh karena itu jika selama ini ada semacam ketakutan mengenai serangan kelompok Islam lain tentang tradisi NU ini, tetapi dengan mengamati atas terselenggaranya acara tahlilan di perkampungan, maka kita masih yakin bahwa tradisi NU ini tidak akan tergoyahkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.