Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KETUHANAN YESUS: AJARAN, POLITIK DAN KEKUASAAN

KETUHANAN YESUS: AJARAN, POLITIK DAN KEKUASAAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Pengajian pada hari Selasanan ba’da Shubuh, tepatnya tanggal 09 Agustus 2022, saya membahas satu buku yang penting di dalam relasi agama-agama. Pengajian ini memang agak bercorak berbeda sebab terdapat dialog intensif dalam memahami tema yang dibahas, terkait dengan keyakinan kebenaran dalam agama Nasrani, pada akhir kekuasaan Romawi.

Saya membaca buku yang sangat fenomenal terkait dengan Ketuhanan Yesus, yang ditulis oleh Richard E. Rubenstein, dengan judul “When Jesus Become God: The Struggle to Define Christianity During The Last Days of Rome”, yang diterjemahkan di dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Kala Yesus Jadi Tuhan, Pergulatan Untuk Menegakkan Kekristenan pada Masa Akhir Romawi”, diterbitkan oleh PT Serambi Ilmu Semesta, tahun 2006.

Bagi orang yang terbiasa membaca karya sastra, buku ini tentu menarik sebab merupakan buku dalam “genre” novel sejarah, atau sosiologi sejarah. Tidak hanya sejarah tetapi memaparkan secara sosiologis peristiwa sejarah yang terjadi pada masa akhir Romawi dan pergulatan iman Katolik yang terdapat di dalamnya. Dan sebagaimana sejarah agama-agama, maka di dalamnya tidak  hanya dipaparkan tentang doktrin-doktrin agama, tetapi juga pergulatan ajaran atau doktrin agama dengan kehidupan manusia dan masyarakat.

Kala kita membaca mengenai pergulatan iman Kekristenan tersebut, maka dapat dijumpai tiga factor penting yang terkait dengan Kekristenan sebagai pedoman di dalam kehidupan masyarakat. Tiga factor tersebut adalah: pertama, factor politik. Tidak bisa diingkari bahwa dalam kehidupan manusia dan masyarakat selalu berada di dalam ranah kekuasaan politik. Begitu juga masa akhir Romawi, di mana terjadi persaingan antar dua atau lebih kekuasaan yang saling mengalahkan dan memenangkan. Dua di antara kelompok yang dominan adalah Nisea dan Arian. Tentu ada kelompok lain misalnya kaum Yahudi, bangsa Hun, bangsa Visigoth dan bangsa Persia. Antar kelompok tersebut sebagaimana kekuasaan politik tentu saling bermusuhan, berperang dan bahkan juga saling menihilkan.

Dua kekuatan dominan ini juga saling mengalahkan dan memenangkan. Sekali waktu Arian yang menang dan berkuasa, dan sekali waktu kelompok Nesian yang menang dan berkuasa. Pada saat mereka memenangkan pertarungan kekuasaan politik, maka di sanalah terjadi pengusiran atas kelompok yang kalah. Tidak hanya rajanya yang diusir atau melarikan diri, tetapi juga para pendeta atau pemimpin agamanya. Misalnya peristiwa di Antiokhia, di mana Melitius seorang pendeta pro Nesian mengusir pendeta Euzoius, seorang pendeta pro Arian, demikian sebaliknya.

Kedua, Faktor kepemimpinan. Sebagaimana negara yang menerapkan agama sebagai dasar negara  atau relasi antara agama dan negara bercorak integrated, maka agamalah yang menjadi dasar untuk menentukan bagaimana seharusnya negara diatur. Hukum-hukum agama yang dijadikan sebagai dasar aturan bernegara. Maka jika yang memenangkan peperangan atau pengambilalihan kekuasaan adalah kelompok Nisean, maka seluruh kepemimpinan negara mulai dari raja, Menteri, pendeta, dan birokrasi semua terdiri dari orang Nisea. Sebaliknya, jika yang mengambil alih kerajaan itu kelompok Arian, maka seluruh kepemimpinan negara diisi oleh orang Arian. Mulai dari raja, Menteri, pendeta dan kaum birokratnya juga berasal dari kelompok Arian.

Ketiga, factor tafsir agama. Ajaran agama memang berisi teks-teks yang dihasilkan dari wahyu Tuhan atau apa yang dinyatakan dan dilakukan oleh Rasul yang terlibat langsung di dalam agama tersebut pada waktu agama itu dihadirkan lalu disebarkan. Artinya bahwa semua agama dipastikan mengalami penafsiran demi penafsiran yang dilakukan oleh para ulamanya atau ahli agama. Yang bisa dan memiliki otoritas untuk penafsirkan ajaran agama adalah para ahlinya. Di era Romawi akhir, maka para ahli agama Katolik saling berebut sebagai penafsir agama. Jika yang berkuasa kelompok Arian, maka tafsir agama dipegangnya, dan jika yang berkuasa kelompok Nesian maka  tafsir agama juga dipegangnya. Jadi dalam suatu kesempatan, maka para ahli agama yang berkuasalah yang menafsirkan ajaran agamanya.  Sampai suatu ketika terjadilah Konsili Konstantinopel yang diinisiasikan oleh Theodosius pada tahun 381, dan  dikumpulkan 150 orang pemimpin Gereja Timur untuk melakukan Konsili, yang kemudian dikenal sebagai Konsili Konstantinopel. Konsili itu dilakukan oleh para ahli agama dari kelompok Nisean. Sebagaimana diketahui, bahwa para penafsir agama dalam kelompok penguasa akan selalu menganggap  kelompok lainnya adalah para pelaku bid’ah. Jadi ketika  para pemimpin dan ulama-ulamanya  berasal dari Nisea, maka kelompok Arian dianggap para pelaku bid’ah dan sebaliknya.

Dari Konsili Konstantinopel inilah kemudian dihasilkan sebuah persaksian atau pengakuan, di dalam buku ini disebut sebagai syahadat dalam Bahasa Nisean, untuk meneguhkan Yesus sebagai Tuhan. Di buku ini diungkapkan sebagai berikut:

“Putra tunggal Allah, yang diperanakkan dari Bapa, sebelum segala abad, terang dari terang, Allah benar dan Allah benar, diperanakkan dan bukan diciptakan, hommooses dengan Bapa, yang melaluinya segala sesuatu diciptakan”. (h. 462-463).

Sebagai agama Semitis, yang hadir melalui Nabi Ibrahim Alaihis Salam, maka Yahudi, Nasrani dan Islam merupakan agama yang berasal dari nenek moyang yang sama. Makanya di sana-sini juga ada persamaannya dan juga  ada perbedaannya. Perbedaan tersebut tentu berbasis pada penafsiran para ahli agamanya, yang bisa saja karena terkait dengan konteks sosial politik, kepemimpinan dan sejarah agama-agama tersebut.

Tetapi yang jelas bahwa setiap penganut agama akan menyatakan bahwa agamanya yang benar dan yang lain salah. Inilah yang disebut sebagai truth claim atau klaim kebenaran. Jika seperti ini, maka kita tidak harus heran jika ada orang yang menyatakan bahwa hanya agamanya yang benar. Proposisi yang pernah saya sampaikan bahwa: “semua agama benar bagi penganutnya”.

Demikianlah, di dalam proses pemantapan iman Kekristenan  pada akhir pemerintahan Romawi di sekitar tahun 380-an, maka terdapat proses yang harus dilalui dan di sinilah peran kekuasaan politik, kepemimpinan dan tafsir agama memainkan sejumlah penetapan atas ajaran agama.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..