Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SHALAT IDUL ADHA 1434 HIJRIYAH: BISA SABTU BISA AHAD

SHALAT IDUL ADHA 1434 HIJRIYAH: BISA SABTU BISA AHAD

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Seharusnya saya ke Tuban, karena beberapa bulan yang lalu saya diminta khutbah di Masjid Fajrul Iman Desa Sembungrejo, Merakurak. Masjid di desa saya atau tempat kelahiran saya. Saya diminta untuk menjadi khotib  shalat Idul Adha. Tetapi akhirnya tidak jadi. Saya tetap di Surabaya, dan kali ini memang harus menjadi jamaah di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Yang menjadi khotib adalah Drs. Suherman, pensiunan PNS UIN Sunan Ampel, dengan Imam Shalat Ahmad Firdaus, Al Hafidz.

Sebagaimana biasa, sebelum shalat Idul Adha dimulai,  maka dilantunkan takbir: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, La ilaha illallah  wallahu akbar. Allahu Akbar wa lillahil hamdu”. Yang artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allahu Maha Besar, tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar. Allahu Maha Besar dan segala puji bagi Allah”.  Tanpa terasa, kala Moh. Zamzami, Al Hafidz memimpin bacaan takbir, maka meleleh air mata. Air mata bening yang meleleh di pipi. Pandangan terasa mengawang menuju ke Baitullah, ke Masjid al Haram, terbayang orang melakukan thawaf, syai dan melakukan serangkaian doa di maqam-maqam mustajabah. “Ya Allah ada kerinduan untuk melihat dan berdekatan dengan Rumah-MU, dengan Ka’bah-MU, berdoa kepada-MU di tempat yang paling Engkau ridlai. Ya Allah aku rindu untuk mengusapkan tanganku di rumah-MU”.

Di masa lalu, saya sering menyalahkan kenapa orang berkali-kali pergi haji atau melakukan umrah. Khususnya umrah yang terkadang hampir setiap tahun. Dahulu saya bisa melakukan umrah setiap tahun, kala masih menjadi pejabat di Jakarta  karena harus menjemput jamaah haji kloter terakhir. Kerinduan untuk melakukan thawaf, sa’i dan beribadah di Masjidil Haram, berdoa dengan tengadah tangan ke hadirat-Nya. Rasa rindu ibadah di Makkah Al Mukarramah terpenuhi. Demikian pula ziarah ke Makam Nabi Muhammad SAW juga bisa dilakukan. Berjejal-jejal untuk melafadzkan salam di dekat Makam Nabi Muhammad SAW juga terpuaskan. Gelegak kerinduan itu terbayar pada saatnya.

Sekarang tentu berbeda. Sebagai guru besar tentu tidak bisa melakukan hal yang seperti itu. Maka pantaslah jika di musim haji seperti ini teringat kembali rekaman peristiwa di masa lalu tersebut. Tetapi ada pelajaran yang saya kira pantas untuk dinyatakan, bahwa jika ada orang yang sering melakukan umrah, maka hal tersebut sekali lagi merupakan upaya untuk menyelesaikan rasa rindu yang bertalu-talu untuk merasa dan menghayati kebesaran Tuhan di dekat rumah-Nya yang agung. Ka’baitullah dan Masjid Al Haram.

Masyarakat Islam di Indonesia memang unik. Di semua negara kecuali Indonesia yang menentukan kapan hari raya idul Adha dan kapan memulai puasa dan shalat Idul Fithri adalah kewenangan pemerintah. Negara-negara di Asia Tenggara, seperti yang tergabung di dalam forum Menteri Agama Brunei Darus Salam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) telah bersepakat menggunakan konsep Imkanur ru’yah (peluang melihat hilal), dengan ketentuan jika tinggi hilal dua derajat, maka dipastikan bahwa mengawali puasa dan mengakhiri puasa dilakukan esok harinya, demikian pula untuk tanggal satu Dzulhijjah. Makanya tidak terdapat perbedaan penafsiran atas tanggal ritual tersebut.

Di Indonesia, bisa saja berbeda sebab organisasi keagamaan bisa memberikan penentuan kapan hari raya idul adha dan idul fitri termasuk tentunya mengawali puasa. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam besar di Indonesia berdasarkan metodologi Hisab dengan konsekuensi wujudul hilal, maka memiliki konsekuensi kapan ritual keagamaan tersebut dilaksanakan. Akhirnya, seperti hari raya Idul Adha tahun 1434 Hijriyah ini, maka Muhammadiyah menentukannya pada hari Sabtu 9 Juli 2022 dan pemerintah yang di dalamnya terdapat NU, MUI dan organisasi sosial keagamaan lainnya menentukan hari Ahad, sebab tidak ada satupun peru’yat di seluruh Indonesia yang melihat hilal, karena hilalnya masih sangat rendah. Berdasarkan perhitungan Lembaga Falakiyah PBNU tinggi hilal pada akhir bulan Dzulqa’dah    adalah 1,27 derajat. Sedangkan Muhammadiyah menyatakan ketinggian hilal 1,58 derajat. Bagi Muhammadiyah hilal sudah wujud.

Perbedaan ini sangat mendasar, sehingga tidak mungkin dikompromikan. Berapapun ketinggian hilal selama sudah di atas 0 derajat, maka Muhammadiyah menyatakan bahwa hilal sudah wujud, sehingga awal dan akhir bulan Ramadlan sudah dipastikan termasuk tanggal satu bulan berikutnya. Dan jika ini bulan Dzulhijjah, maka rentetan upacara keagamaan juga mengikutinya. Berbeda dengan NU yang mengunakan metode  ru’yatul hilal, maka selama belum mencapai dua  derajat, maka bulan belum berakhir dan awal bulan juga belum bisa ditetapkan, dan berimplikasi pada ritual keagamaan pada bulan tersebut.

Termasuk tentang pelaksanaan shalat id tahun 2022. Ada yang hari Sabtu dan ada yang hari Ahad. Tetapi yang penting tetap dalam kedamaian dan tidak saling mencemooh.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..