ZIARAH MAKAM SYEKH IBRAHIM ASMARAQANDI: ANTARA RELIGIOSITAS DAN REKREASI
ZIARAH MAKAM SYEKH IBRAHIM ASMARAQANDI: ANTARA RELIGIOSITAS DAN REKREASI
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Ada sebuah ungkapan yang menarik, bahwa “dari pada bepergian yang hanya ada hiburan saja, lebih baik bepergian yang ada nilai agamanya”. Ungkapan ini sering kita dengar, dan bahkan kita sendiri juga berpikir seperti itu. Inilah yang menjadi keyakinan masyarakat sehingga tempat-tempat ziarah menjadi ramai penuh sesak dengan para peziarah. Bahkan kepergian itu tidak hanya dilakukan sendirian, tetapi sekeluarga. Artinya mereka memang benar-benar menyiapkan biaya transportasi, konsumsi dan akomodasi untuk kepentingan ziarah waliyullah.
Ziarah yang dilakukan oleh umat Islam tidak hanya di makam para waliyullah, akan tetapi juga ziarah ke tanah suci. Seirama dengan daftar antrian pergi haji yang Panjang, antara 40 sampai 70 tahun, maka masyarakat menjadikan umrah sebagai alternatif untuk berziarah dan beribadah di tanah Suci, Makkah al Mukarramah dan Madinatun Nabawi. Makanya, jumlah peziarah ke Kota Suci semakin meningkat. Hanya karena Pandemi Covid 19, maka segala aktivitas untuk berziarah menjadi berhenti.
Ziarah sebenarnya tidak hanya untuk kepentingan rekreasi tetapi juga kepentingan dahaga spiritualitas. Dengan mendatangi makam para auliya, maka mereka merasakan ketersambungannya dengan para penyebar Islam, khususnya di Tanah Jawa. Mereka merasakan bisa mendatangi rumah terakhir para auliya. Mereka ingin menjadi bagian dari para ulama yang shalih di masa lalu. Bukankah para auliya adalah orang yang memiliki kedekatan dengan Nabi Muhammad SAW sebagai pewarisnya, dan kemudian juga menjadi washilah bagi hubungannya dengan Allah SWT. Mereka berkeyakinan bahwa amalan ziarah itu merupakan amalan yang dapat menghubungkan dunia yang profan (bersifat duniawi) dan dunia sacral (alam ukhrawi), dan melalui keterlibatannya di dalam ziarah maka mereka merasa memasuki dunia profan dan sacral sekaligus.
Berbagai pengalaman berziarah dirasakan ada perasaan damai dan tenang. Rasanya seperti bisa melakukan ritual yang penting. Mereka merasakan telah menjadi bagian dari dunia para wali yang diyakininya, bahwa para wali itu masih bisa memberikan bimbingan spiritual di dalam kehidupannya. Para wali adalah kekasih Allah karena kedekatannya dengan Allah, maka Allah juga memberikan otoritas kepadanya untuk bisa membimbing manusia untuk kembali ke jalan Allah swt. Keyakinan seperti ini yang akhirnya tidak melunturkan niat seseorang untuk menziarahi makan para Waliyullah.
Beberapa hari yang lalu, saya sempat berziarah ke Makam Kanjeng Eyang Syekh Ibrahim Asmaraqandi. Seorang wali yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW, ayah Kanjeng Eyang Sunan Ampel dan bermakam di Desa Gesik Harjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Makam ini dibangun pada tahun 2000an, dan kemudian terus direnovasi bangunan-bangunan lamanya, sehingga sekarang kelihatan trendy dan modern. Meskipun arsitektur lamanya tetap dipertahankan, tetapi juga dipadukan dengan arsitektur modern yang serasi. Misalnya, ukiran kayu di samping pintu utama, meskipun termasuk ukiran lama, tetapi dengan sentuhan modern maka jadilah pintu masuk ke ruang utama masjid terasa sangat indah. Saya melihat banyaknya perubahan dalam bangunan fisik di sekitar makam. Dibandingkan dengan tahun 2003 kala saya melakukan penelitian disertasi tentang “Konstruksi Sosial Upacara Keagamaan pada Masyarakat Islam Pesisiran Palang Tuban” dan diterbitkan dengan judul “Islam Pesisir”. Saya melihat luar biasa pesatnya pengembangan fisik di sekitar makam. Masjidnya makin dipercantik, gapura-gapura untuk masuk ke areal makam juga direnovasi dan juga terdapat tempat istirahat bagi jamaah peziarah makam.
Saya berziarah ditemani oleh Dr. Chabib Musthofa dosen Fisip UIN Sunan Ampel Surabaya, 03/07/2022. Saya mengamati peziarah yang membludak. Hampir seluruh pendopo di makam Kanjeng Eyang Ibrahim Asmaraqandi penuh sesak. Melubernya para peziarah bisa juga disebabkan selama pandemic Covid 19 mereka tidak melakukan kunjungan ke makam para wali, sehingga kala kran untuk berziarah dibuka lebar, maka serentak masyarakat Islam melakukannya. Sungguh pemandangan yang menarik. Ada nuansa sakralitas di dalam lantunan tahlil, dzikir dan doa oleh para peziarah. Ada yang berziarah secara kelompok dan ada yang individual. Semua menyatu dalam kalimat-kalimat suci yang diajarkan di dalam Islam melalui Nabi Muhammad SAW.
Tetapi di antara semua fenomena ini, ada satu rombongan peziarah yang rupanya berbeda dengan rombongan lain. Kala jamaah melantunkan tahlil dan dzikir yang dipimpin oleh imam tahlil dan dzikir, maka terdapat seseorang yang menggunakan Bahasa Jawa untuk melantunkan bacaan khusus. Saya kira hal ini merupakan bagian dari upacara slametan, di mana didapati acara ujub atau ijab atau bacaan khusus pengantar upacara dalam Bahasa Jawa untuk mengantarkan apa sesungguhnya yang menjadi niat untuk ritual tersebut. Saya tidak bisa menyimak apa yang diucapkannya, meskipun jarak antara saya dengan pelaku ijab tersebut tidak jauh.
Sayangnya bahwa saya juga harus segera untuk meninggalkan makam Kanjeng Eyang Syekh Ibrahim Asmaraqandi, sebab ada wadhifah lain, yaitu ke rumah dosen FDK UINSA, Prihananto, yang selesai menikahkan putrinya. Bergegas saya harus ke Dusun Karangdowo, Desa Sandingrowo, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban. Dan alhamdulillah semua lancar kecuali pulangnya terpaksa terkena macet 2,5 jam di sebelah barat Duduk Sampeyan karena perbaikan jalan.
Wallahu a’lam bi al shawab.