SELAMAT JALAN GUS DUR
Tidak ada satu manusiapun yang mampu melawan takdir Tuhan. Jika Allah memang menghendaki makhluknya untuk meninggal, maka kepastian itu tentu akan berlaku. Kematian adalah keniscayaan bagi makhluk yang hidup. Hanya kapan waktunya yang Allah saja yang tahu. Idza jaa ajalukum fala yasta’khiruna wa yastaqdimun. Yang artinya kurang lebih “apabila telah datang ajalmu, maka tidak dapat diakhirkan atau didahulukan”. Makanya, pantaslah jika kita semua mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, sesungguhnya semua milik Allah dan sesungguhnya semua akan kembali kepadanya” atas wafatnya Gus Dur, 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Dan jasadnya akan dikebumikan hari ini, di kompleks pemakaman keluarga Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Saya tentu saja tersentak ketika membaca short message service (sms) tentang kematian Gus Dur. Saat itu, saya sedang perjalanan menuju Alexandria Mesir dalam kerangka safari akademis ke beberapa perguruan tinggi di Mesir. Bahkan istri saya juga mengabarkan tentang kematian Gus Dur itu. Itu semua menandakan betapa besarnya perhatian orang tentang tokoh fenomenal dalam jagad Indonesia bahkan dunia. Kematian beliau pasti meninggalkan duka yang mendalam bagi semua orang yang pernah merasa memiliki relasi sosial dengan beliau. Tidak hanya orang NU, tidak hanya orang Islam, tetapi juga komunitas agama lain di berbagai belahan dunia akan merasakan kehilangan seorang demokrat tulen, pluralis tulen dan multikulturalis tulen yang seluruh hidupnya diabdikan untuk kepentingan tidak saja umat Islam tetapi juga manusia dari berbagai bangsa.
Siapa pun pasti akan mengakui berbagai keberpihakannya terhadap komunitas tertindas. Ketika semua orang sami’na wa atho’na terhadap pemerintahan Orde Baru, maka beliau melakukan perlawanan dengan caranya sendiri. Tidak seperti yang lain yaitu melakukannya dengan diam atau silent opposition, akan tetapi beliau melakukannya dengan wacana dan gerakan. Sehingga tidak jarang beliau menjadi target negara untuk dinihilkan. Misalnya dalam Mu’tamar Cipasung, di mana negara terlibat di dalam merekayasa untuk menjatuhkan beliau dari tampuk kepemimpinan NU melalui dibentuknya Komite Penyelamat NU yang diketuai oleh Abu Hasan. Dan akhirnya seperti kita ketahui bahwa Gus Dur bisa melampaui hal itu semua, sehingga gerakan mendorong NU untuk terus leading dalam percaturan sosial politik dan budaya tetap eksis.
Gus Dur memang bukan hanya milik NU atau milik PKB dan juga umat Islam tetapi milik dunia. Orang Hindu, Budha, Protestan, Katolik dan terutama Kong Hu Cu akan sangat berhutang budi terhadap sosok Gus Dur. Bagaimana tidak, eksistensi Kong Hu Cu di Indonesia menjadi menguat dalam sejarah kehidupan agama-agama di Indonesia karena keberadaan Gus Dur. Saya membayangkan bahwa semua umat beragama akan berdoa dan bahkan datang melayat di acara pemakaman Beliau.
Dan menurut saya juga merupakan suatu hal yang sangat luar biasa ketika Pak SBY menyampaikan berita duka secara resmi melalui stasiun televisi bahwa hendaknya masyarakat Indonesia berbela sungkawa atas wafatnya Gus Dur dengan mengibarkan bendera setengah tiang selama tujuh hari. Bahkan Pak SBY memimpin sendiri untuk membacakan Surat Al Fatihah kepada mendiang Gus Dur. Dan tanpa terasa ketika saya mengikuti bacaan Fatihah yang dipimpin oleh Pak SBY, tiba-tiba berlinang air mata saya atas kepergian Gus Dur untuk menghadap Sang Khalik.
Peran penting Gus Dur bagi NU adalah bagaimana beliau mendorong NU menjadi modern melalui kekuatan SDM-nya. Booming intelektualitas NU akhir-akhir ini adalah berkat kepemimpinan beliau di NU. Jika di tahun 1980-an sangat sulit menemukan tokoh NU yang bergelar akademik tertinggi, maka di tahun 2000-an hampir tidak terhitung banyaknya orang NU yang memiliki gelar tertinggi di dunia akademik. Gerakan pemikiran yang berkembang cepat di kalangan anak-anak muda NU, baik di Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, dan sebagainya adalah berkat gerakan wacana yang dikembangkannya. Makanya, beliau sering dituduh oleh kalangan tertentu sebagai penggerak liberalisme pemikiran keagamaan di Indonesia.
Selain itu, beliau juga berhasil mengangkat citra dan imaj NU dari organisasi tradisional menjadi modern. Melalui gerakan pemikiran yang dikembangkan di tubuh NU, maka organisasi ini menjadi semakin berwibawa. Menjadi NU tidak lagi identik dengan tradisionalisme yang stagnan. Orang NU menjadi bangga dengan ke-NU-annya. Orang NU menjadi tidak malu mengungkapkan ke-NU-annya. Identitas NU yang selama ini disembunyikan, sekarang tidak lagi terjadi. Para guru besar, aktivis, anak-anak muda NU dengan gagah menulis namanya dengan identitas ke-NU-annya.
Coba kalau kita simak tulisan akademik atau karya ilmiah populer di berbagai media akhir-akhir ini ternyata dipenuhi oleh nama-nama dengan identitas ke-NU-annya. Sungguh hal ini merupakan suatu lompatan dari organisasi NU yang selama ini dicap sebagai organisasi tradisional. Melalui Gus Dur telah banyak dilahirkan anak-anak muda dengan semangat ”pembaharuan” pemikiran yang bergerak cepat. Diakui atau tidak, bahwa semangat ”pembaharuan” pemikiran di kalangan anak-anak muda, tidak hanya NU tetapi juga lainnya, dipengaruhi oleh gerakan pemikiran keagamaan yang dikembangkan oleh Gus Dur.
Bahkan NU juga menjadi organisasi yang diperhitungkan dalam percaturan internasional. Kapasitas Beliau sebagai Presiden World Conferrence on Religion and Peace (WCRP) merupakan bukti bagaimana peran beliau dalam percaturan pemikiran dan aksi internasional tentang agama dan perdamaian.
Kita semua sedang menunggu siapa-siapa yang akan menggantikan peran beliau dalam percaturan pemikiran aksi keagamaan tersebut. Saya tetap yakin bahwa akan lahir putera-putera mahkota pemikiran dan aksi keagamaan pasca kematian beliau. Dan hal itu merupakan sesuatu yang sangat niscaya di tengah arus gerakan pemikiran dan aksi keagamaan yang terus berkembang.
Allahummaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Selamat jalan Gus.