PUASA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
PUASA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Jamaah Masjid Al Ihsan, saya kira sudah memahami makna puasa dan tujuan puasa. Puasa tentu dipahami sebagai suatu aktivitas menahan dari tindakan untuk makan, minum dan melakukan relasi seksual pada siang hari. Untuk melakukan puasa tersebut harus dilakukan dengan sungguh-sungguh agar bisa memperoleh tujuan puasa yaitu untuk memperoleh ketaqwaan. Yaitu menjadi orang yang selalu berada di dalam koridor untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Kalimat ini yang saya sampaikan kepada para jamaah shalat Isya’ dan tarawih Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Jamaah isya’ dan tarawih berjamaah ini dilaksanakan pada 8 April 2022.
Puasa atau shoum adalah ajaran Islam yang memiliki sejarah panjang di dalam kehidupan manusia. Puasa tidak hanya ajaran yang diperuntukkan pada umat Islam saja, akan tetapi juga diperuntukkan pada umat-umat sebelum datangnya Islam. Semua agama di dunia ini mengajarkan puasa dalam cara dan tradisinya masing-masing. Puasa merupakan ajaran yang sangat special. Puasa merupakan ajaran yang didesain oleh Allah sebagai medium pelatihan bagi manusia di dalam mengarungi hidupnya. Di sinilah relevansi antara puasa dengan pendidikan. Puasa bisa menjadi instrument dalam kerangka untuk mendidik manusia dalam kehidupan.
Pertama, mendidik kedisiplinan. Puasa yang kita jalani sekarang dapat menjadi pelatihan kedisiplinan, misalnya disiplin makan dan minum, relasi seksual dan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan jelek. Tanpa pengawasan siapapun maka seseorang tidak akan melakukan tindakan yang dapat membatalkan puasanya. Di mana saja dan kapan saja, maka orang yang puasa dipastikan tidak akan melakukan pelanggaran atas puasa yang dilakukannya tersebut. Jika biasanya tidak dalam keadaan berpuasa, maka makanan dan minuman apa saja bisa dimakan. Andaikan di meja terdapat makanan soto, sate, bakso, rawon, sate, dan dengan minuman es kopyor, es jeruk, es teler dan sebagainya, maka hal itu pasti disantap tanpa memperhatikan waktu kapan dan di mana. Tetapi dengan puasa maka semuanya itu tidak dilakukan. Sungguh luar biasa.
Kedua, puasa juga mendidik agar kita bertanggung jawab. Jika seseorang menjalani puasa, maka dipastikan bahwa dia akan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Dia akan bisa memilih apa yang bisa dilakukannya dan apa yang tidak bisa dilakukannya. Tanpa ada orang yang melihatnya, maka dia akan bertanggungjawab atas perbuatannya. Tanggung jawab tersebut tentu terkait dengan keyakinannya bahwa ada pengawas yang cermat atas apa yang dilakukannya. Diyakini bahwa Allah maha tahu atas semua perbuatannya. Melalui Malaikat Rakib dan Atid, maka semua amalnya akan dicatatnya dengan semestinya. Jadi ada semacam CCTV yang sangat besar untuk merekam jejak setiap orang di dalam kehidupannya. Jadi dipastikan tidak ada yang tertinggal di dalam rekam jejak dimaksud. makna puasa tentunya agar jika terdapat tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka Allah berkenan mengampuninya.
Ketiga, puasa juga bisa menjadi instrument melatih hawa nafsu agar semakin baik. Dari banyak memiliki nafsu amarah dan lawwamah ke nafsu mutmainnah. Dari nafsu yang berselaras ke biologis ke nafsu yang berselaras ke spiritual. Manusia memang memiliki nafsu kebinatangan, sebab manusia sebenarnya binatang juga, hanya saja binatang yang bisa berpikir atau hayawanun natiq. Oleh karena itu maka dipastikan manusia juga memiliki nafsu yang berkaitan dengan nafsu binatang, misalnya makan, minum, relasi seksual dan nafsu lainnya. Namun demikian, nafsu hayawaniyah tersebut harus dimanej agar tidak jatuh kepada nafsu binatang yang sebenarnya. Nafsu biologis memang tidak harus dihilangkan sebab nanti akan kehilangan nafsu tersebut. Tetapi yang terpenting adalah mengatur agar nafsu tersebut bisa dimanej sesuai dengan ajaran Islam. Dan salah satu instrumennya adalah puasa.
Nafsu merupakan bagian dari sisi kehidupan manusia yang penting. Nabi Muhammad SAW menyatakan: “raja’tu min jihadil ashghar ila jihadil akbar”. Dan kala Nabi Muhammad SAW ditanya, maka Beliau menjawab: “jihadun nafs”. Artinya, “saya kembali dari jihad kecil menuju jihad besar”, yaitu: “jihad melawan hawa nafsu”. Dari hadits Nabi Muhammad SAW ini maka bisa dipahami bahwa jihad melawan hawa nafsu merupakan jihad yang besar. Perang Badar sebagai perang terbesar di dalam sejarah Islam ternyata bukan jihad yang terbesar, tetapi yang terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu. Jadi puasa dapat dijadikan sebagai instrument untuk berperang melawan hawa nafsu.
Jika manusia bisa melakukannya, maka manusia akan dapat menjadi bagian dari Firman Allah, di dalam surat Al Fajar, ayat 27-30, yang artinya: “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridai-Nya, maka masuklah ke dalam hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku”. Puasa sebagaimana yang kita lakukan hakikatnya bisa menjadi medium untuk melatih diri agar bisa menjadi manusia yang memiliki nafsu muthmainnah, dan inilah yang menjadi indikasi kita menjadi hamba Allah yang akan memasuki surga-Nya.
Walllahu a’lam bi al shawab.