HEBATNYA AJARAN ISLAM; AJARAN MEMBERI MAKAN (2)
HEBATNYA AJARAN ISLAM; AJARAN MEMBERI MAKAN (2)
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Sebelum kita melanjutkan pengajian selasanan bakda shubuh, maka marilah kita membaca shurat Alfatihah, ummul qur’an, semoga dengan terus membaca shurat Alfatihah, maka kita akan dimudahkan Allah dalam segala urusan dan diberkahi kehidupan kita dengan kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat. Syaiun lillah lahum alfatihah…
Hadits Nabi Muhammad itu berbunyi: “sami’tu Rasulullah SAW yaqulu: Ya ayyuhan nas ‘afsyus salam wa ath’imuth tha’am, wa shilul arham, wa shallu wan nasu tsiyamun, tadkhulul Jannata bis salam”. Rawahu Tirmidzi. Yang artinya secara umum adalah: “saya mendengar Rasulullah SAW berkata: Wahai manusia sebarkanlah salam, berikan makanan, sambunglah tali silaturrahmi, dan shalatlah kala manusia tertidur, maka masuklah surga dengan selamat”. Hadits ini dinukil dari Kitab Riyadhus Shalihin, karya Imam Nawawi. Pada tulisan yang lalu sudah saya jelaskan tentang hebatnya salam.
Di dalam hadits ini dijelaskan mengenai ath’imuth tho’am atau dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “berikan makan”. Secara tekstual, maka yang namanya makan tentu merupakan pemenuhan kebutuhan fisik. Jadi makan itu terkait dengan fisik atau pemenuhan kebutuhan biologis. Jadi jika menggunakan makna tekstual maka hadits ini memberikan arahan agar manusia memberikan makanan kepada manusia lainnya, atau bahkan tidak hanya manusia tetapi juga kepada makhluk Tuhan lainnya yang membutuhkan makan. Jadi secara etimologis, memberi makan itu artinya adalah dalam wujud makanan. Bisa nasi atau lainnya. Apa saja yang secara fisikal bisa mengenyangkan.
Namun saya berusaha untuk memahami secara terminologis makna dari memberi makan. Saya memahami bahwa memberi makan itu tidak terbatas pada pemberikan makan fisik dalam bentuk makanan yang mengenyangkan perut, tetapi bisa dimaknai lainnya, yaitu makanan fisik, makanan jiwa dan makanan rohani. Makanan fisik sudah jelas, tetapi makanan jiwa dan makanan rohani ini yang saya kira diperlukan penjelasan lebih lanjut.
Manusia memiliki tiga unsur, yaitu: unsur fisik atau biologis, unsur jiwa dan unsur roh. Di Indonesia hanya dikenal dua saja unsur dalam diri manusia, yaitu: jiwa dan raga. Jiwa di dalam Bahasa Arab disebut an nafs. Maka ilmu jiwa disebut sebagai ilmun nafs. Jadi jiwa itu bisa dipelajari. Ekspressi jiwa adalah perilaku. Dan perilaku bisa dikaji secara ilmiah. Sedangkan roh itu sesuatu yang tidak bisa dipelajari, karena roh itu ditiupkan Tuhan kepada manusia sehingga mengandung dimensi Ketuhanan atau aspek misteri ketuhanan. Hanya Allah saja yang tahu tentang roh, bahkan kala Nabi Muhammad SAW ditanya tentang roh, maka Nabi Muhammad SAW menyatakan roh itu urusannya Allah, dan kita tidak diberikan ilmu kecuali sedikit. “Wa yas’alunaka ‘anir ruh, kulir ruhi min ‘amri rabbi, wa ma utitum minal ‘ilmi illa qalilan”, (Surat Al Isra’ ayat 85), yang artinya kurang lebih: “dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhanku, Dan tidaklah kamu diberikan pengetahuan kecuali sedikit”.
Lalu, apakah perbedaan antara roh dan jiwa. Jawabannya adalah roh itu merupakan “sesuatu” yang ditiupkan Allah kepada janin manusia. Dengan roh itulah maka manusia menjadi hidup. Sebelumnya masih merupakan gumpalan daging dan darah dan kemudian setelah ditiupkan roh oleh Allah, maka jasad tersebut bernyawa. Menjadi hidup. Lalu jiwa adalah yang mengantarai relasi atau hubungan antara badan atau jasad dengan roh. Secara skematis bisa digambarkan jiwa berada di tengah-tengah antara jasad dan roh. Jiwa berisi tentang kecenderungan untuk melakukan sesuatu. Jiwa atau nafs memiliki kecenderungan terkait dengan pilihan-pilihan di dalam kehidupan. sedangkan roh itu netral karena roh adalah tiupan Allah pada diri manusia. Oleh karena itu, jiwalah yang memainkan peranan penting di dalam kehidupan ini. Adakalanya jiwa itu lebih dekat kepada dunia jasad atau mengikuti keinginan jasad atau nafsu biologis dan ada kalanya cenderung kepada roh atau dimensi ketuhanan. Di dalam konsepsi Islam, jiwa itu adakalanya seperti binatang atau kal hayawan dan adakalanya kal malaikat. Jiwa bisa dekat kepada roh dan bisa dekat ke jasad. Islam membagi nafsu itu bermacam-macam, yaitu: nafsul muthmainnah atau jiwa yang tenang yang penuh dengan dimensi ketuhanan, dan ada nafsul lawwamah atau jiwa yang dekat kepada jasad penuh dengan keinginan-keinginan duniawi sehingga akhirnya menyesali kenyataan tersebut, dan nafsul ammarah atau jiwa yang selalu berkecenderungan untuk memenuhi hasrat hidup dalam segala aspek dengan kekuasaan dan kekuatan. Jiwa yang tenang penuh dengan sifat-sifat kebaikan, akan mengantarkan manusia untuk dekat dengan Tuhan, sementara itu jiwa yang penuh dengan nafsu keduniawian dalam segala aspeknya akan mendekatkan kepada kehidupan biologis dan menjauhkannya dari Tuhan, sementara itu jika kemudian ada penyesalan atas kesalahan yang dilakukan maka dia memasuki jiwa penyesalan, bisa kepada kebaikan atau sebaliknya.
Sesungguhnya Allah SWT sudah memberikan kepada manusia cara untuk memasuki nafsu mutmainnah melalui makanan jiwa atau asupan jiwa. Asupan jiwa tersebut dapat berupa mengamalkan kebaikan-kebaikan sesuai dengan ajaran Islam, misalnya mendengarkan pengajian, mengaji Alqur’an, atau melakukan dzikir secara terstruktur dan amalan-amalan shalih lainnya yang jumlahnya sangat banyak. Asupan jiwa dapat diperoleh melalui kehadiran guru atau belajar sendiri (otodidak) dari sumber-sumber yang diyakini kesahihannya.
Dari penjelasan ini, maka ath’imuth tho’am itu tidak hanya bermakna makanan fisik dalam bentuk makanan atau minuman, atau lainnya yang bersifat jasadiyah, akan tetapi juga pemberian atau pengisian batin atau jiwa dengan amalan-amalan kebaikan, yang dipastikan akan menjadikan kita akan lebih baik dan lebih baik lagi.
Wallahu a’lam bi al shawab.