BETAPA INDAHNYA SHALAT: YA ALLAH AMPUNI KAMI (BAGIAN KETUJUH)
BETAPA INDAHNYA SHALAT: YA ALLAH AMPUNI KAMI (BAGIAN KETUJUH)
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Sebelum memulai pengajian Selasanan bakda shubuh, marilah kita mulai terlebih dahulu dengan membaca shurat Alfatihah, semoga dengan keikhlasan hati kita membacanya maka kita akan diselamatkan oleh Allah dari semua marabahaya, kejelekan dan dosa dan bisa memperoleh kebahagiaan fid dini wadunya wal akhirah, syaiun lillah alfatihah…
Doa di antara dua sujud salah satunya adalah wa’afini, atau di dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan: “Ya Allah ampunilah kami” atau “Ya Allah ampunilah saya”. Mengapa kita harus mengungkapkan perkataan, “Ya Allah maafkan kami”. Dalam hal ini, apakah relevansinya dengan perbuatan yang kita lakukan. Jika ditilik dari teks Alhadits, maka dinyatakan bahwa: “al insanu mahalul khatha’i wan nisyan” yang artinya: “manusia itu tempatnya kekhilafan dan kelupaan”. Memang Allah menciptakan manusia dengan tingkat kesempurnaan yang tinggi, terutama terkait dengan inteligensinya. Dengan rational intelligent, emotional intelligent, social intelligent dan spiritual intelligent, sebagai indicator kesempurnaan Allah menciptakan manusia, namun satu hal penting manusia juga diciptakan dengan memiliki potensi melakukan kekhilafan dan kelupaan. Ini bagian dari hukum berpasangan yang Allah terapkan kepada manusia.
Sebagai instrument bagi manusia yang sering kali salah dan lupa, maka Allah memberikan cara kepada manusia untuk menghilangkan atau meminimalisasinya, dengan permohonan ampunan dan kemaafan kepada Allah. Sebuah instrument yang tidak rumit, yaitu selalu berdoa untuk memohon ampunan dan maaf dimaksud. Ucapan tersebut adalah astaghfirullah atau astaghfirullah al adhim atau wa’afini. Jika yang diucapkan adalah astaghfirullah maka yang dimaksud adalah “Ya Allah ampunilah kekhilafan kami” dan jika yang dibaca wa’afini maka yang dimaksud adalah: “Ya Allah maafkan kami”.
Menurut Prof. Nasaruddin Umar, bahwa ada perbedaan antara ampunan dan pemaafan. Maghfiroh dan afwun itu berbeda. Jika ampunan itu dosa atau kekhilafan kita dihapus oleh Allah tetapi catatannya masih ada. Jadi sewaktu-waktu masih bisa dibuka lagi. Sedangkan afwun itu dosa dan kekhilafan itu dihapus dan catatannya dihapus juga. Jadi sudah tidak ada jejak doa atau kekhilafan yang tercatat. Sama halnya dengan kita punya hutang, jika ampunan maka hutangnya dihapus tetapi catatan utang itu masih ada, sedangkan di dalam afwun itu hutang dihapus dan catatan hutang dihapus juga. Sungguhlah bahagia orang yang dosanya dihapus dan catatan dosanya juga dihapus. Jadi nanti di saat hari penerimaan catatan kehidupan atau raport kehidupan diberikan, maka catatan dosa itu dihapus dan kita bisa menerima raport dengan tangan kanan. Dan itu pertanda surga akan diterima oleh hamba Allah tersebut.
Nabi Muhammad saw yang sudah dipastikan sebagai hamba Allah yang ma’shum atau tanpa dosa, tetap melantunkan istighfar kepada Allah ratusan kali dalam sehari. Ini Nabi Muhammad SAW. Maka seharusnya kita harus melazimkan bacaan istighfar sebanyak-banyaknya. Pada setiap saat, setiap kesempatan dan setiap tempat. Alangkah indahnya jika bisa seperti ini. Ya Allah berikan kami kemampuan untuk terus memohon ampunan kepadamu.
Allah adalah Dzat yang maha pengampun. “Innallaha ghafurur Rahim”, yang artinya kurang lebih “sesungguhnya Allah itu maha pengampun dan maha pengasih”. Tiada Dzat yang melebihi Allah SWT dalam memberikan ampunan kepada hambanya. Itulah sebabnya manusia mesti meminta ampunan dan maaf kepada Allah dengan sesungguhnya. Bukan permohonan yang semu dan pura-pura. Permohonan ampunan itu harus sungguh-sungguh dan ikhlas. Semoga dengan permohonan ampunan kepada Allah tersebut Allah mengabulkan doa dan permohonan kita, sehingga kita akan bisa menjadi hambanya yang bisa memasuki surganya karena keridlaan Allah SWT.
Di kalangan para ‘arif billah, maka ada tiga hal yang sangat penting di dalam kehidupan, yaitu bacaan kalimat tauhid: lailaha illallah, lalu membaca istighfar: “astaghfirullah”, dan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW”. Ketika membaca la ilaha illallah maka tidak hanya menyebut asma atau namanya, tetapi yang penting justru maknanya. Ada sebuah ungkapan di kalangan ahli kaum arif billah: man abadal asma wal makna fahuwa mu’minun haqiqiyyun artinya “barang siapa yang menyebut nama Allah dan maknanya maka dia adalah orang mukmin hakiki”.
Kita ini beragama sesuai dengan kapasitas kita, bahkan beragama kita termasuk beragamanya kaum awam. Tetapi saya kira tidak ada salahnya jika kita berada di dalam konteks mengamalkan tiga hal sebagaimana yang dilakukan oleh kaum ‘arif billah, yaitu membaca kalimat tauhid, membaca istighfar dan membaca shalawat. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad”. Kita berkeyakinan bahwa kalau kita sungguh-sungguh berusaha insyaallah bisa. Dan semoga kita menjadi bagian dari umat Islam yang memperoleh pengampunan dari Allah dan kita bisa memperoleh ridhanya Allah dan surganya Allah.
Wallahu a’lam bi al shawab.