DEMI MASA DEPAN PTKIS HARUS BERUBAH
DEMI MASA DEPAN PTKIS HARUS BERUBAH
Jadikan tantangan menjadi peluang. Jadilah Pemenang dan bukan pecundang. Itulah pernyataan saya mengakhiri perbincangan di Webinar yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana IAI Tribhakti Kediri, 08/08/2020. Hadir sebagai nara sumber adalah saya dan Prof. Dr. Azis Fahrur Rozi, MA, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Acara tersebut diprakarsai oleh Dr. Suko Susilo, MSi, Direktur PPs IAI Tribhakti Kediri.
Secara empiris, bahwa PTKIS memang terus eksis di tengah persaingan PT yang semakin ketat. Bisa dibayangkan bahwa jumlah PTKIS semakin meningkat dari tahun ke tahun, dan untuk Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) Wilayah IV, dengan wilayah Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT, jumlahnya tidak kurang dari 150 PTKIS. Bahkan di dalam satu kabupaten/kota bisa terdapat tiga sampai empat PTKIS. Makanya, persaingan untuk merebut sumber daya mahasiswa di PTKIS juga sangat ketat. Padahal, kebanyakan yang memasuki PTKIS adalah mereka yang tidak menghendaki untuk kuliah di luar kota atau di kota-kota besar, tetapi sengaja memasuki kuliah di daerahnya karena beberapa keterbatasan.
Namun demikian, saya berasumsi bahwa ada beberapa kekuatan yang dimiliki oleh PTKIS, khususnya yang berbasis pesantren. Kekuatan tersebut antara lain adalah kesamaan dalam perspektif dimensi keberagamaan, misalnya pengetahuan, keyakinan, ritual, konsekuensi dan pengamalan beragama. Dari sisi keyakinan beragama pastilah mereka memiliki paham keyakinan beragama berbasis konsep Ahlu Sunnah wal Jamaah, demikian pula pada dimensi pengetahuan, dan ritual beragama. Di dalam konteks konsekuensi beragama juga pasti berpaham Islam wasathiyah. Kala menafsirkan jihad, pasti bukan jihad dalam konteks perang offensive, tetapi jihad sebagai upaya sungguh-sungguh dalam menjalankan visi dan misi kehidupan, berbasis pada keluhuran ajaran Islam.
Kemudian, pesantren merupakan institusi social yang paling stabil, tidak mudah berubah, tidak mudah goncang karena serbuan modernisasi dan factor eksternal lainnya. Kyai bisa menjadi kekuatan penyeimbang dan mediator bagi setiap perubahan yang datang dari eksternal pesantren. Kekuatan lainnya adalah rasa memiliki pesantren dan kebanggaan sebagai alumni pesantren merupakan kekuatan khusus, yang menjadi peluang bagi PTKIS untuk menuai dukungan dan sumber daya mahasiswa. Selama ini, keterikatan alumni pesantren dengan kyai itu masih melekat dengan kuat. Bahkan apa yang dinyatakan oleh kyai masih menjadi pedoman dalam menempuh kehidupan. Kyai memiliki peran polymorphic bagi para santri dan alumninya. Pesantren juga merupakan system social yang egaliter. Mereka memiliki kesamaan beragama, gaya hidup dan kehidupan sehari-hari, serta cara pandang terhadap dunia atau world view.
Namun demikian, pesantren dengan lembaga pendidikannya juga menghadapi tantangan yang sangat serius. Di antaranya adalah perubahan social yang sangat cepat, era revolusi industry 4.0, yang semua ini mengimbas pada perubahan social di dunia pesantren dan lembaga pendidikannya. Misalnya di masa lalu, pesantren hanya mengajarkan ilmu agama berbasis kitab kuning, dengan metode sorogan, bandongan atau wetonan. Akan tetapi perubahan dalam konsepsi pendidikan, maka pesantren berubah mengadopsi system madrasi dengan kurikulum Kementerian Agama, lalu harus mengadopsi system baru lagi, yaitu system pendidikan sekolah dengan mengadaptasi kurikulum Kemendikbud. Semua perubahan ini hakikatnya merupakan respon positif pesantren terhadap perubahan social yang terus terjadi.
Pesantren dan Pendidikan Tinggi Islam memang dua hal yang berbeda, tetapi memiliki basis yang sama yaitu pengembangan ilmu keislaman. Hanya saja jika PTKI itu berbentuk institut maka memiliki kewenangan untuk pengembangan mandate tambahan yaitu ilmu social dan humaniora, sedangkan jika bentuknya universitas, maka bisa memiliki wewenang untuk mengembangkan ilmu sains dan teknologi selain ilmu keagamaan, social dan humaniora. Meskipun memiliki ilmu nonislamic studies, namun tetap saja lembaga pendidikan di bawah pesantren harus mengedepankan lingkungan pendidikan yang berbasis pesantren, yaitu institusi pendidikan yang mengusung ilmu keislaman, perilaku keberagamaan yang tinggi, mengembangkan wawasan kebangsaan dan mengadopsi kemodernan yang memiliki relevansi dengan kebutuhan di zaman sekarang.
Bukankah pesantren memiliki pirnsip: “al muhafadhotu ‘ala al qadimish shalih wa al ahdzu bi al jadid al ashlah”. Yang artinya kurang lebih “menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”. Jadi, perubahan itu suatu keniscayaan, melakukan pembaharuan itu kewajiban ijtima’iyyah dan melakukan inovasi itu kewajiban institusional, namun semua harus tetap berlandaskan pada nilai-nilai luhur yang sudah berjalan dan mentradisi yang memiliki rujukan di dalam pedoman keberagamaan.
Di dalam menghadapi tantangan ERI 4.0, mestinya PTKIS harus merespon dengan cepat, dengan melakukan perubahan terhadap apa yang dibutuhkan di masa depan. Generasi ke depan itu harus memiliki kapasitas: competence, creative, communications and collaboration, maka PTKIS harus menjawabnya dengan perubahan kurikulum yang relevan dengan tuntutan perubahan ke depan. Hard skill diperkuat, baik dari sisi teori, metodologi maupun praksisnya, dan tetap mengedepankan wawasan keislaman, wawasan kebangsaan dan penguasaan IT. Betapa untungnya sekarang dengan Pandemi Covid-19, yang secara cepat mengubah dari nihil IT menjadi serba IT. Webinar hari ini dihadiri banyak participant dari berbagai daerah dan dihadiri nara sumber dari Jakarta dan Surabaya, yang dengan aplikasi Zoom, maka semua tersambung dari tempatnya masing-masing lintas wilayah tersebut.
Hal ini merupakan contoh bagaimana ke depan PTKIS harus menggunakan IT untuk kepentingan pendidikan. IAIT, meskipun kajiannya bercorak Islamic studies, akan tetapi harus mengubah mindset pengelolaan pendidikan dari prinsip pendidikan konvensional ke pendidikan modern-religius, dengan mengadopsi IT sebagai instrument pembelajaran dan pelayanan. Ke depan, PTKIS harus memperkuat jejaring, misalnya antar PT, dengan perusahaan, dengan organisasi social keagamaan dan juga LSM yang bergerak di bidang pengembangan keberagamaan masyarakat dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk menjawab gagasan Kampus Merdeka dan Belajar Merdeka.
Tidak ada salahnya PTKIS belajar dari kampus-kampus di Thailand, dengan Pusat Bahasa dan Budaya negara-negara lain, semisal Pusat Bahasa dan Budaya Jepang, Korea Selatan, Indonesia dan sebagainya. Bukankah PTKIS yang berbasis pesantren bisa juga membuat Pusat Studi Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Pusat Bahasa dan Budaya China, Pusat Bahasa dan Budaya Afrika Utara dan sebagainya.
Oleh karena itu, jika PTKIS ingin eksis, maka kedepankan distingsi, apa yang menjadi pembedanya dengan program sejenis, lalu ekselensi atau apa keunggulannya berbasis pada distingsi dimaksud dan akhirnya akan menjadi destinasi atau tujuan belajar bagi masyarakat Indonesia maupun dunia internasional. Makanya PTKIS harus berubah untuk menjemput masa depan yang lebih baik.
Wallahu a’lam bi al shawab.