Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MOH. SYARIFUDDIN: CUM LAUDE DENGAN MENELITI TIONGHOA MUSLIM

MOH. SYARIFUDDIN: CUM LAUDE DENGAN MENELITI TIONGHOA MUSLIM
Kebahagiaan Mohammad Syarifuddin tentu membuncah, setelah Ketua Sidang Ujian Terbuka pada Program Doktor UIN Sunan Ampel, Prof. Dr. Aswadi mengumumkan bahwa ujian dengan promovendus, Mohammad Syarifuddin lulus dengan predikat pujian atau cum laude. Hari Kamis, 22 Juli 2020, Mohammad Syarifuddin memang berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Social Capital dalam Bisnis Pengusaha Tionghoa Muslim di Kota Kediri”.
Dengan komposisi penguji: Prof. Dr. Aswadi sebagai ketua tim penguji, Prof. Dr. Nur Syam, dan Dr. Sirajul Arifin, sebagai promotor dan penguji, Prof. Dr. Moh. Dja’far, sebagai penguji utama (eksternal), Dr. Mohammad Ahsan, Dr. Ali Arifin, dan Dr. Iskandar Ritonga, sekretaris tim penguji, Mohammad Syarifuddin dengan sangat lancar dan meyakinkan dapat menjawab seluruh pertanyaan penguji. Dan akhirnya para penguji bersepakat untuk memberinya peringkat kelulusan dengan cum laude atau Mumtaz.
Di dalam ujian ini, Prof. Nur Syam menyatakan bahwa disertasi Sdr Promovendus, memiliki beberapa kelebihan, yaitu dari sasaran kajian yang berbeda dengan penulisan disertasi lainnya sebab yang diteliti adalah para pengusaha Tionghoa, yang tentu memiliki tradisi dan budaya yang berbeda, meskipun mereka adalah orang Islam. Secara metodologis, tentu sangat berbeda meneliti orang yang memiliki kesamaan etnis –misalnya sesama Jawa—dengan orang Tionghoa, yang berbeda dalam etnisnya. Dan Sdr. Mohammad Syarifuddin bisa memperoleh data yang lengkap dengan ketepatan waktu yang memadai.
Lalu kajian teoretik dan implikasi teoretik yang sangat baik, sebab terdapat diskusi antara temuan penelitian dengan teori-teori yang dijadikan sebagai pemantik kepekaan atas data yang didapatkan di lapangan. Penelitian disertasi tentu harus memiliki diskusi implikasi teoretik yang baik, sebab di sanalah sesungguhnya kekuatan disertasi untuk menemukan konsep atau teori baru yang merupakan hasil akhir dari penelitian disertasi.
Menurut Syarifuddin, bahwa focus kajiannya berupa modal social, dengan pokok bahasan, yaitu guanxie yaitu manifestasi dari ajaran Konfusius tentang etika hubungan horizontal, di mana orang Tionghoa harus selalu membangun relasi social, terutama dengan sesama Tionghoa. Guanxie merupakan strategi bisnis yang berbasis pada prinsip humanis, sosiologis, kebajikan dan kebijaksanaan. Prinsip yang paling mendasar adalah saling tolong menolong atau solidaritas yang tinggi. Di sisi lain, sebagai orang Muslim, mereka memanifestasikan prinsip ukhuwah atau ashabiyah. Oleh karena itu, orang Tionghoa Muslim bisa memadukan antara prinsip Konfusius dan prinsip Islam yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menjaga relasi bisnisnya.
Lebih lanjut dinyatakan: “Prinsip ukhuwah merupakan dasar relasi social yang lebih luas, yang mengandung makna persaudaraan sesama komunitas Muslim dan sesama umat manusia”. Prinsip ukhuwah ini senada dengan konsep ashabiyah sebagaimana yang dipahami oleh Muslim Tionghoa. Di dalam konsep local disebut “seduluran”. Dengan demikian jika digabungkan antara makna social capital dalam bisnis Tionghoa Muslim, maka dapat dinyatakan terdapat suatu konsep baru, yaitu: “Ukhuwah Iqtishadiyah” adalah strategi bisnis dengan menggunakan pendekatan sosiologis dengan basis trust sebagai pondasinya, network sebagai insfrastuktur, dan reciprocity sebagai operasionalnya. Semuanya didasarkan atas pemahamannya pada ajaran Islam dan filsafat konfusius.
Ketika ditanya oleh Prof. Mohammad Dja’far tentang mana yang lebih dominan di dalam mengimplementasikan ajaran Islam dan filsafat Konfusius, maka dijawab bahwa tidak didapatkan angka pasti tetapi kiranya fifty-fifty. Orang Tionghoa bisa dengan bijak menerapkan keduanya di dalam konteks yang sama baiknya. Misalnya ajaran Konfusius digunakan untuk membangun relasi sosialnya dengan sesama orang Tionghoa dengan tidak membedakan apa agamanya, dan ajaran Islam digunakan untuk membangun relasi dengan kyai, pesantren, dan umat Islam pada umumnya. Keduanya berjalan dengan sama baiknya. Orang-orang Tionghoa Muslim ini terbiasa untuk memberikan sedekah, infaq dan pemberian lain, baik bagi pesantren dengan Kyai, dan juga kepada masyarakat umum. Semua dilakukan dengan kesadaran untuk membangun usaha bisnisnya agar bisa diterima oleh semua pihak.
Memang ada varian motif mereka menjadi muslim, misalnya karena menikah dengan salah seorang putri Kyai, ada yang karena menikah dengan keturunan waliyullah di Kediri dan juga ada yang karena ingin mencalonkan sebagai bupati dan sebagainya, namun semua itu tentu karena factor internal bahwa mereka ingin menjadi umat Islam. Menurut mereka, bahwa menjadi Islam itu lebih berat dari pada menjadi umat Konghucu, sebab di dalam Islam itu yang berat adalah shalat lima waktu, berbeda dengan umat Konghucu yang sangat sederhana peribadahannya.
Strategi yang digunakan oleh orang Tinghoa muslim adalah yang disebut sebagai ukhuwah iqtishadiyah yang humanis dan sosiologis, yang berbeda dengan prinsip kapitalisme yang mengedepankan individualisme dan pasar bersaing bebas. Dengan demikian temuan baru di dalam penelitian ini adalah modal social berbasis ukhuwah iqtishadiyah.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..