Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PENDIDIKAN ISLAM WASATHIYAH DI ERA DISRUPTIF

PENDIDIKAN ISLAM WASATHIYAH DI ERA DISRUPTIF
Perkembangan dunia Pendidikan yang dikelola oleh kaum Islam wasathiyah memang cukup menggembirakan. Jika kita merujuk pada dua organisasi besar yang tergolong sebagai Islam wasathiyah, Muhammadiyah dan NU, maka bisa diketahui bagaimana perkembangan institusi Pendidikan yang dikelola oleh keduanya.
Sebagaimana diketahui, bahwa Muhammadiyah semenjak awal memang mengembangkan pendidikan umum, seperti TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah, sehingga secara structural berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sebagai kementerian yang mengurus institusi pendidikan umum. Sementara itu, NU lebih banyak bermain di pesantren dan madrasah, sehingga secara structural berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag).
Indonesia memang negeri yang unik. Dari sisi penanggungjawab dan penyelenggara institusi pendidikan maka terdapat sebanyak 18 Kementerian/Lembaga yang mengurus Lembaga pendidikan, meskipun yang besar adalah Kemendikbud dan Kemenag. Seluruh lembaga pendidikan dari TK sampai PTU, semuanya berafiliasi ke Kemendikbud, sementara itu semua lembaga pendidikan mulai dari RA, MI, MTs., MA dan PTK semua berada di bawah koordinasi Kemenag. Sesuai dengan Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka dinyatakan bahwa lembaga pendidikan yang berada di bawah koordinasi Kemenag adalah lembaga pendidikan umum berciri khas agama.
Persyarikatan Muhammadiyah memiliki sejarah panjang dalam mengelola pendidikan, dan tentu agak berbeda dengan NU yang tradisi awalnya adalah pesantren. Pengembangan institusi pendidikan umum di NU tentu datang belakangan. Itulah sebabnya di saat institusi pendidikan umum di Muhammadiyah sudah cukup mapan, maka institusi pendidikan di NU masih dalam proses menuju perbaikan kualitas. Berbeda dengan institusi pesantren yang di kalangan NU tentu sudah mapan sebab sudah berjalan ratusan tahun. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Muhammadiyah memang tidak pernah secara politis menjadi partai politik, sehingga pengembangan pendidikannya jauh lebih cepat, sedangkan NU yang menjadi partai politik tentu mengalami kendala terkait dengan pengembangan lembaga pendidikan. Itulah sebabnya lembaga pendidikan di NU dikelola lebih mandiri oleh lembaga-lembaga pesantren dan tidak secara organisatoris. Meskipun demikian tentu perkembangan institusi pendidikan tersebut perlu diapresiasi sebagai kesadaran masyarakat Islam wasathiyah dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa. Jika tidak ada organisasi yang mengembangkan Islam wasathiyah ini, maka tidak bisa diprediksi bagaimana Islam Indonesia di masa depan.
Institusi pendidikan di Indonesia tentu beruntung sebab memiliki sistem perundang-undangan yang memberikan perhatian dan kesetaraan antara pendidikan umum dan pendidikan umum berciri khas keagamaan. Bisa dilihat kesetaraan keilmuan agama dan non agama, kesetaraan institusi pendidikan dan juga kesetaraan tenaga pendidik dan tenaga kependikan dan kesetaraan evaluasi Pendidikan. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi memberikan peluang untuk mengembangkan pendidikan dan kesetaraan pendidikan dimaksud.
Meskipun regulasi mengenai pendidikan di Indonesia sudah tidak lagi membedakan status institusi pendidikan dalam jalur dan jenjang, namun kenyataannya tentu masih terdapat pengelolaan pendidikan yang berbeda dalam kualitas. Secara managerial, misalnya Institusi pendidikan di bawah koordinasi Persyarikatan Muhammadiyah tentu lebih memadai sebab dikoordinasi secara nasional dan regional, sehingga kualitasnya tentu lebih setara, selain juga pembinaan yang lebih elegan, sedangkan lembaga pendidikan di bawah NU tentu sangat bervariasi kualitasnya, sebab dikelola secara mandiri. Peran LP Ma’arif merupakan peran koordinatif saja dan bukan factor penentu.
Tantangan utama lembaga pendidikan yang mengusung Islam wasathiyah adalah masih lemahnya infrastruktur modern terutama dalam menghadapi era disruptif. Penggunaan teknologi informasi yang sekarang telah menjadi actual di tengah program pembelajaran baru tentu banyak lembaga pendidikan yang masih kedodoran. Jangankan perangkat IT, teknologi informasi yang paling sederhana saja masih belum sepenuhnya terpenuhi. Misalnya WF sebagai perangkat teknologi informasi yang belum merata pada semua lembaga pendidikan berbasis Islam wasathiyah. Konsentrasi institusi pendidikan masih berupa pemenuhan sarana prasarana, seperti ruang kelas, laboratorium, ruang guru, ruang praktikum dan sebagainya, dengan program pembelajaran off line. Di era sekarang yang mendadak harus berubah 100 persen menggunakan sistem pembelajaran on line, maka betapa susah sejumlah institusi pendidikan untuk memenuhinya.
Jika mengacu pada hasil survey bahwa masih ada sebanyak 40 persen lembaga pendidikan (sekolah) yang belum siap untuk memasuki era pembelajaran on line, maka saya kira di madrasah tentu prosentasenya jauh lebih besar, mengingat bahwa kebanyakan madrasah berada di wilayah pedesaan dan daerah-daerah yang belum terjangkau dengan perangkat teknologi informasi modern. Jadi, lembaga pendidikan ini masih benar-benar berada di ruang “kosong” yang belum tersentuh dengan modernisasi informasi.
Tahun 2019-2024 adalah tahun Pendidikan berkualitas. Oleh karena itu, semestinya semua lembaga pendidikan harus sudah mengubah mindset pengelolanya untuk mengejar kualitas. Lembaga pendidikan di Kemendikbud, terutama di perkotaan, tentu sudah lebih maju. Apalagi institusi Pendidikan di bawah Kemendikbud kebanyakan (80 persen) adalah sekolah negeri, sehingga kualitasnya relative merata. Hal ini berbeda dengan Lembaga Pendidikan di bawah Kemenag yang 80 persen berstatus swasta, sehingga varian kualitasnya sangat berbeda.
Tantangan ini yang saya kira mesti direspon oleh pemerintah dengan mengedepankan anggaran yang lebih memperhatikan terhadap pemenuhan upaya untuk mengejar kualitas, terutama Lembaga Pendidikan madrasah. Tugas para pengambil keputusan tentu harus menyelaraskan antara RPJMN 2019-2024 dengan program dan anggaran yang relevan dengannya. Tanpa ini saya kira RPJMN hanya akan menjadi macan kertas dan tidak eksis di tengan kehidupan Lembaga Pendidikan di Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..