Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERSPEKTIF THE EXPERIENCE OF THE HOLY TENTANG PUASA (5)

Manusia memerlukan agama sebagai pedoman untuk menyelenggarakan kehidupan agar terdapat keteraturan. Oleh karena itu, seluruh agama berisi tentang aturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman di dalam kehidupan secara individual atau dalam relasinya dengan individu lainnya. Jika orang beriman menjadikan agama sebagai regulasi di dalam membangun kehidupan bersama, maka bagi kaum yang tidak beriman maka digunakanlah regulasi yang diatur oleh negara atau kesepakatan bersama.

Agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan juga dengan alam semesta. Di dalam konsepsi Islam disebut sebagai hablum minal Allah, hablum minan nas dan hablum minal alam. Islam mengajarkan keseimbangan di dalam hubungan tersebut sehingga kehidupan menjadi lebih bermakna. Relasi dengan Allah yang baik harus diikuti dengan hubungan yang baik dengan sesama manusia, dan juga ditindaklanjuti dengan relasi yang baik dengan alam.

Di antara ahli ilmu sosial yang mengkonsepsikan relasi dengan Tuhan adalah Joachim Wach dengan konsepsinya mengenai “The Experience of the Holy”. Di dalam ilmu sosial ada lima aspek yang dapat digunakan sebagai sasaran kajiannya yaitu dimensi intelektual, dimensi ritual, dimensi konsekuensial, dimensi teologis dan dimensi pengalaman beragama. Dimensi intelektual adalah seperangkat pengetahuan tentang ajaran agama, dimensi ritual terkait dengan seperangkat pengetahuan dan pengamalan tentang ajaran agama, dimensi konsekuensial terkait dengan seperangkat konsekuensi beragama, dimensi teologis terkait degan seperangkat keyakinan tentang Tuhan dan hal-hal gaib lainnya dan dimensi pengalaman terkait dengan pengalaman individual yang dialami oleh manusia tentang agama.

Pengalaman beragama merupakan pengalaman yang bercorak individual. Artinya, bahwa masing-masing individu akan memiliki pengalaman berbeda meskipun dalam ruang dan saat yang sama dalam melakukan amalan keagamaan. Masing-masing individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangkap pengalaman agama atau relasinya dengan kekuatan gaib dimaksud.

Secara ruhaniyah, maka ada orang yang bisa memasuki “ruang ketuhanan” atau terbukanya hijab antara al basyar, al nafs dan al ruh yang disebut sebagai kemampuan “fawaid” atau kemampuan menyingkap yang tersirat menjadi tersurat, yang gaib menjadi kasunyatan, atau terbukanya tabir hal-hal yang tertutup menjadi terbuka. Oleh karenanya lalu ada orang yang memiliki kemampuan untuk membaca orang lain melalui kemampuan adikodrati yang diberikan Allah kepadanya.

Ilmu yang rasional tentu tidak mampu untuk menjangkau terhadap dunia “gaib” seperti ini, meskipun menggunakan metodologi secanggih apapun. Mungkin yang bisa mereflesikannya adalah melalui pemahaman irfani. Melalui pendekatan irfani, maka penalaran spiritual akan bisa bermanfaat. Oleh karena itu yang bisa menjadi sasaran kajian di bidang the experience of the holy adalah mereka yang bisa mencapai maqam irfani atau mereka yang sudah memasuki area fawaid dimaksud.

Sebagaimana William James, bahwa terdapat variasi pengalaman beragama. pengalaman beragama bukan milik komunitas beragama tetapi milik individu kaum beragama. Sama-sama melakukan shalat malam akan tetapi memiliki perbedaan dalam merefleksikan pengalaman beragama. Hanya orang-orang yang memiliki tingkat ketaqaruban dengan yang Maha Gaib saja yang memiliki pengalaman beragama yang khas.

Salah satu di antara medium untuk mencapai maqam seperti itu, maka riyadhohnya adalah puasa. Meskipun diselimuti oleh dunia mitos, Sunan Kalijaga memperoleh dimensi spiritualitasnya melalui puasa yang dilakukannya. Melalui pengekangan terhadap hawa nafsu atau “nutup baba’an howo songo”, maka al basyar dan al nafs bersama ruh al aidhafi untuk bertemu dengan ruh universal, yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Biasanya yang seperti ini terkait dengan rasa atau “roso rinoso”, sehingga terkadang tidak bisa diungkap dengan bahasa yang lebih banyak menggunakan rasio untuk mengungkapkannya.

Pengalaman seperti ini juga diperoleh Syekh Abdul Jalil untuk menemukan “Aku Universal”. Di dalam pengembaraannya dengan melanglang berbagai guru spiritual termasuk yang tidak beragama Islam sampai ahli tasawuf yang luar biasa di dunia luas, akhirnya terbukalah hijab yang selama ini menghalangi kemampuannya untuk menyingkap “rahasia ilahi”. Dengan melepas kecintaannya kepada selain Allah, maka hijab pun terbuka sehingga ditemukan dunia batin yang selama ini dicarinya.

Para ‘arif saja yang bisa menyingkap terhadap hal-hal yang non-inderawi menjadi inderawi. Mereka ini merupakan individu yang dikaruniai oleh Tuhan untuk menerawang dunia menjadi transparan di matanya. Tidak ada tirai yang menghalangi penglihatannya terhadap yang terhijab. Seperti pengalaman spiritual yang pernah dialami oleh Syekh Abdul Jalil, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, dan sebagainya.

Mereka ini memang memperoleh kebeningan batin untuk melihat segala sesuatu yang tidak kasat mata oleh orang lain. Memang banyak “mitos” yang menyertai kehidupan para wali ini, akan tetapi di dalam kehidupan manusia yang dipenuhi dengan aura spiritualitas tentu bukanlah hal yang aneh. Allah menegaskan, hanya para auliya yang mengetahui keauliyaannya. Atau tidak akan mengetahui “kebeningan spiritualitas” kecuali orang yang juga “bening spiritualitasnya”.

Saya meyakini bahwa para auliya itu memperoleh cahaya ilahi melalui riyadhoh yang diridloi Allah, sehingga yang keluar darinya adalah cahaya kewalian yang memang layak disematkan kepadanya. Namun dewasa ini juga banyak orang yang mampu untuk melihat yang tersirat menjadi tersurat, hanya saja kita lagi-lagi tidak tahu apakah itu bersumber dari Allah atau lainnya.

Di dalam hal seperti ini, maka biarkan Allah saja yang mengetahuinya, sebab orang ‘alim atau orang awam tentu tidak bisa menyingkap tabir atau rahasia yang menyelimutinya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..