Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERSPEKTIF THE MYSTERIUM R. OTTO TENTANG PUASA (4)

Hakikatnya setiap manusia membutuhkan aturan untuk kehidupan. Semenjak manusia mengenal kelompok, maka pengaturan itu sudah dilakukan. Masyarakat nomadenpun memiliki aturan untuk hidup bersama. Misalnya untuk berburu adalah tugas lelaki sedangkan untuk memanfaatkan dan mendayagunakan hasil buruan adalah tugas perempuan. Semenjak itu sesungguhnya sudah dikenal ranah domestik dan ranah publik.

Agama yang berisi aturan untuk mengatur kehidupan manusia tersebut sesungguhnya bersumber dari “sesuatu” yang bercorak misterius yang di dalam konsepsi Rudolf Otto disebut sebagai “Yang Misterium”. Dan setiap agama dipastikan mengajarkan tentang kemisteriusan tersebut. Agama mengatur tentang siapa yang masuk surga atau kelompok ashab al yamin, yang nanti di alam mahsyar akan menerima catatan amalnya dengan tangan kanan, dan juga mengatur siapa yang akan memasuki neraka atau golongan ashab al syimal yang nanti di alam mahsyar akan menerima catatan amalnya dengan tangan kiri.

Sering menjadi pertanyaan, mengapa ada yang masuk  dalam golongan ashab al yamin dan mengapa ada yang masuk golongan ashab al syimal. Di manakah letak keadilan Tuhan atas mereka yang masuk golongan kiri tersebut. Jawabannya tentu selalu misterius. Ada yang menyatakan bahwa masuk golongan mana saja sesungguhnya adalah kembali ke dalam Tuhan. Bukankah Tuhan itu memiliki nama-nama yang terkait dengan yang kanan atau yang kiri. Misalnya Tuhan memiliki nama “al rahman” dan “al rahim”, tetapi juga memiliki nama “ al mudhil” dan “al Muntaqim”. Allah itu Maha Kasih dan Sayang, tetapi juga Maha Menyesatkan dan Maha Menyiksa. Maknanya, jika manusia memperoleh cahaya keimanan, maka akan masuk ke dalam golongan orang yang mendapatkan rahman dan rahim Tuhan dan sebaliknya jika manusia jauh dari keimanan maka memasuki sifat Tuhan Yang Menyesatkan dan Yang Menyiksa. Namun demikian, semuanya kembali kepada Allah swt.

Disebabkan oleh mysteriumnya itu, maka agama menjadi pencarian yang tidak ada hentinya sepanjang sejarah manusia. Semakin mengandung makna misteri maka semakin kuat manusia akan terus mencarinya. Apakah bisa bertemu atau tidak tentu tergantung dari sejauh mana manusia berusaha untuk menemukannya. Itulah sebabnya meskipun ada ajaran agama yang rasional, akan tetapi juga mengandung dimensi misteri yang luar biasa. Bahkan jika agama tidak mengandung dunia misterinya, maka tentu bukanlah disebut sebagai agama.

Semua agama mengandung dunia rasional dan misteri. Misalnya shalat dinyatakan mengandung dunia kesehatan, sebab dengan gerakan shalat yang benar maka akan dapat membangun diri menjadi sehat. Sama halnya dengan puasa, juga mengandung aspek kesehatan. “Shumu tashihhu”, berpuasalah agar menjadi sehat. Ajaran ini sangat rasional. Perut diistirahatkan sepanjang hari untuk memakan sisa-sisa makanan yang tidak berguna tetapi terus menempel di tubuh manusia, lalu sel-sel yang mati dan tidak dapat dikeluarkan dari tubuh juga lalu dimakan di saat siang hari di kala tidak terdapat asupan yang masuk dalam tubuh manusia. Selain itu, melalui proses dekonstruksi cara makan, hanya boleh di malam hari dan dilarangnya di siang hari maka akan terjadi proses perbaikan sel-sel dan metabolisme tubuh yang seimbang.

Namun demikian, pastilah ada dimensi rahasianya atau misterinya. Semua amal ibadah yang dilakukan oleh seseorang maka akan kembali kepadanya, tetapi secara khusus puasa adalah untuk Allah. Bagaimana misteri ini terdapat di dalam puasa, dan bagaimana puasa yang dilakukan itu akan menjadi instrumen untuk dimiliki Allah hasilnya. Inilah yang kemudian menghasilkan konsepsi puasanya orang awam, puasanya orang ‘alim dan puasanya orang taqarrub atau puasa orang ‘arif.

Menurut Prof. Nasaruddin Umar (Republika, 6/5/20), bahwa orang ‘alim itu lebih banyak menggunakan rationya, dan orang ‘arif lebih banyak menggunakan kekuatan spiritualnya. Makanya orang arif pastilah ‘alim, tetapi orang ‘alim belum tentu ‘arif.

Di dalam konsepsi Otto, bahwa Tuhan itu adalah The Mysterium Tremendum et Fascinosum atau Yang Memesona dan juga menggetarkan. Tuhan adalah Dzat yang memesona sebab Dia itu Maha Rahman dan Rahim, Yang Maha Adil, Yang Maha Indah dan sebagainya sebagaimana nama-nama yang terdapat di dalam agama. Akan tetapi juga menggetarkan sebab Dia adalah Yang Maha Menyesatkan, Yang Maha Menghukum, Yang Maha Kegelapan, Yang Maha Perkasa dan sebagainya. Dua sifat yang dilabelkan kepada-Nya itulah yang membuat manusia selalu berada di dalam keadaan mengayuh di antara keduanya. Patuh dan tunduk, takut dan khawatir karena keterpesonaan dan ketergetarannya.

Di sinilah Tuhan melalui rasul-Nya lalu memberikan petunjuk agar manusia bisa memilih apakah akan memilih Tuhan Yang Memesona atau Tuhan Yang Menggetarkan. Apakah manusia akan memilih yang memperoleh petunjuk atau yang tersesat. Namun sebagaimana diketahui bahwa baik yang memilih petunjuk ataukah yang memilih kesesatan keduanya tetap akan kembali kepada Tuhan melalui instrumen dan pintu yang Tuhan sendiri yang mengetahuinya.

Puasa merupakan suatu instrumen bagi yang memilih petunjuk. Artinya, bahwa puasa diberlakukan bagi mereka yang berada di jalan Cahaya Tuhan yang terang benderang (nur ala al nur). Itulah sebabnya Allah menyatakan bahwa puasa itu diberlakukan bagi orang yang beriman. Ya ayyuhal ladzina amanu, wahai orang-orang yang beriman agar melakukan ibadah puasa.

Lalu tujuan puasa adalah agar manusia menjadi bertaqwa. Bertaqwa di dalam konteks ini adalah kemenyatuan antara al basyar, al nafs dan al ruh dengan ruh universal (Allah swt), al basyar telah mengalami proses pensucian, al nafs juga memperoleh pencerahan sehingga ruh idhafi kembali kepada awal mula ditiupkan Allah kepada manusia sebagaimana bayi yang baru lahir dari guwa garba Sang Ibu, suci bersih tanpa noda dan dosa. Itulah sebabnya Allah menyatakan bahwa manusia yang berpuasa dengan sungguh-sungguh akan diampuni dosa-dosanya sebelumnya. Misteri seperti ini yang sesungguhnya dicari oleh para perindu puasa, atau puasanya para “arif billah”, dan tentu tidak semua manusia bisa menemukannya.

Jalan sudah dibentangkan di hadapan kita, dan kita tentunya akan bisa memilih sesuai dengan kategori kealiman atau kearifan kita, sehingga tentu harapannya adalah memperoleh Cahaya Tuhan kelak di yaum al akhirah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..