Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERSPEKTIF TEORI FUNGSIONAL MALINOWSKY TENTANG PUASA (3)

Agama di dalam kajian sosiologi dan antropologi memiliki fungsi bagi kehidupan manusia. Agama tidak hanya menyajikan seperangkat ritual yang harus dilakukan oleh manusia tetapi juga memiliki sejumlah fungsi bagi kehidupan masyarakat.

Menurut B. Malinowsky bahwa terdapat teori batas akal, yang secara proposisional dapat dinyatakan bahwa “jika manusia secara akal sudah tidak bisa menyelesaikan masalahnya, maka manusia akan cenderung menggunakan kekuatan adikodrati untuk menyelesaikannya”. Hanya saja di dalam pandangan Malinowsky disebutnya sebagai “magi”, yaitu sebuah upaya untuk memaksa terhadap kekuatan gaib untuk menyelesaikan masalahnya. Memang ada perbedaan antara religi dan magi. Jika religi adalah sistem ritual yang berisi permohonan kepada kekuatan gaib untuk membantu menyelesaikan masalah kehidupan, sedangkan di dalam magi kekuatan gaib dipaksa untuk memenuhi hasrat kepentingannya.

Manusia memiliki dua kecenderungan untuk melakukan salah satu di antara dua hal ini, religi atau magi dan bisa juga menggunakan kedua-duanya. Penggunan religi atau magi hakikatnya merupakan pemenuhan atas hasrat kemanusiaan dan sekaligus juga hasrat ketuhanan. Manusia memang memiliki dan terdiri atas unsur yang saling melengkapi.

Menurut Agus Sunyoto (Suluk Abdul Jalil Perjalanan Ruhani Syek Siti Jenar), manusia sesungguhnya terdiri dari tiga unsur, yaitu: al basyar atau bahan baku manusia yang terbuat dari intisari tanah yang diciptakan Tuhan dengan kekuasaannya untuk menjadi manusia. Jadi al basyar terkait dengan sesuatu yang bercorak bendawi atau materi. Materi itulah yang kemudian mewujud menjadi fisik manusia seperti kita sekarang.

Unsur lainnya adalah al nafs atau kekuatan yang dapat menggerakkan al basyar atau fisik manusia sehingga manusia bisa bergerak dengan kekuatannya. Seringkali al Nafs itu disamakan dengan istilah jiwa. Makanya, ilmu jiwa diterjemahkan dengan istilah al ilm al nafs. Manusia bisa berpikir, bersikap dan bertindak karena al basyar digerakkan oleh al nafs ini. Tanpa al nafs, maka al basyar hanyalah seonggok tulang dan daging yang tidak bisa bergerak apapun.

Di dalam konteks Islam lalu disebut sebagai nafsu, yang terdiri dari nafsu amarah, nafsu lawwamah, dan nafsu mutmainnah. Sesungguhnya al nafs itu bersifat netral atau moderat. Namun demikian terkadang tekanannya lebih kepada yang bercorak bendawi atau hayawaniyah. Dua nafsu, yaitu nafsu amarah dan nafsu lawwamah adalah nafsu yang berkecenderungan kepada al basyar atau pemenuhan kepada yang bersifat bendawi atau materi.

Lalu unsur ruh atau ruhaniyah adalah sesuatu yang ditiupkan oleh Allah kepada manusia sehingga memiliki kecenderungan kepada dimensi ketuhanan juga. Di dalam literatur kaum sufi disebut sebagai ruh idhafi atau ruh yang ditiupkan Allah kepada manusia agar manusia memiliki kecenderungan untuk memenuhi perjanjiannya di alam ruh, “Alastu birabbikum, Qalu bala syahidna”. Yang artinya kurang lebih “apakah engkau bersaksi bahwa Aku Tuhanmu, Ya saya menyaksikannya”. Jika nafsu amarah dan lawwamah cenderung ke alam bendawi, maka nafs al mutmainnah cenderung ke unsur ruhaniyah.

Salah satu kesalahan kita selama ini hanya membagi manusia dengan dua unsur saja yaitu unsur jasmani dan ruhani. Bahkan kesalahan itu semakin kebablasan karena menyamakan ruhani itu dengan jiwa. Jasmani itu berbentuk ragawi dan ruhani itu berbentuk jiwa, atau jiwa dan raga, jasmani dan ruhani. Padahal sebenarnya terdapat al nafs yang sesungguhnya adalah jiwa dan ada ruh yang merupakan pancaran Tuhan. Jiwa dan pancaran Tuhan adalah dua hal yang berbeda. Al nafs adalah mediator atau perantara antara jasmani atau al Basyar dengan ruhani atau pancaran Tuhan.

Agama atau secara antropologis sering dinyatakan sebagai religi, sesungguhnya berfungsi untuk mengarahkan ketiga unsur di dalam diri manusia tersebut kepada jalan untuk mencapai relasi yang optimal dengan Allah. Maka sebenarnya setiap agama memiliki seperangkat aturan dalam mengatur kehidupan umat manusia. Di dalam memenuhi kebutuhan fisikal-jasmaniyah, maka manusia diajarkan agar memenuhi dengan cara halal, baik sumber, proses dan produknya. Makanan yang kita makan harus bersumber dan diproses dengan cara yang halal sehingga produknya halal. Melalui makanan yang halal, maka manusia dengan al nafs-nya akan cenderung bergerak menuju kepada Ruh Idhafi yang bersifat ketuhanan dan bukan menuju ke al Basyar, yang bendawi.

Manusia juga diajarkan untuk melakukan ritual, maka seluruh hal yang terkait dengan ritual itu juga harus berada di dalam kesucian, suci badan (al basyar) dan suci tempat untuk menuju kepada kesucian al nafs dan ujungnya adalah kesucian al ruh. Unsur badan harus dilakukan dengan berwudlu sebagai medium untuk mensucikan badan, dan unsur tempat ibadah juga harus di dalam kesucian. Jika keduanya berada di dalam kesucian, maka al nafs akan cenderung untuk menuju kepada Ruh Ketuhanan dimaksud.

Puasa yang kita lakukan merupakan upaya untuk membangun relasi antara al Basyar, al Nafs dan Al Ruh demi untuk memperoleh ridla Tuhan. Makanya, puasa merupakan instrumen untuk membangun relasi baik dengan Tuhan, manusia dan juga alam semesta. Itulah makna bahwa ibadah lainnya itu semua berfungsi untuk kemanusiaan kita, sedangkan puasa adalah untuk Allah. Artinya, bahwa puasa memiliki fungsi untuk mengoptimalkan peran al Ruh agar berseirama dengan kemauan Tuhan untuk kita.

Jadi puasa sebenarnya bisa berfungsi untuk mengembalikan manusia ke jalan suci, dengan cara khusus, untuk tujuan khusus pula. Sebagaimana shalat yang sesungguhnya adalah doa, maka puasa sesungguhnya juga doa yang secara fisikal (al basyar) dan jiwa (al nafs) disatukan dengan Ruh (pancaran Tuhan), sehingga dapat membentuk atau memproduk manusia dengan perilaku yang baik dan bermanfaat.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..