Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERSPEKTIF “YANG SACRAL” DURKHEIM TENTANG PUASA (2)

Puasa kiranya dapat dikaji dari perspektif konsepsi Emile Durkheim, karena puasa adalah ritual suci untuk menuju kesucian. Bulan Ramadlan dikenal di dalam konsepsi Islam sebagai bulan suci, untuk menggambarkan peristiwa keutamaan yang terdapat di dalamnya. Secara faktual, bahwa puasa menjadi bulan idaman dan kesempatan bagi umat Islam untuk mendapatkan sejumlah keutamaan, antara lain; adalah rahmah, berkah, dan maghfirah Allah.

Di dalam konsepsi Emile Durkheim, dikenal istilah “Yang Sacral” atau “Yang Suci” untuk menggambarkan tentang lawan dari konsep “Yang Profan” atau “Yang Duniawi” atau “Yang Bersifat Materi”. Yang Suci itu digambarkan sebagai sesuatu yang lain yang berbeda dengan yang bersifat atau bercorak materi, dan terdapat di dalam dunia keyakinan individu atau komunitas dan masyarakat, yang memiliki efek kepatuhan atau ketaatan. Jika yang bercorak duniawi tersebut dapat diobservasi rupa dan bentuknya, maka yang suci tersebut hanya bisa dilihat dari performance para pelakunya untuk mematuhi terhadap yang diyakininya tersebut.

Yang Sakral tersebut memiliki dimensi belief, ritual dan performance. Sisi keyakinannya berada di dalam pemikiran dan sesuatu dibalik pemikirannya, sedangkan dimensi ritual terdapat di dalam perilaku yang tampak dan dapat diobservasi sebagai akibat keyakinan dimaksud. Sedangkan performancenya dapat dilihat dari tampilan-tampilan eksternal, misalnya gaya berpakaian, gesture, dan bahan-bahan ritual yang digunakannya.

Manusia semenjak semula memang memiliki kecenderungan untuk mempercayai terhadap keberadaan Tuhan. Jika mengacu pada konsepsi kebutuhan, maka manusia tidak hanya berkebutuhan fisik-biologis, pengakuan dan penghargaan, keamanan dan kenyamanan, akan tetapi juga kebutuhan berketuhanan. Makanya di setiap masyarakat, bagaimana pun primitifnya, maka Tuhan selalu dihadirkan di dalam kehidupannya.

Agama bahkan menjadi bahan kajian yang tidak ada habisnya-habisnya. Banyak sekali riset semenjak lama dan sudah menjadi khasanah serta perdebatan di kalangan ahli-ahli ilmu sosial dan budaya. Hal ini menunjukkan bahwa agama memiliki keunikan sebagai fakta dan fenomena kehidupan manusia. Sebagaimana puasa yang juga menjadi tradisi lama di dalam agama-agama.

Manusia sungguh sangat berbeda dengan yang dinyatakan sebagai Tuhan yang Suci. Yang “Suci” itu tidak dapat dilihat dengan penginderaan, karena bersifat non-observable. Tuhan yang Suci itu jauh di luar diri manusia tetapi lebih dekat dengan urat nadi manusia. Yang di dalam konsepsi teologis-filsafati disebut sebagai “Yang Trancendent” atau “Yang Imanent”. Hubungan manusia dengan Tuhan itu sangat dekat, karena manusia merupakan unsur Tuhan yang ditiupkan kepadanya. Kala pertemuan sperma dengan ovum terjadi dalam kurun waktu tiga bulan, maka Tuhan meniupkan ruh-Nya, Ruh Tuhan yang menggerakkan manusia di dalam kehidupan. Makanya di dalam diri manusia sebenarnya terdapat Ruh Ketuhanan, karena itu Ruh Tuhan akan kembali kepada-Nya, sedangkan jasad fisiknya akan menjadi tanah kembali, sampai suatu saat akan dibangkitkan kembali dalam wujud semula. Di dalam konsepsi teologis, manusia akan dibangkitkan dari tidur panjangnya secara fisikal, nanti pada saat Yaum al Makhsyar, sebuah padang luas yang tandus, dan di sanalah manusia akan mendapatkan perhitungan akan amal kebaikan dan amal keburukannya.

Itulah sebabnya dunia ruh itu “abadi”. Ruh itu ada semenjak di alam ruh, alam perjanjian manusia dengan Tuhan, lalu diturunkan ke dunia sebagai alam untuk melaksanakan janjinya, lalu ke alam kubur, alam untuk mengetahui hasil perbuatannya dan terakhir akan masuk ke alam akhirat, alam pembalasan atas perilaku atau tindakannya di dunia. Ruh itu hanya berpindah dari suatu fase ke fase lainnya.

Manusia dengan demikian terdiri dari jasad fisikal, yang membutuhkan kebutuhan hidup yang berupa materi, lalu ruh memerlukan juga kebutuhan ruhaniyahnya dan ruh itu merupakan pancaran Tuhan. Itulah sebabnya manusia selalu berusaha menciptakan instrumen untuk menemukan cara agar bisa berhubungan dengan Tuhan, Yang Maha Suci. Dan juga unsur nafsu atau jiwa yang menjadi mediator antara fisik-jasad manusia dengan ruh Tuhan atau ruh pancaran Tuhan di dalam diri manusia.

Instrumen untuk menghubungkan yang fisikal dengan nafsu atau jiwa dan ruh Tuhan, Yang Suci, itu adalah agama. Jadi sesungguhnya agama adalah medium untuk mempertemukan manusia dengan jasad (yang material) dan jiwa (Yang non-material) dengan Tuhan, Yang Suci, dalam ritual-ritual keagamaan, sebagaimana dapat dilihat di dalam semua agama. Itulah sebabnya manusia melakukan ritual dalam kerangka untuk menghubungkan dirinya dengan Tuhan.

Untuk itulah manusia dipersyaratkan bersuci sebelum melakukan hubungan dengan Tuhan. Yang Suci hanya bisa bertemu dengan Yang Suci. Konsepsi berwudlu sebelum melakukan ritual shalat adalah contoh bagaimana manusia yang bersifat material-fisikal harus melakukan upacara kesucian dulu sebelum bertemu dengan Tuhannya, yang Suci tersebut. Yang Suci (Tuhan) hanya bisa bertemu dengan yang suci melalui ritual pensucian (manusia). Hal ini pula yang mendasari mengapa orang dalam membaca kalam ilahi (al Qur’an) juga sebaiknya berada di dalam kesucian, sebab al Qur’an adalah kalam suci Tuhan, sehingga agar memiliki relasi dengan Tuhan sebagai Pencipta Kalam, maka kesucian menjadi instrumen pentingnya.

Puasa adalah instrumen untuk menjadi suci. Maka orang yang melakukan puasa pada akhirnya akan bisa mereguk kesucian. Manusia akan kembali kepada kefitrian. Makanya tujuan puasa adalah “la’allakum tattaqun”, yang makna terminologisnya adalah menjadi kembali suci sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..