ISLAM MEMULIAKAN PEREMPUAN
Saya telah membahas tentang Ibu dalam dua dimensi: dimensi antropologis dan sosiologis. Maka menjadi penting juga untuk membahas persoalan Ibu tersebut dalam dimensi teologis biar pembahasan menjadi lebih tuntas. Pembahasan tentang perempuan sebagai Ibu dalam aspek antropologis, sosiologis dan teologis memang menarik. Selama ini perempuan hanya dibahas melalui aspek-aspek dimensi luarnya saja, seperti: periklanan, fashion, atau seksualitasnya. Makanya, di tengah keinginan menjadikan perempuan dalam ruang kehidupan yang lebih luas dewasa ini, maka membahas perempuan dalam konteks keibuan menjadi penting dan mendasar.
Islam merupakan agama yang memiliki kesempuraan ajaran. Islam memiliki ajaran yang komprehensif tentang kehidupan umat manusia. Ajaran Islam yang bersumber dari teks suci, Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw telah melingkupi seluruh kehidupan umat manusia. Kemudian, Allah juga memberikan kekuatan penalaran untuk menjadi sumber pengambilan keputusan dalam bidang keagamaan melalui ijma’ dan qiyas. Di kalangan penganut Islam, empat hal ini yang sering menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan di bidang keagamaan.
Islam sangat memperhatikan perempuan. Dalam banyak ayat al-Qur’an dijelaskan tentang bagaimana pandangan al-Qur’an tentang perempuan. Coba perhatikan Surat Luqman 31:14, yang artinya: “Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dengan menanggung kelemahan demi kelemahan (dari awal mengandung hingga akhir menyusuinya), dan waktu menghentikan susunya ialah dalam masa dua tahun; (dengan yang demikian) bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibubapamu; dan (ingatlah), kepada Akulah jua tempat kembali (untuk menerima balasan).”
Menilik terhadap ayat ini, maka jelaslah bahwa Islam mengajarkan kepada manusia untuk menyayangi dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Terhadap Ibu, maka kasih sayang itu wajib dilakukan oleh anak. Hal ini disebabkan oleh besarnya peran Ibu dalam kehidupan anak. Bisa dibayangkan selama sembilan bulan harus mengandung. Membawanya kemana-mana bayi dalam kandungan tersebut. Kemudian melahirkan yang juga tidak kalah rumitnya bahkan bersabung nyawa. Pasca melahirkan, maka harus menyusui dan merawatnya. Di antara penderitaan dan kasih sayang itu, maka seorang Ibu mengedepankan kasih sayangnya.
Maka pantaslah jika Rasulullah Muhammad saw mengapresiasi Ibu sedemikian besar di dalam haditsnya. Abu Hurairah radhiallahu ‘anh berkata: Seorang lelaki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya:
“Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku layani dengan sebaik-baiknya?”
Baginda menjawab: “Ibu kamu.”
Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?”
Baginda menjawab: “Ibu kamu.”
Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?”
Baginda menjawab: “Ibu kamu.”
Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?”
Baginda menjawab: “Ayah kamu”
Dari hadits ini, maka jelaslah bagaimana pemihakan Islam terhadap seorang Ibu. Di dalam percakapan ini, Rasulullah mengajarkan agar menghormati Ibu dengan penghormatan dan pelayanan yang sangat maksimal. Sahabat ini tentu saja ingin memperoleh jawaban, siapakah yang harus dilayani secara maksimal setelah Ibu, maka sampai tiga kali pertanyaan Rasulullah Muhammad saw tetap menjawab Ibu dan baru yang keempatnya Rasulullah Muhammad saw menyebut bapak. Cukup jelaslah gambaran pemihakan Islam terhadap perempuan sebagai Ibu.
Di lain kesempatan, seorang sahabat ingin ikut berjihad bersama Nabi Muhammad saw di medan laga. Namun demikian, Rasulullah Muhammad saw mencegahnya agar yang bersangkutan tetap mendampingi Ibunya. Seorang sahabat itu, bernama Jahimah radhiallahu ‘anh datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta pandangan baginda untuk dia ikut serta dalam ekspedisi Jihad.
Rasulullah bertanya: “Adakah kamu masih mempunyai ibu?”
Jahimah menjawab: “Ya.”
Lalu Rasulullah bersabda:
“Tinggallah bersamanya karena sesungguhnya surga terletak di bawah tapak kakinya”.
Rangkaian ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw ini sekali lagi memberikan gambaran bahwa Islam sangat memihak kepada kaum perempuan. Makanya jika ada yang menyatakan bahwa Islam itu anti perempuan atau mengebiri peran perempuan, maka sesungguhnya teks suci justru memberikan ruang peran yang lebih luas. Hanya saja, bahwa makna teks tersebut terkadang tereduksi oleh penafsiran manusia yang cenderung kepada kekuasaan dan kepentingan. Ketika kekuasaan atau kepentingannya terusik maka di situlah dikonstruksikan tafsir-tafsir teks yang bersearah dengan kepentingannya.
Makanya, ketika tafsir al-Qur’an tentang al-rijal dan al-nisa’ lebih bersearah kepada kepentingan lelaki ketimbang kepentingan perempuan, maka Prof. Dr. Zaitunah Subhan menyatakan bahwa tafsir itu adalah tafsir kebencian.
Wallahu a’lam bi al shawab.