Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AGAMA DI RUANG DOMESTIK (2)

Saya teringat Clifford Geertz ketika menemukan konsep Agama Jawa dengan Abangan yang berpusat di desa, Birokrat yang berada di perkotaan dan Santri yang berpusat di Pasar. Konsep desa dan kota merupakan konsep yang sesungguhnya telah ditemukan oleh Robert Redfield ketika melihat ada tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Tradisi besar berpusat di kota dan tradisi kecil berada di desa. Perkotaan sebagai pusat birokrasi atau pemerintahan dan desa sebagai pusat kaum petani.

Kehebatan Geertz adalah ketika beliau melihat pasar sebagai satu entitas yang belum diangkat oleh Redfield dalam bukunya “Peasant Culture and Society”. Buku ini mengeksplorasi relasi desa kota di era tersebut. Kepiawaian Geertz ketika dilihatnya di dalam entitas pasar ternyata terdapat kaum santri dengan budaya yang berbeda dengan dua entitas lainnya, petani dan birokrat.

Saya tentu sama sekali tidak bermaksud “menyamakan” konsep agama domestik ini dengan proses penemuan entitas pasar dengan santrinya, sebab Geertz membutuhkan waktu dua tahun di Pare untuk menghasilkan temuan luar biasa tersebut, namun sekurang-kurangnya kita coba untuk melihat fenomena melalui metode light description, bahwa ada fenomena unik dan menarik untuk dikaji yaitu fenomena agama di ruang domestik.

Pada Jum’at (27/03/2020), saya mengamati secara selintas tentang kesiapan pelaksanaan shalat Jum’at sepanjang jalan dari perumahan Lotus Regency ke Kantor PT High Desert Indonesia (HDI) di Jalan Ngagel Madya, Gubeng Surabaya. Ketepatan saya harus pergi untuk membeli madu (clover honey). Meskipun saya sebenarnya bisa juga  memesan clover honey melalui  Gojek, akan tetapi memang secara sengaja saya ingin melihat suasana hari Jum’at pada jam 11.00 wib. Dimulai dari masjid di RS Mata Masyarakat Ketintang sampai lokasi HDI, hanya ada satu masjid saja yang menyelenggarakan shalat jamaah, yaitu masjid di Pasar Wonokromo. Bahkan Masjid Baitus Salam membuat pengumuman resmi untuk menghentikan seluruh aktivitas berjamaah di masjid selama berjangkitnya virus corona. Saya kira banyak masjid yang melakukan pemberitahuan secara resmi seperti ini.

Sesungguhnya masyarakat sangat keberatan terkait dengan penghentian sementara untuk shalat berjamaah. Bagi mereka, justru di saat genting seperti ini harus banyak doa yang dilantunkan secara berjamaah, sebagaimana biasa jika ada problem bangsa lalu sebagian umat Islam menyelenggarakan istighasah, doa bersama dan sebagainya. Namun sekarang situasinya sungguh berbeda. Pemerintah secara tegas melarang agar perkumpulan dan sejenisnya dihentikan sementara, sebab penularan covid-19 sangat massive.

Sejumlah polisi juga menertibkan kafe-kafe yang masih terdapat kerumunan. Café Bonsar, di ekat rumah saya, akhirnya diminta polisi agar cafe tersebut tidak membuka untuk “cangkruan” sebagaimana yang selama ini terjadi. Biasanya Cafe Bonsar yang melayani penjualan kopi tersebut sangat ramai dengan pembeli. Seperti biasa para penikmat kopi bisa duduk berjam-jam di kafe, sekedar untuk minum kopi dan memanfaatkan wifi untuk internetan atau main game. Sekarang suasananya sungguh berbeda.

Sepanjang saya melewati jalanan di Surabaya, bisa dilihat kafe-kafe yang sepi pembeli. Starbuck dan Excelso yang biasanya ramai pembeli pun mengalami suasana berbeda. Kafe berkelas internasional ini juga sepi pembeli sebagaimana kafe-kafe lokal yang juga mengalami penurunan drastis karena covid-19. Meskipun tidak lockdown, tetapi masyarakat terutama yang well educated, sudah mengisolasi diri. Mereka dan keluarganya sudah melakukan “lock down” sendiri. Mereka menyadari betul bahwa virus ini sungguh berbahaya dan memiliki penularan yang eksplosif.

Saya berkeyakinan, meskipun peribadahan dilakukan di rumah bersama keluarga, tetapi lantunan doa kepada Tuhan semakin banyak didendangkan. Pak RT saya, Pak Yudi, meminta saya untuk memberikan doa secara khusus untuk menangkal serangan virus corona. Melalui WA Group Ta’mir Masjid Al Ihsan, maka saya sampaikan doa yang pernah dibaca Rasulullah, yaitu: “Allahumma inna na’udzubika minar rihil ahmari, wa damil aswad wa dail akbar”, yang artinya “Ya Allah sungguh kami berlindung kepada-MU dari angin merah (wabah, dan ion merah lainnya), darah hitam (stroke, kanker, dan sebagainya), dan penyakit yang lebih berat”.

Semula doa ini akan dibaca bersama-sama ba’da magrib akan tetapi suasana yang tidak memungkinkan untuk berdoa secara berjamaah maka doa bisa dilakukan sendiri di rumah masing-masing.

Di era seperti ini, maka konsep agama domestik tersebut perlu untuk dimunculkan dan bisa menjadi peluang untuk dilakukan penelitian agar konsep ini memperoleh pembenaran ilmiah, sebagaimana Geertz di masa lalu melakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..