Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AGAMA DI RUANG DOMESTIK (1)

Konsep baru yang saya tawarkan untuk kajian lebih lanjut adalah agama domestik untuk melengkapi konsep agama publik dan agama privat. Jika agama privat adalah agama yang menyejarah di dalam diri individu, urusan orang perorang, atau urusan privasi seseorang, maka agama publik adalah kesebalikannya, yaitu agama yang berada di ruang publik dengan seluruh hingar bingarnya. Agama berkait kelindan dengan keputusan-keputusan hukum, politik, dan agama hidup menyejarah di dalam kehidupan masyarakat.

Masyarakat Indonesia memang sangat berbeda dengan masyarakat Barat yang pernah mengalami sejarah kelam hubungan antara agama, masyarakat dan negara. Dominasi gereja yang sangat kuat di negara-negara Eropa kemudian melahirkan konsepsi agama privat, yang terus berkembang hingga sekarang. Kekuasaan kaum gerajawi yang sedemikian gigantic and powerfull kemudian melahirkan keinginan yang kuat agar civil society bisa melakukan kontrol terhadap negara dan sekaligus membatasi kekuasaan gereja. Timbullah konsep sekularisasi, yang hingga sekarang tetap menjadi konsep “sakral” di negara-negara barat, yang secara praktis membatasi kewenangan agamawan hanyalah pada masalah individual saja, agama menjadi urusan privat. Agama menjadi urusan masing-masing individu dan bukan urusan kebersamaan dalam bernegara.

Di dalam konsep sekularisasi, negara tidak membatasi orang untuk pergi ke tempat ibadah, orang boleh kapan saja beribadah secara bersama-sama sesuai dengan waktu yang disediakan, para pendakwah juga boleh menyebarkan agama kepada masyarakat, dan sebagainya, namun akses agama untuk kepentingan politik kenegaraan harus dibatasi bahkan dihilangkan.

Masyarakat Indonesia sungguh beruntung sebab semenjak dahulu, mulai kerajaan Sriwijaya, maka agama Buddha telah menjadi bagian negara, bahkan Universitas Nalanda di pusat kerajaan menjadi rujukan program pembelajaran di banyak negara yang menganut agama Buddha. Pada saat kerajaan Majapahit, maka pendidikan berbasis Hindu-Buddha juga menjadi pusat bagi program pendidikan di banyak negara dengan kesamaan agama. Para pendeta dari agama Buddha maupun Hindu memperoleh hak-hak istimewa di dalam kerajaan. Bahkan mereka bisa menjadi penasehat-penasehat raja dan memiliki hak-hak yang jelas.

Demikian pula pada zaman kerajaan Islam di Indonesia. Kerajaan Demak memberikan tanah-tanah perdikan kepada para Walisongo untuk mendirikan pesantren. Makanya semenjak dahulu dikenal pesantren Ampel, Pesantren Giri, Pesantren Bangkuning, pesantren Abuhurairah di Jombang, pesantren Drajat, Pesantren Bonang, dan sebagainya. Para kyai atau ulama juga   memiliki hak-hak istimewa di dalam kerajaan. Bahkan para putera raja juga sekolah di pesantren, misalnya Raden Ronggowarsito yang belajar di Pesantren Tegalsari Ponorogo pada masa diasuh oleh Kyai Kasan Besari.

Masyarakat Indonesia juga beruntung sebab meskipun terjadi perubahan negara, dari sistem kerajaan ke sistem republik, namun tidak terjadi “peminggiran” agama. Bahkan di seluruh dunia, hanya Indonesia yang memiliki Kementerian Agama, yang dibentuk pemerintah tanggal 3 Januari 1946, atau genap 7 (tujuh) bulan setelah kemerdekaan. Bahkan dinyatakan oleh Presiden Soekarno, bahwa Kementerian Agama adalah institusi negara yang diperuntukkan bagi umat beragama, khususnya umat Islam, karena perjuangannya untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Dari sinilah sebenarnya negara Indonesia memiliki keunikan sebab melalui keberadaan Kementerian Agama menjadi bukti kuat betapa negara Indonesia tidak pernah meminggirkan atau menihilkan peran agama dan masyarakat beragama di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di era Orde Baru kita juga bisa mencatat produk undang-undang, misalnya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia, selain juga difungsikannya Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dan lainnya untuk terlibat di dalam menyelesaikan kasus perceraian dan perdata. Di era reformasi bahkan lebih dahsyat lagi sebab ada banyak regulasi yang ditetapkan berbasis pada ajaran agama. Peraturan-peraturan daerah yang mengdaptasikan hukum Islam, dan juga Undang-Undang yang mengadaptasi hukum Islam, dan sebagainya. Semuanya menandakan bahwa agama di Indonesia memiliki peran dan fungsi penting di dalam kehidupan bernegara.

Namun demikian, akhir-akhir ini agama terdorong ke ruang yang lebih terbatas. Saya menyebutnya sebagai agama domestik. Ruang rumahan. Melalui pernyataan Pak Jokowi “Beribadahlah di rumah” tentu memiliki dampak yang sangat besar bagi umat beragama. Pernyataan ini harus diungkapkan sebab menjadi salah satu cara untuk menjaga physical and social distancing, dan untuk melokasi perkembangan virus corona atau covid-19. Jadi bukan pernyataan “melarang” orang beribadah di masjid atau tempat ibadah. Pernyataan Pak Jokowi ini tentu saja setelah memperoleh pengabsahan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) di saat merebaknya virus yang sangat berbahaya ini.

Rumah akhirnya menjadi pilihan utama dalam beribadah dalam konteks luas. Meskipun semenjak lama rumah telah menjadi tempat ibadah, bahkan di Madura setiap rumah ada langgar atau mushallanya, akan tetapi keterlibatan negara dalam proses ini tentu bisa menandai akan agama domestik tersebut. Jadi, agama domestik memang sangat kasuistis dan lokal, namun setidak-tidaknya kita bisa memberikan tambahan konsepsi tentang lokus agama yang selama ini hanya dua, yaitu lokus publik dan lokus privat dengan menambahkannya lokus domestik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..