TATANAN DUNIA TANPA ISLAM? (2)
Salah satu kekaguman saya pada ahli ilmu sosial, seperti Karl Marx adalah keberaniannya untuk menyatakan konsep yang dianggapnya benar, misalnya “agama adalah candu masyarakat”. Banyak orang yang mencibir terhadap pernyataan ini sebab dianggapnya bahwa agama tentu tidak mungkin berfungsi sebagai candu, sebab agama itu penuh dengan ajaran kebaikan. Namun orang lupa bahwa bacaan Marx adalah agama di Barat yang kala itu memang menjadi peninabobok bagi masyarakat. Agama dijadikan sebagai alat hegemoni terhadap masyarakat, sehingga masyarakat terjajah secara kultural oleh tafsir agama para pemimpinnya.
Saya kira tulisan Graham E. Fueller pun akan disikapi yang sama dengan pernyatan Marx tersebut. ketika kita membaca judul buku ini pastilah timbul syakwasangka bahwa penulis pasti bagian dari Islamphobia dan memprogandakan anti Islam. Dan yang lebih jauh adalah munculnya gambaran bahwa penulisnya adalah orang yang sangat membenci Islam dengan segala ajarannya. Saya kira juga syah-syah saja orang berpandangan seperti itu.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membela atau menolak gagasan atau konsep yang ditulis oleh Fueller, akan tetapi mencoba untuk mendudukannya dalam proporsi akademisi yang melakukan pengamatan dan pengalaman dalam relasinya dengan Islam dan umat Islam di Timur Tengah. Sebagaimana diketahui bahwa Fueller dalam kedudukannya sebagai pejabat di CIA tentu memiliki sejumlah data dan juga pengalaman hidup di Timur Tengah.
Sebagaimana dinyatakan oleh Fueller, bahwa umat Islam memiliki kebanggan sejarah, sebab umat Islam pernah mendominasi dunia dengan berbagai aspeknya, misalnya seni, ilmu pengetahuan, filsafat, kemampuan militer dan teknologi. Islam di masa 700 tahun awal begitu menguasai terhadap peradaban dunia. mulai dari Timur Tengah, Afrika, Eropa dan Asia Selatan serta Asia Tenggara menjadi saksi tas kebesaran umat Islam di masa lalu. Bahkan bahasa Arab pernah menjadi bahasa di lautan melalui para pedagang dan datang dan pergi untuk kepentingan perdagangan.
Namun demikian, peradaban selalu berada di dalam fase rise and down. Ketika peradaban Islam jatuh maka berkembanglah peradaban Barat, dan ini yang terjadi hingga sekarang. Penguasaan peradaban dunia itu sebenarnya sangat tergantung kepada faktor kebudayaan dan intelektual. Era kebangkitan Eropa ditandai dengan kemampuan kaum intelektualnya yang hebat, sama halnya dengan kehebatan peradaban Islam juga ditentukan oleh kaum intelektualnya.
Upaya mengembalikan kejayaan Islam inilah yang terus menerus diupayakan oleh umat Islam, dengan mengusung identitas keislaman yang kuat. Identitas sosia bisa saja berangkat dari famili, clan, wilayah, etnis, nasionalitas, agama, gender, bahasa class, pendapatan, profesi dan sebagainya. namun identitas agama ternyata memiliki signifikansi yang kuat untuk mempengaruhi tindakan seseorang. Identitas keislaman itulah yang mempengaruhi kebanyakan kaum radikalis untuk melakukan perlawanan terhadap barat dan apa saja yang datang dari barat.
Kebangkitan Eropa dalam peradaban diikuti dengan upaya untuk menguasai seluruh daratan dunia melalui gerakan imperialisme. Dan masyarakat Islam merasakan betapa imperialisme sangat powerfull karena didukung oleh seperangkat kekuatan senjata, pasukan dan negara yang kuat. Imperialisme merusak terhadap tatanana kenegaraan, struktur kepemimpinan dan kekuasaan pemerintah, merusak institusi tradisional, dan memunculkan tatanan ulang budaya. Tidak hanya kekuasaan politik, tetapi juga sosial, ekonomi dan kebudayaan yang menjadi hancur berantakan. Negara-negara dan masyarakat Timur menjadi menderita karena imperialisme Barat ini.
Rupanya keinginan untuk memperoleh kebebasan atas kungkungan imperialisme barat di masa lalu dengan meneriakkan identitas Islam dan negara Islam, ternyata justru menimbulkan neoimperialisme. Meskipun negara-negara di Timur memperoleh kemerdekaan, namun demkian kuku imperialisme itu telah menancap sangat dalam, sehingga tidak mampu untuk ditarik kembali. Penguasaan neoimperialisme tersebut bisa dilihat dari ketergantungan negara-negara Timur terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang diproduksi Barat. Bahkan juga kekuatan militer dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Dan yang lebih memprihatinkan, bahwa perjuangan negara-negara di Timur tengah juga tidak jelas, memperjuangkan Islam atau nasionalisme. Perlawanan terhadap dominasi Barat dilakukan tidak dengan tindakan yang sama untuk membela Islam, akan tetapi lebih bercorak kesukuan, dan lokalitas. Tidak didapati issue genaral yang dijadikan sebagai corak gerakan antikolonialisme. Semua negara saling bersikukuh dengan lokalitasnya masing, terutama di Timur Tengah. Mereka justru berpeang satu dengan lainnya untuk saling mengungguli. Jadi akhirnya mereka lupa bahwa common enemy yang harus diperangi adalah neokolonilalisme.
Alih-alih memperjuangkan Islam, sebagai agama yang damai, yang justru muncul ke permukaan adalah gerakan terorisme yang mengatasnamakan agama. Resistensi yang dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam justru perang, jihad dan terorisme.
Jihad ditafsirkan oleh mereka yang resisten terhadap barat sebagai “perang membela Islam”. Di dalam konteks ini, maka kemudian terjadi pengeboman di berbagai wilayah di dunia, dan juga munculnya kaum radikalis-teroris yang begitu agresif untuk melakukan penyerangan terhadap kepentingan barat.
Jika di dalam analisis teori sosial dinyatakan bahwa konteks sosial politik mewarnai pemikiran penulis atau penemu konsep tertentu, maka kiranya Fueller juga bisa dibaca di dalam aras ini. Tulisan yang berjudul “A World Without Islam” kiranya dapat ditempatkan di dalam konteks semakin kuatnya gerakan untuk membela Islam tetapi dengan cara-cara yang tidak manusiawi, yaitu bom bunuh diri dan peperangan yang dilakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.