TATANAN DUNIA TANPA ISLAM? (1)
Setahun yang lalu, di Toko Buku Periplus Bandara Udara Juanda Surabaya, saya membeli buku tulisan Graham E. Fueller dengan topik “World Without Islam”. Seperti biasa bisa membeli buku tetapi membacanya nanti dulu. Sampai Sabtu, 29/03/2020, saya membalik-balik buku di perpustakaan pribadi, akhirnya saya temukan lagi buku itu, dan kemudian saya baca sebentar. Ternyata ada banyak hal yang menarik di dalamnya, khususnya bagaimana pandangan para ahli dan khususnya kaum jurnalis tentang Islam terhadap dunia Islam terutama di Timur Tengah.
Sebagaimana diketahui bahwa Graham E. Fueller adalah mantan Wakil Kepala Inteligent Amerika (CIA), ahli politik senior di RAND, dan sekarang adalah Profesor paruh waktu (adjunct professor) pada Simon Fraser University, dan telah menulis beberapa buku di antaranya “The Future of Political Islam” serta pernah hidup di negara-negara Timur Tengah dalam dua dekade.
Membaca topik buku ini, orang akan dengan segera untuk mengernyitkan kening, sambil bergumam; “bagaimana dunia tanpa Islam”. Tapi inilah kenyataan pemikiran Graham E. Fueller, yang “mengandaikan dunia tanpa Islam”. Dari pengalaman empiriknya di Timur Tengah, Graham E. Fueller sampai pada kesimpulan bahwa perpolitikan di Timur Tengah sungguh merupakan nuansa politik yang hingar bingar dengan berbagai kekerasan, radikalisme, terorisme, pengeboman, perang dan lainnya. Dan tidak hanya itu, Islam ternyata juga dianggapnya sebagai basis bagi tindakan kekerasan di beberapa negara, khususnya di Amerika Utara, terutama peristiwa terorisme di WTC, yang sangat terkenal itu. Hingga hari ini ingatan orang –khususnya di US—masih lekat dengan peristiwa 11 September 2011 yang lalu.
Saya ingin membahas buku ini dari perspektif pandangan para Jurnalis yang memberikan “acclaim for Graham E. Fueller”. Pengakuan tentang buku ini datang dari Douglas Todd, Vancouver Sun. Dinyatakannya di dalam endorsement, bahwa buku ini mengandaikan bagaimana bentuk tatanan dunia ini seandainya Islam tidak eksis. Buku ini berisi tentang tesis yang sangat berani, dan merupakan tarikan yang kuat untuk meniadakan pengaruh politik Islam di dunia. Dan yang menarik bahwa buku ini memberikan gambaran tentang terorisme yang sangat ganas memporakporandakan tatanan dunia—khususnya di Amerika—dan hal ini merupakan aspek negatif agama, khususnya Islam.
Krisis di dunia Timur Tengah sesungguhnya dipicu oleh ketegangan budaya dan politik, kepentingan wilayah dan minyak, rivalitas kekuasaan dan propaganda. Fueller menulis sesuai dengan yang diamatinya selama bertahun-tahun di Timur Tengah. Semua yang dicatatnya itu kemudian mengilhaminya mengenai pengandaian tatanan dunia tanpa Islam. Memang sesiapapun melihat bahwa krisis di Timur Tengah merupakan krisis panjang dalam sejarah kemanusiaan dan politik yang dipicu oleh faktor-faktor politik kekuasaan. Pertarungan di Irak dan Syria, yang diprogandakan sebagai perjuangan untuk menegakkan dawlah Islam, tentu bagi sebagian orang dianggap sebagai perang agama.
Lain lagi dengan John L. Esposito, penulis “The Future of Islam”. Menurutnya bahwa Fueller memiliki kapasitas untuk mengkaji politik global Islam di Timur Tengah. Buku ini merupakan analisis provokatif dan kritis terhadap karakter hubungan antara Muslim dan Barat dari sejarah perkembangan Islam. Issu utamanya adalah mengenai pertarungan peradaban dan akarnya adalah terorisme yang secara signifikan merupakan konflik antara Palestina dan Israel serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat atau yang disebut sebagai double standarts atau double speaks.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa konflik di Timur Tengah dan kemudian juga gerakan terorisme yang terjadi di banyak negara di Eropa bahkan juga di beberapa negara non-Eropa sering dikaitkan dengan Islam. Makanya, Amerika Serikat dengan berbagai programnya adalah “melawan” terorisme, dan alamatnya jelas adalah Islam. Melalui konsep-konsep, salah satunya adalah jihad yang ditafsirkan sebagai perang ofensif, maka di mana-mana terjadi kegaduhan dan tindakan teror yang dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Dan lagi-lagi membangun stigma bahwa Islam adalah agama kekerasan.
Oleh karena itu, ada pandangan yang menyatakan bahwa munculnya Islamphobia di dunia ini sesungguhnya merupakan reaksi atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum teroris, yang di mana-mana memprogandakan untuk membela Islam dari pengaruh jahat masyarakat, budaya dan politik Barat. Reaksi tersebut tidak hanya berupa gerakan memerangi kaum teroris di seluruh dunia, akan tetapi juga melalui karya-karya akademis, sebagaimana tulisan para akademisi di dunia Barat.
Karya Fueller ini meskipun memiliki basis empiris, bahwa ketegangan, konflik dan peperangan yang terjadi di Timur Tengah, tetapi sesungguhnya juga mewakili sebagian dari imajinasi bahwa Islam adalah penyebab kerusakan tatanan dunia.
Namun demikian, tentu selalu ada yang positif dari karya akademis seorang ahli, bahwa dunia Islam juga perlu dikritik, agar representasi negara Islam dapat memberikan nuansa yang damai, sebagaimana terjemahan dari Islam adalah kedamaian.
Jadi sesungguhnya, bukan Islam yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik dan perang di Timur Tengah, tetapi sebagaimana catatan Esposito, bahwa ada faktor-faktor kompleks dalam berbagai persoalan yang muncul di Timur Tengah dan hal ini akan berpengaruh terhadap masa depan Umat Islam itu sendiri.
Wallahu a’lam bi al shawab.