Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KETIKA COVID-19 MEMAKSA AGAMA DI RUANG DOMESTIK (2)

KETIKA COVID-19 MEMAKSA AGAMA DI RUANG DOMESTIK (2)

Adalah Jose Casanova, ilmuwan sosial, yang mengemukakan konsep “Agama Publik” di dalam bukunya “Public Religion in Modern World”. Konsep ini berangkat dari fenomena merebaknya deprivatisasi agama semenjak tahun 1980-an. Konsep “Agama Publik” merupakan antitesis terhadap konsep “ Agama Privat” yang selama itu menjadi diskursus terutama di dunia Barat, bahwa agama adalah urusan privat, sehingga agama hanyalah berada di ruang-ruang individu dan tidak berada di ruang publik atau yang dikenal sebagai sekularisme.

Memang semenjak era pemisahan urusan agama dari urusan negara (sekularisme), maka agama harus masuk ke dalam bilik-bilik sempit individu. Renaissance yang berkembang di Eropa Barat tentu bertujuan agar agama tidak menjadi alat dominasi terhadap kekuasaan negara. Begitu besarnya kekuasaan gereja terhadap negara, maka kemudian diupayakan agar peran agama tidak masuk di dalam ranah negara. Dan inilah yang terus terjadi di negara-negara Barat itu. Di dalam teori relasi agama dan negara disebut sebagai relasi sekular atau agama dipisahkan sama sekali dari negara, dan agama harus masuk ke dalam ruang privat.

Konsep agama publik dimaksudkan bahwa agama bukan sesuatu yang vis a vis negara, akan tetapi agama memiliki relasi dengan negara. Di dalam konsepsi pemikir politik Islam, seperti Al Mawardi, Imam Ghazali, dan sebagainya    disebut sebagai relasi antara negara dan agama yang simbiosis mutualisme. Agama membutuhkan negara agar relasi antar pemeluk agama menjadi keteraturan sosial atau social order, sedangkan negara memerlukan agama sebagai basis moralitas di dalam mengelola negara.

Indonesia menganut prinsip relasi dimaksud. Oleh karena itu, agama bisa memasuki ruang-ruang publik, misalnya suara adzan terdengar di TV, Radio, Masjid dan juga menjadi basis regulasi yang terkait dengan kehidupan umat beragama. Shalat jum’at bisa disiarkan di televisi, ceramah-ceramah agama mendapatkan porsi besar di masyarakat, dengan catatan dakwahnya untuk membangun kehidupan beragama yang wasthiyah atau moderat. Masjid-masjid terbuka lebar sehari semalam, dan orang bisa keluar masuk untuk beribadah sepuasnya. Bahkan banyak masjid yang menjadi tempat rekreasi spiritual, seperti Masjid Sunan Ampel, Masjid Sunan Bonang, Masjid Ibrahim Asmaraqandi, Masjid Syekh Jumadil Kubro, dan sebagainya.

Tetapi semenjak Covid-19 merebak dan menjadi pandemi, maka di sana-sini dilakukan pembatasan. Masjid-masjid banyak yang menutup diri dari shalat berjamaah, bahkan juga shalat Jum’at. Masjid Istiqlal yang sedemikian monumental karena menjadi masjid negara, juga harus menutup diri dari shalat jum’at dan menggantinya dengan shalat dhuhur. Dan saya kira nyaris semua masjid melakukan hal yang sama dengan tidak melakukan shalat jamaah, termasuk juga meniadakan ceramah-ceramah agama yang sebelumnya telah menjadi tradisi. Himbauan MUI dan juga DMI agar tidak melakukan shalat jamaah memaksa masjid-masjid untuk menutup diri.

Jika ada yang tetap melakukan shalat jamaah, maka makmum harus menjaga jarak antar satu dengan yang lain. Sekurang-kurangnya 1 (satu) meter. Sungguh pemandangan yang sangat tidak lazim. Jika selama ini jamaah justru berhimpitan agar tidak ada celah setan untuk menggoda dari sisi kiri dan kanan jamaah, maka sekarang kita dapati pemandangan yang berbeda. Banyak orang yang memilih shalat jamaah di rumah dengan keluarganya. Aktivitas beragama yang selama ini melekat dengan masjid atau mushalla menjadi melekat dengan ruang domestik. Anjuran “jangan keluar rumah”, “jaga physical and social distancing” dan hanya untuk kepentingan urgent seseorang bisa keluar rumah begitu manjur di dalam kehidupan masyarakat, terutama yang well educated.

Pak Jokowi yang mempromosikan “kerja di rumah, belajar di rumah dan ibadah di rumah” sedemikian kuat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, terutama di perumahan-perumahan perkotaan. Makanya, masjid atau mushalla yang lebih banyak tutup adalah yang berada di perumahan-perumahan. Masjid bukan lagi menjadi tempat tujuan ibadah, sebab banyak masyarakat yang mengalihkan ibadahnya di rumah.

Memang harus diakui bahwa penyebaran virus corona yang sedemikian cepat dan massive, tidak pandang bulu, siapa saja bisa terpapar, tentu bisa menakutkan. Banyak pejabat yang terpapar, ada beberapa tenaga medis yang meninggal dan jumlah mereka yang Orang Dalam Pengawasan (OPD) atau Pasien Dengan Pengawasan (PDP) dan juga yang positit virus corona yang semakin banyak tentu menjadi menanda tentang betapa “bahayanya” covid-19.

Itulah sebabnya, takmir Masjid Al Ihsan, di Perumahan Lotus Regency, terpaksa juga menyetujui dua orang Imam shalat, Ustadz Zamzami al hafidz dan Ustadz Firdaus al Hafidz untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Menjelang kepulangannya, Ustadz Firdaus menangis ketika menjadi imam shalat Isya’ berjamaah. Sungguh hal yang sangat berat bagi kita semua untuk meninggalkan shalat jamaah setiap hari karena “serangan” virus corona. Tidak hanya ini, kegiatan mengaji di Pusat Pembelajran Al Qur’an (PPA) di Masjid Al Ihsan juga harus diliburkan. Masjid yang biasanya ramai ba’da shalat magrib dengan pembelajaran al Qur’an tiba-tiba harus berhenti. Saya kira tidak hanya ini, dana masjid yang biasanya mengalir tiap hari juga mengalami pengurangan.

Jika Jose Casanova menyebut sebagai agama publik, maka dengan keberadaan covid-19 ini, maka ada satu tambahan konsepsi yang saya kira bisa diangkat ke permukaan adalah konsep agama domestik. Agama dalam ranah domestik tersebut ditandai dengan kehidupan beragama yang berpusat di rumah, misalnya shalat jamaah, mengaji, dan mendengarkan ceramah-ceramah agama di rumah.

Saya kira di era covid-19, youtube panen pengunjung. Youtube dibanjiri dengan pengunjung untuk mendengarkan pengajian, nonton film, mendengarkan musik, dan sebagainya. Jika kita baca WA Group, maka bertebaran upload musik dari yang hingar bingar, musik country, musik rock, musik melayu, musik pop   hingga musik-musik religius dari Timur Tengah.

Kenyataannya, covid-19 telah memaksa agama berada di ruang domestik dan inilah yang sekarang sedang menggejala di seantero negeri. Virus corona telah memporakporandakan beberapa prinsip dalam beragama, yang selama ini dinikmati sebagai bagian dari ruang publik. Dan kita belum tahu kapan nuansa beragama seperti ini akan berakhir.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..