Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KETIKA COVID-19 MEMAKSA AGAMA DI RUANG DOMESTIK (1)

Semula saya tidak ingin menulis tentang masalah ini, sebab sudah sangat banyak penjelasan, penggambaran dan analisis yang dilakukan oleh berbagai ahli sesuai dengan bidangnya. Ada ahli medis, psikholog, sosiolog, pendidikan, ahli IT dan bahkan ahli agama. Semua melihat Covid-19 dari perspektif ilmu pengetahuan yang menjadi basis keahliannya.

Saya tentu tidak ingin menambah deretan analisis tentang Corona Virus yang sekarang sedang menghantui seluruh dunia karena persebarannya yang sangat tinggi. Hampir seluruh negara di dunia terkena serbuan virus yang mematikan ini. Tidak ada suatu negarapun yang terbebas dari serangan virus ini karena mobilitas sosial antar negara yang juga sangat tinggi. Jika Pandemi Influenza di masa lalu bisa diredam tentu sebabnya adalah tingkat mobilitas sosial antar wilayah atau negara yang masih rendah. Namun di era sekarang, tentu sangat berbeda. Melalui mobilitas sosial antar negara yang tinggi dan hampir dipastikan ada saja orang yang keluar atau masuk ke dalam suatu negara, maka persebaran virus ini tentu tidak bisa dihadang.

Suatu contoh, Walikota Bogor , Bima Arya, yang baru saja kunjungan kerja ke Azerbaijan dan Turki, maka ternyata positif terkena virus ini ketika kembali ke Indonesia. Dia tertular virus ini di dalam kunjungan kerja tersebut.  Yang jelas bahwa kepergian ke luar negeri itulah yang menjadi penyebab yang bersangkutan positif virus covid-19. Dan saya kira ada banyak contoh mengenai berjangkitnya virus corona disebabkan oleh mobilitas sosial antar wilayah yang terjadi di dunia. Melalui keterbukaan semua negara terhadap kehadiran warga negara lain, maka tidak bisa dipungkiri menjadi faktor penyebaran virus corona sangat massive. Bermula dari Wuhan di Cina, kemudian menyebar di seantero dunia.

Masyarakat Indonesia tentu dikenal sebagai masyarakat religius yang menempatkan agama dalam ranah publik. Artinya agama berada di ruang-ruang publik seperti masjid, gereja, vihara, kelenteng, tempat-tempat penyiaran agama, perkantoran bahkan istana negara. Agama di Indonesia tidak sebagaimana di dunia barat yang lebih bercorak domestik atau urusan privat, akan tetapi di sini agama tersebut berada di ruang publik. Agama itu hidup di dalam kehidupan masyarakat dan bukan hidup di dalam ruang individu.

Di Indonesia betapa ramainya kegiatan keagamaan yang dihadiri oleh banyak orang. Pengajian akbar, tahlil akbar, khoul akbar dan juga persembahyangan selalu dipenuhi oleh pemeluk agama. NU, misalnya sering menggelar acara dengan tajuk “kubro” atau “besar”, misalnya istighasah kubro, tahlil kubro, manaqib kubro, doa bersama, ngaji bareng dan sebagainya yang dihadiri oleh ratusan ribu bahkan jutaan orang. Semua ini menggambarkan bahwa agama berada di ruang publik, dengan indikasi banyak jamaah atau banyak orang. Agama juga memasuki ruang istana negara, sebab banyak acara atas nama peringatan hari-hari agama yang diselenggarakan di sini. Bahkan agama juga memasuki ruang-ruang regulasi, sebab Indonesia memang menganut prinsip agama menjadi basis bagi penyusunan kebijakan negara. Ada simbiosis mutualisme antara agama dan negara.

Nyaris semua kegiatan keagamaan penuh sesak dengan jamaah. Di Indonesia nyaris tidak bisa dibedakan antara ritual agama dengan tradisi keagamaan. Keduanya memiliki daya tarik yang sangat tinggi. Ritual-ritual agama di masjid, mushalla, gereja, vihara dan sebagainya dipenuhi oleh pemeluk agama dimaksud. Ritual agama yang merupakan prosesi hubungan langsung dengan Tuhan (Allah) melalui medium tempat ibadah menjadi tempat yang menghibur. Kerinduan masyarakat terhadap Tuhan dapat diselesaikan dengan mendatangi tempat ibadah. Itulah sebabnya, akhir-akhir ini bisa diamati kegairahan masyarakat untuk beribadah itu luar biasa. Bahkan ritual agama seperti haji dan umrah menjadi pengganti acara rekreasi ke tempat-tempat hiburan. Rekreasi spiritual ternyata menjadi area baru agama dalam coraknya yang bersifat publik.

Masjidil Haram yang sedemikian besar penuh sesak dengan jamaah haji dan umrah. Masjid Nabawi juga tidak pernah sepi dari jamaah umrah. Semua berkeinginan melampiaskan dahaga spiritualnya ke tempat-tempat suci seperti ini. Masjid Istiqlal di Jakarta yang besar juga penuh sesak dengan jamaah, baik shalat Jum’at maupun shalat lima waktu lainnya. masjid Istiqlal tidak hanya menjadi menjadi tempat ibadah tetapi juga menjadi tempat rekreasi. Nyaris di semua gang-gang di kota besar juga terdapat masjid atau mushallah dan semua terisi dengan jamaah shalat atau pengajian yang digelar di dalamnya.

Semua ini menandakan bawa agama di Indonesia benar-benar menjadi dan berada di ruang publik. Namun keberadaan Covid-19 meluluhlantakkan semua konsep, ajaran, dan nilai-nilai keagamaan yang bernuansa publik tersebut. Sekarang, hampir seluruh masjid sudah tidak lagi menyelenggarakan shalat berjamaah. Bukan karena tidak ingin berjamaah, akan tetapi karena harus menghindari persebaran virus yang mematikan ini. Dan saya belum tahu kapan akan berakhir.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..