Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PEMETAAN GERAKAN MODERASI AGAMA (1)

Saya merasa gembira sebab meskipun agak lambat untuk memulai gerakan penyadaran tentang pentingnya moderasi beragama bagi masyarakat Indonesia, khususnya komunitas masjid di Jawa Timur, sekarang sudah mulai ada geregetnya. Setelah meeting pertama, lalu kemarin, 10/11/2020, dilakukan agenda kedua yaitu mendengarkan presentasi dari narasumber internal Pusat Kajian Kebinekaan dan Harmoni Sosial (PK2HS), yaitu Dr. Moch. Choirul Arief, yang berbicara tentang pemetaan kajian terdahulu tentang moderasi beragama di Jawa Timur.

Menurutnya, sudah ada banyak penelitian tentang gerakan radikalisme di Jawa Timur, dengan tema utama berada di seputar bentuk dan penyebaran gerakan radikal. Selain itu juga sasaran kajiannya lebih banyak ke dunia kampus, dan belum menyentuh masyarakat, khususnya yang berbasis masjid atau mushalla. Namun demikian, yang mengkaji tentang pola dan model penyebarannya belum memperoleh sentuhan yang memadai. Padahal dari pola dan model penyebaran tersebut sesungguhnya akan dapat dikaji dan dijadikan sebagai basis bagi penanggulangannya.

Pertanyaan dasar kita adalah mengapa masyarakat atau jamaah masjid yang mesti dijadikan sebagai sasaran penting di dalam kajian atau sentuhan program moderasi agama. Pemilihan fokus ini menandai betapa pentingnya masjid sebagai tempat ibadah yang sangat strategis dan juga masyarakat Islam di sekitar masjid atau yang menjadi jamaah masjid untuk memperoleh kesadaran baru tentang gerakan moderasi agama atau Islam wasathiyah.

Di dalam kajian yang dilakukan oleh Dr. Moch. Arief, bahwa pola dan model gerakan Islam hard line atau radikal tersebut memang unik. Mungkin tidak terpikirkan di benak kita semua bahwa mereka itu menggunakan cara yang sungguh khas di dalam penguasaan wacana keislaman dan praktik keislaman melalui masjid. Melalui penguasaan wacana keagamaan dan praktik keislaman, maka mereka akan dapat menguasai masjid dan sekaligus jamaahnya.

Di dalam penelitian yang dilakukan di Kecamatan Jambangan Surabaya ini, ternyata ditemukan fenomena yang menarik. Semula penelitiannya memang mengkaji tentang keberagamaan masyarakat pinggiran perkotaan. Namun di dalam acara Focus Group Discussion (FGD) justru ditemukan fenomena yang menarik.

Para takmir masjid yang diundang justru mengeluh tentang pengalamannya mengelola masjid di Jambangan. Menurutnya, bahwa sedang terjadi upaya untuk merebut masjid dengan cara-cara yang unik. Diceritakan bahwa mula-mula kaum radikalis ini datang ke masjid dan mengikuti acara-acara di masjid, kecuali yang menurutnya bidh’ah atau tidak sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Mereka berusaha untuk mempengaruhi jamaah masjid lewat cara-cara yang unik.

Yang diserang pertama adalah imam masjid dan takmir masjid serta pengasuh pengajian rutin atau acara-acara ceramah keagamaan yang diselenggarakan di masjid tersebut. Mereka bertanya kepada takmir masjid tentang ajaran-ajaran agama yang sudah dirancang tidak mungkin dikuasai oleh takmir masjid. Mereka menanyakan dalil-dalil agama yang terkait dengan amalan-amalan keagamaan. Kepada imam shalat rawatib juga dikoreksi bacaan Al Qur’annya, bagaimana penguasaan dan kemampuannya dalam membaca Al Qur’an, kepada para penceramah agama juga ditanyakan hal-hal yang terkait dengan dalil-dalil keagamaan yang secara diametral bertentangan dengan apa yang disampaikan penceramah agama.

Lalu mereka mengajak debat terbuka untuk memberikan klarifikasi mana ajaran yang benar dan mana yang salah. Dari debat terbuka ini mereka menyatakan bahwa takmir masjid dan imam masjid di sini tidak memahami ajaran Islam yang benar sesuai dengan tafsir keagamaannya. Setiap ada ceramah agama di masjid tersebut mereka selalu hadir berkelompok dan memang sudah menyiapkan sejumlah pertanyaan yang ujung akhirnya menyudutkan penceramah agama dan memberikan justifikasi bahwa dali-dalil keagamaan takmir dan penceramah agama tersebut lemah.

Keresahan ini yang diungkapkan di dalam FGD dan akhirnya mengubah alur penelitian yang disiapkan semula dengan mencari data-data yang lebih luas dan mendalam terkait dengan pola penguasaan wacana keagamaan dan praktik keagamaan masyarakat Islam di pinggiran kota. Dari kajian ini akhirnya diperoleh gambaran, bahwa upaya mereka untuk menguasai masjid sebagai tempat strategis ternyata memang sudah dirancang sedemikian mendasar dan jika kemudian banyak masjid perkotaan yang beralih pemahaman dari Islam moderat ke lainnya, maka ini merupakan buah dari kerja kerasnya untuk tujuan penguasaan sumber spiritual umat Islam dimaksud.

Sekarang mereka sudah menggunakan cara yang lain, tidak lagi menyasar ke masjid tetapi ke masyarakat di sekitar masjid dengan program-program ekonomi dan pendidikan. Dengan catatan mereka yang dibantu untuk memperoleh dana pendidikan ini harus memasukkan anak-anaknya ke rumah-rumah Al Qur’an, rumah belajar Islam dan sebagainya, yang sudah disiapkannya. Semua sudah dirancang dengan baik dan sistematis. Jadi bisa dinyatakan bahwa mereka sesungguhnya sudah sangat siap untuk melakukan perubahan sesuai dengan yang direncanakan. Oleh karena itu, kata kunci untuk menanggulanginya adalah melalui penyadaran dan gerakan moderasi agama yang tidak hanya menyentuh kesadaran tetapi kehidupannya.

Kita semua tetap berkeyakinan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia masih berada di dalam lingkungan Islam wasathiyah, sehingga di saat kesadaran mereka sudah ada, maka kita berkeyakinan umat Islam yang seperti ini akan bergerak. Jadi memang dibutuhkan agen atau aktor yang siap untuk menjadi penjaga gawang dan sekaligus penyerang untuk moderasi beragama.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..