TRILOGI ABC
ABC adalah singkatan dari Akademisi, Birokrasi dan Corporasi. Akronim ini senafas dengan apa yang pernah disampaikan oleh Pak De Karwo mantan Gubernur Jawa Timur dengan akronim Akademisi, Bisnisman dan Government (ABG) pada tahun 2010-an. Yaitu upaya untuk membangun daerah dengan tidak hanya mengandalkan APBD akan tetapi menggunakan kolaborasi dengan dunia usaha.
Akronim ini juga pernah saya dengarkan dalam program Pendidikan dan Pelatihan Pimpinan I (Diklatpim I) tahun 2011 yang lalu, sebab tema pendidikan dan pelatihan ini adalah Sinergi Birokrasi, Masyarakat dan Dunia Usaha. Oleh karena itu, di dalam acara kerja lapangan, para peserta diarahkan untuk melakukan kajian tentang Usaha Mikro dan Menengah di Yogyakarta untuk memahami bagaimana cara kerja dan upaya yang dilakukan agar terus hidup dan berkembang dan bagaimana kontribusinya bagi masyarakat secara lebih luas.
Semenjak era reformasi memang terdapat gagasan, bahwa dalam program pembangunan, maka pembiayaan pembangunan tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, tetapi juga pengusaha dan masyarakat. Anggaran pemerintah dalam bentuk APBN tentu sangat terbatas dalam pembiayaan proyek-proyek strategis, bahkan juga kebanyakan digunakan untuk pembiayaan rutin pemerintah, misalnya gaji atau remunerasi lain yang mengikat, sedangkan belanja modal untuk pembiayaan proyek strategis terkadang mengalami pasang surut. Misalnya di era Pak Jokowi, maka belanja modal diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur jalan tol, tol laut, bandara dan proyek strategis lain yang memiliki dampak positif langsung kepada masyarakat.
Makanya gagasan untuk melibatkan dunia usaha dan masyarakat mengandung maksud agar dunia usaha dan masyarakat memiliki juga tanggung jawab terhadap pembangunan bangsa untuk mencapai kesejahteraan yang nyata di dalam kehidupan. Di antara upaya pemerintah itu lalu diterbitkan regulasi terkait dengan perlunya dunia usaha mengeluarkan sebagian kecil dari laba bersihnya melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR) agar dunia usaha bisa terlibat di dalam proyek-proyek pemberdayaan SDM, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.
Melalui CSR, maka banyak perusahaan yang bermitra dengan dunia Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) agar perusahaan tersebut bisa berkembang lebih cepat atau dapat bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat. Beberapa perusahaan yang saya tahu, misalnya PT Semen Gresik Tbk juga memiliki CSR untuk kemitraan usaha selain memberikan donasi untuk masyarakat sekitarnya dalam paket-paket bantuan kesejahteraan, meskipun dalam jumlah yang belum memadai.
Dalam kaitan dengan dakwah, saya kira menjadi relevan jika kemitraan itu juga dilakukan. Dakwah tentu tidak hanya dalam konteks ceramah agama melalui mimbar-mimbar atau bahkan melalui media sosial, akan tetapi juga mesti memasuki kawasan pemberdayaan masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi dan kesehatan. Bahkan—meskipun belum didapatkan penelitian yang akurat—tetapi juga nyaring terdengar beberapa lembaga zakat yang terlibat di dalam gerakan politik untuk mendukung kelompok tertentu. Hipotesis ini memang perlu dibuktikan, dan mestilah memperoleh pembenaran, verifikasi atau falsifikasi yang memadai, sehingga juga dipastikan bahwa informasi yang kita terima itu benar atau salah.
Jika di dalam gerakan ekonomi, dakwah melalui pemberdayaan kewirausahaan sudah menjadi realitas empiris, namun cakupannya belumlah memadai. Dan sebagaimana yang sering kita dengar, gerakan ekonomi dakwah ini kebanyakan justru dilakukan bukan oleh umat Islam moderat (misalnya NU), yang seharusnya tampil juga untuk gerakan ini. Jika kita melakukan flashback, maka pengumpulan dan pengelolaan zakat justru dilakukan oleh kelompok yang “lain” yang memang memiliki kesadaran lebih “awal” dalam konteks dakwah ekonomi.
Di dalam pengelolaan zakat, mereka “yang lain” sudah melalukannya 20-30 tahun yang lalu, sehingga di saat “kesadaran” zakat dan wakaf hadir dewasa ini, maka mereka “yang lain” itu yang memiliki peluang lebih besar. Memang harus diakui bahwa kesadaran menajerial dan organisasional di kalangan Orang NU, misalnya tentu datang belakangan, sehingga pemikiran-pemikiran dan upaya diversifikatif dalam pengembangan program berbasis tata kelola itu juga hadir belakangan.
Memperhatikan terhadap realitas empiris, bahwa yang melakukan dakwah dengan pendekatan ekonomi mikro kepada jamaah-jamaah masjid di beberapa wilayah—sebagaimana diceritakan dalam forum Gerakan Moderasi Agama—maka sudah saatnya gerakan moderasi agama tersebut juga harus memanfaatkan peluang hadirnya dunia usaha untuk pengembangan dakwah plus ini. Dakwah tidak cukup dengan menggunakan mimbar-mimbar saja atau halaqah, akan tetapi juga perlu harakah. Dan salah satu wujud harakah itu adalah bagaimana agar dakwah relevan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat pinggiran yang memang membutuhkan sentuhan dakwah yang manusiawi ini.
Sudah saatnya dakwah kaum wasathiyah mendayagunakan trilogi ABC untuk menggerakkan dakwah agar lebih “mengena” dengan sasaran dakwah. Jika kita ingin menyelamatkan Islam wasathiyah, maka tidak ada jalan lain kecuali kita mendayagunakan trilogi ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.