Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TANTANGAN PENGEMBANGAN UINSA DI ERA DISRUPSI

Di era sekarang tidak ada lagi kata yang tepat untuk menggambarkan pertarungan antar institusi di semua lapisan masyarakat kecuali kata “kompetisi”. Kata ini memiliki daya magis luar biasa untuk menggambarkan bagaimana sebuah institusi akan bisa bertahan dalam menghadapi era yang tidak menentu atau era disrupsi. Semua berubah dengan cepat dan semua berubah nyaris tanpa bisa dikawal secara tepat. Perguruan Tinggi yang selama ini dianggap paling stabil pun harus pontang panting menghadapi era ini.

Dunia seakan menggelinding begitu saja, dan siapa yang memiliki kemampuan prediksi yang tepat dan kemampuan kompetisi yang hebat, maka dialah yang akan memenangkan pertarungan. Oleh karena itu tidak salah, jika ada pernyataan bahwa “di era sekarang bukan lagi saatnya yang kuat dan bertahan untuk bisa hidup, akan tetapi siapa yang cepat berubah seirama dengan perubahan secara terus menerus.” Jika kita tidak melakukan perubahan mindset di era sekarang, maka kita akan terlindas. Saya menjadi teringat dengan ungkapan masyhur dari Penyair Mohammad Iqbal, yang menyatakan bahwa “di jalan ini tidak ada tempat berhenti, siapa yang berhenti sejenak sekalipun, pasti akan terlindas”. Perlunya perubahan cepat inilah yang menjadi kata kunci saya di dalam presentasi di hadapan para pejabat UINSA di Hotel Aston Solo, Kamis, 4/3/2020.

Dalam tiga hari UIN Sunan Ampel memiliki aktivitas dalam kerangka memperkuat Pengelolaan Keuangan (PK) Badan Layanan Umum (BLU) bagi pengembangan kelembagaan UIN Sunan Ampel. Acara ini dihadiri oleh Rektor UINSA, Prof. Masdar Hilmy, para Wakil Rektor, para Dekan dan Kepala Lembaga serta pejabat keuangan dan perencanaan. Sebagai institusi, tentu UINSA ingin melakukan perubahan ke depan untuk menjadi PTN Berbadan Hukum (PTN-BH), seperti UI, ITB, UGM, UA, USU, ITS, IPB dan sebagainya. Oleh karena itu, saya sampaikan lima hal yang saya kira sangat mendasar, yaitu: pertama, penguatan akademik. Sebagaimana diketahui bahwa agar bisa menjadi PTN-BH, maka akreditasinya harus berkelas internasional. Jadi tidak cukup dengan modal Akreditasi A dari BAN-PT. Kita tentu beruntung karena sudah mendapatkan pengakuan dari BAN-PT—sebuah institusi paling kredibel untuk menilai kelayakan kualitas PT—sehingga tinggal satu langkah lagi untuk bisa menuju akreditasi internasional. Jadi kita tidak boleh merasa berada di zona nyaman, sebab institusi kita sudah terakreditasi A, sehingga posisinya sudah tidak ada perbedaan dengan UI, UA, ITB, ITS dan sebagainya.

Di dalam menghadapi era Revolusi Industri 4.0, maka PTKIN harus melakukan perubahan kurikulum dengan menyerasikannya dengan tuntutan perubahan di era ini. Beberapa PT sudah melakukannya, misalnya UA, ITS, ITB, UI dan lain-lain untuk kampus di dalam negeri, sedangkan di negara lain, seperti Korea Selatan, Cina, Singapura, Malaysia, Afrika Selatan dan lain-lain juga sudah melakukannya. Bagaimana dengan UINSA yang fokus bisnisnya adalah Islamic Studies? Saya kira UINSA juga harus melakukan rekonstruksi kurikulum, dengan muatan yang terfokus pada penguatan penguasaan teknologi informasi. Meskipun prodinya ilmu Al Qur’an dan tafsir al Qur’an, namun tetap saja mahasiswa harus dibekali dengan kemampuan teknologi informasi. Saya kira harus ada mata kuliah literasi media, yang tidak hanya memperkenalkan bagaimana menggunakan media yang baik dan benar, akan tetapi juga kapasitas untuk menguasai teknologi informasi dimaksud. Tidak hanya ini tetapi juga harus melakukan perubahan dalam pembelajaran dalam mengantisipasi kecenderungan belajar generasi milenial, yang bercorak mencari pengalaman, eksplorer, kolaboratif, IT minded, instant dan sebagainya .

Kedua, pemanfaatan aset. Kita harus melakukan pemetaan aset secara tepat dan memanfaatkan secara benar. UINSA beruntung sebab memiliki aset yang cukup memadai, misalnya GreenSA, sebuah penginapan atau sebut saja hotel untuk tempat pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan pengalaman selama ini aset ini belum dioptimalkan karena terkendala peruntukannya sebagai tempat diklat. Di dalam kondisi semacam ini, maka yang perlu dilakukan adalah perubahan kemanfaatan aset dimaksud. Tentu ada jalan keluarnya. Harus berpikir positif. Dengan kapasitas 70-an kamar dan hall untuk 400-an orang, maka aset ini merupakan instrumen penting untuk mendongkrak PNBP UINSA. Belum lagi aset tanah, tempat yang strategis di jalur utama masuk dan keluar Surabaya, jumlah mahasiswa yang mencapai angka 18.000-an, dosen dan tendik yang semuanya membutuhkan pelayanan untuk kehidupan. Jadi aset-aset ini harus dimanfaatkan melalui penetapan tim yang kuat, misalnya untuk pemetaan dan pemanfaatan aset eksisting sekarang dan juga tim untuk pemetaan dan potensi aset yang belum ada. Tim ini berfungsi untuk mencari dan menemukan aset yang bisa didayagunakan untuk pengembangan UINSA. Tim Pusat Bisnis harus kuat dan diisi oleh orang yang memiliki talenta usaha. Kita harus mengikuti filsafat hidup: “Kita Pasti Bisa”. “If You Think You Can, You Really Can”.

Ketiga, gerakan Reformasi Birokrasi. Ada 8 (delapan) area perubahan yang menjadi kata kunci di dalam RB. Saya ingin menyoroti mengenai manajemen perubahan. Kita membutuhkan agen perubahan yang diisi oleh orang yang memiliki visi dan misi pengembangan UINSA. Orang yang berkeinginan untuk membuat inovasi dalam banyak hal. Misalnya dalam program pembelajaran, pelayanan publik, menemukan paten, menemukan aplikasi baru untuk kepentingan administrasi pendidikan, dan sebagainya. Semua direcord dan dijadikan sebagai bukti bahwa seluruh pimpinan, dosen, tendik dan bahkan mahasiswa memiliki kepedulian pada manajemen perubahan. Dalam konteks RB secara lengkap bisa dibaca pada buku saya, “Friendly Leadership, Kepemimpinan sebagai Roh Manejemen” (LKIS, 2018).

Keempat, tantangan kita adalah era digital. makanya kita juga harus mengembangkan “Smart Campus”. Kampus yang serba digital karena tantangan kita adalah RI 4.0 dan era Disruptif. Sudah ada banyak peringatan dari para pakar pendidikan mengenai tantangan ini, misalnya Prof. Christensen (Harvard Business School), bahwa tantangan kita adalah era digital, sehingga PT yang akan survive adalah yang menerapkan Smart Campus. Masih ada waktu untuk mempersiapkannya. Ke depan kita tidak membutuhkan pembangunan fisik untuk ruang kuliah, yang kita butuhkan adalah ruang full ICT, untuk pembelajaran berbasis daring system dan basis data yang kuat serta aplikasi IT untuk efektivitas dan efisiensi. US akan kehilangan 50 persen PT dalam 10-15 tahun ke depan, dan yang bisa survive adalah yang mengembangkan Smart Campus.

Kelima, semua ini membutuhkan “keputusan” dan para pemimpin sesungguhnya diciptakan untuk memutuskan, mana yang urgent, dan mana yang important. Pemimpin harus membuat prioritas base on data yang akurat. Oleh karena itu bikinlah peta masalah untuk menghadapi masa depan, dengan mempertimbangkan apa masalah dan tantangannya, apa saja potensi dan program yang tepat, siapa yang bertanggungjawab, kapan waktunya, dan berapa anggaranya. Di sinilah pemihakan itu diperlukan. Tugas para pimpinan di era RI 4.0 dan era disrupsi memang sangat berat, tetapi bukan berarti tidak bisa dilampaui. Tugas pemimpin adalah do the rights thing dan tidak sekedar do the things right. Jadikan mimpi menjadi kenyataan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..