PTKIN MENGHADAPI ERA DISRUPSI
Di dalam menghadapi era disrupsi, pendidikan tinggi Islam (salah satunya UIN Raden Fatah Palembang) tentu harus optimis. Yang penting adalah bagaimana menghadapinya, dan bagaimana merumuskan kebijakan yang dapat digunakan untuk mengantisipasinya dan bagaimana implementasi kebijakan tersebut bagi penguatan institusi, kualitas akademis dan SDM-nya. Inilah inti pesan saya terhadap civitas akademika UIN Raden Fatah Palembang dalam session acara Kuliah Iftitah yang diselenggarakan oleh PTKIN tersebut.
Saya bersyukur bisa hadir di UIN Raden Fatah (UINRAFA) Palembang dalam acara Kuliah Iftitah bagi para mahasiswa tahun 2019/2020, yang diselenggarakan di Auditorium UINRAFA Palembang, 12 Pebruari 2020. Acara yang dikemas dalam bentuk ceramah tunggal ini dihadiri oleh Rektor, Prof. Syirozi, PhD., Ketua Senat, Prof. Aflatun Muchtar, dan para profesor, para Dekan, Para Wakil Rektor, para wakil Dekan, serta Kepala Biro dan sebanyak 500-an mahasiswa dari semua fakultas di UINRAFA. Di dalam kata pengantarnya, Pak Rektor menyatakan bahwa perguruan tinggi sedang menghadapi suatu era yang harus dicermati dengan sungguh-sungguh, yaitu Era Revolusi Industri 4.0 atau juga disebut sebagai Era Disrupsi. Nara sumber hari ini, Prof. Nur Syam, Guru Besar UIN Sunan Ampel, yang akan membahas masalah ini dan kami berharap pemikirannya dapat menjadi bagian dari pemikiran dan aksi untuk pengembangan UINRAFA. Pak Rektor juga menyampaikan bahwa pembangunan fisik UINRAFA di kampus dua sudah selesai dan beberapa fakultas dan prodi akan menempati kampus baru tersebut, misalnya Prodi Ekonomi Syariah, Prodi Sain dan Teknologi dan Prodi Pendidikan Sain dan Teknologi pada Fakultas Tarbiyah.
Sebelum saya menyampaikan paparan, secara sengaja saya bertanya kepada para mahasiswa tentang beberapa hal, misalnya negara mana yang jumlah umat Islamnya terbesar dan berapa besar prosentasenya, berapa jumlah pulau di Indonesia, dan saya bersyukur sebab para mahasiswa bisa menjawabnya. Dan bagi yang bisa memberikan jawaban saya beri hadiah uang Rp50.000,00. Juga di tengah acara di saat saya menjelaskan tentang jenis media sosial yang berpengaruh dewasa ini sesuai dengan ikon-ikon atau symbolnya, maka mahasiswa bisa menjelaskannya. Misalnya lambang Y untuk yahoo, G+ untuk Gmail, S untuk Skype, dan belasan simbol lainnya. Saya mengapresiasi bahwa mahasiswa UINRAFA tidak ketinggalan informasi tentang hal-hal mendasar sekarang ini. Termasuk juga yang bisa memberikan penjelasan tentang inti perkuliahan ini. Saya memberikan uang sebesar Rp50.000,00 juga.
Sebagaimana tema yang saya bahas, yaitu “Pendidikan Islam di Era Disrupsi”, maka saya sampaikan tiga hal penting di dalam upaya untuk memberikan pemahaman khususnya kepada para mahasiswa di dalam menghadapi era disrupsi ini. Pertama, mengenai tantangan teknologi informasi, berupa perubahan yang cepat dan digitalisasi seluruh sessi kehidupan manusia. Kehidupan politik, sosial, ekonomi, budaya dan bahkan agama. Semua serba digital. e-bisnis, e-government, e-education, e-management dan sebagainya. Betapa dahsyatnya digitalisasi tersebut, maka terjadi “pembalikan” teori ekonomi, misalnya perusahaan transportasi yang dahulu selalu memiliki alat transprotasinya sendiri, maka sekarang perusahaan taksi hanya perlu aplikasi. Misalnya Grabb, GoJek, dan sebagainya. Teknologi informasi juga sangat berpengaruh terhadap perusahaan ritel, seperti Matahari Department Store, Carefour dan sebagainya. Semua dikalahkan oleh Tokopedia, Bukalapak, Shophee, dan sebagainya. Termasuk juga dunia pendidikan, misalnya dengan diberlakukannya aplikasi pendidikan yang semakin semarak sekarang, seperti ruangguru, dan edmodo, maka para guru menjadi berkurang otoritasnya.
Kedua, tantangan generasi milenial. Kaum milenial adalah mereka yang lahir sesudah tahun 1980-an dan usianya tertinggi adalah 37 tahun. Mereka adalah generasi milenial yang memiliki dunianya sendiri yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, yang lahir pada era tahun 1960. Generasi milenial adalah generasi yang suka explorer, ingin mengeksistensikan diri, suka kolaborasi, suka belajar pengalaman, dan juga menyukai kebebasan dan inovasi. Saya sangat senang bahwa para mahasiswa PTKIN memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memahami dan menggunakan media sosial sebagai salah satu cara penting dalam menghadapi era milenial dengan segenap dampak positif dan negatifnya.
Ketiga, saya melihat bahwa banyak negara yang sudah melakukan perubahan mendasar terkait dengan era digital sekarang. Misalnya, Malaysia yang sudah melakukan rekonstruksi kurikulum dengan pembobotan 50 persen untuk pemahaman teoretik dan 50 persen untuk aplikasi dari pemahaman tentang konsep dan teori dimaksud. Demikian pula Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan dan beberapa negara lain yang sudah melakukan perubahan mendasar tentang kurikulumnya. Itulah yang saya sebutkan bahwa kita tidak boleh pesimis menghadapi tantangan digitalisasi. Sejumlah negara telah melakukannya dan apa yang dilakukan oleh Kemendikbud, Mas Menteri Nadim Makarim, adalah yang disebut sebagai “Merdeka Belajar,” atau “Kampus Merdeka.” Pemikiran Nadiem ini sesungguhnya seirama dengan ungkapan Jack Ma, Pendiri Alibaba Group, yang menyatakan bahwa pendidikan harus menciptakan mitra didik yang berpikir independen. Secara lengkap Jack Ma, menyatakan bahwa pendidikan ke depan harus melihat keunggulan dan kekhususan manusia, yaitu pendidikan berbasis value, believing, independent thinking, team work, and care for others.
Mengajarkan value, artinya mendidik agar mitra didik menjadi orang yang jujur, tanggungjawab, adil dan lainnya yang terkait dengan value keislaman. Lalu, pendidikan berbasis believing yaitu menjadi orang yang percaya bahwa manusia adalah makhluk mulia dan sekaligus khalifah Allah swt dengan intellectual intelligent, emotional intelligent, social intelligent, dan spiritual intelligent. Semua ini adalah out come pendidikan dengan keunikannya tersebut. Saya yakin bahwa pendidikan tinggi keagamaan Islam memiliki semua ini. Hanya saja yang perlu untuk dikembangkan lebih lanjut adalah mengenai independent thinking. Di dalam konteks ini, maka para dosen seharusnya mengubah program pembelajarannya menjadi “discovery learning” atau bersama mahasiswa menemukan konsep, teori dan bahkan praktiknya sekaligus. Lalu, memiliki kemampuan team work yang hebat dan juga menjadi orang yang sadar bahwa dia tidak hidup sendiri dengan kemampuan sendiri untuk meraih kejayaan, akan tetapi memerlukan orang lain untuk mencapai kesuksesan.
Sesungguhnya diperlukan perubahan mengenai kurikulum, misalnya dengan komposisi 60 persen konsep dan teori serta 40 persen untuk praktik atau kerja lapangan. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia, misalnya Universitas Airlangga, UI, UGM, ITB, ITS, Universitas Machung, President University, Binus University dan sebagainya sudah melakukan curriculum review. Lalu juga mengembangkan kerjasama dengan institusi lain, baik dalam maupun luar negeri, institusi pendidikan maupun non pendidikan. Yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana mengembangkan potensi mahasiswa agar bisa mempersiapkan diri menghadapi dunia digital sekarang ini. Mereka harus menjadi orang yang memiliki kemampuan literasi media. bahkan tidak hanya literasi media tetapi juga mampu memanfaatkan media untuk kepentingan pengembangan karir, pengembangan talenta, dan pengembangan kehidupan secara umum.
Dengan demikian, yang sungguh diperlukan di era disruptif ini adalah bagaimana para civitas akademika mengubah mind set bahwa dunia di luar kita sudah berubah dan semua harus berubah menyesuaikan atau bahkan mendahului terhadap perubahan tersebut. PTKIN harus berbenah untuk menyongsong masa depan yang tidak menentu agar menjadi menentu.
Wallahu a’lam bi al shawab.