JIHAD, KHILAFAH DAN HIJRAH (4)
JIHAD, KHILAFAH DAN HIJRAH (4)
Tidak ada factor tunggal yang mempengaruhi perilaku manusia. Dalam perspektif paradigma social facts, maka diperlukan banyak factor yang terlibat di dalam mempengaruhi perilaku individu atau masyarakat, termasuk juga perilaku radikalisme. Asumsi yang digunakan adalah “ada keteraturan, ada perubahan dan tidak ada factor tunggal yang mempengaruhi perilaku manusia”.
Sekurang-kurangnya ada 5 (lima) variables yang mempengaruhi perilaku radikal, yaitu pendidikan, guru, lingkungan sosial, lingkungan keluarga dan media sosial. Kelima variabel tersebut tentu saja bisa bercorak sistemik atau tidak secara sistemik saling mempengaruhi, akan tetapi tentu ada yang dominan dalam signifikansi pengaruhnya.
Pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan sebab melalui dunia pendidikan, maka seseorang akan berperilaku sebagaimana yang diajarkan di dalam program pendidikan dimaksud. Program pendidikan yang berstandar keislaman yang ramah tentu juga akan menghasilkan alumni yang memiliki pemahaman dan tindakan yang relevan dengan program pendidikannya. Pendidikan yang mengusung konsep kewirausahaan –seperti Insititusi Pendidikan Ciputra—tentu akan menghasilkan mindset mitra didik untuk berkecenderungan menjadi wirausahawan. Potensi berwirausaha itulah yang diaktualkan dalam program-program yang diusungnya. Di dalam pendidikan tersebut tentu ada dimensi lingkungan, kawan, dan suasana pembelajaran yang disepahami untuk ditransformasikan.
Lalu guru atau dosen. Saya berasumsi bahwa guru menjadi factor dominan di dalam mempengaruhi terhadap perilaku mitra didiknya. Guru atau dosen adalah orang yang sangat otoritatif di dalam mentransfer pengetahuan di dalam program pendidikan. Meskipun perannya sedikit berkurang karena kehadiran teknologi informasi, namun tetap saja peran guru atau dosen tidak tergantikan. Dosen dan guru memiliki ruang untuk berinteraksi secara langsung dengan mitra didiknya, kapan dan dimanapun. Sebagai fungsi utama di dalam program pendidikan, maka guru atau dosen dapat mengarahkan, membimbing, mendidik mitra didiknya sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Guru atau dosen adalah penafsir kurikulum dan materi pembelajaran yang otoritatif. Jika misalnya ada seorang guru atau dosen yang menafsirkan tentang Jihad dalam makna perang offensive, maka dipastikan sedikit atau banyak akan berpengaruh terhadap mitra didiknya. Demikian pula jika dosen atau guru berkeyakinan bahwa khilafah adalah jalan terbaik bagi sebuah negeri, maka dipastikan juga berpengaruh kepada mitra didiknya. Semakin banyaknya anak-anak usia pendidikan menengah untuk tidak mau menghormat Bendera Merah Putih, atau menganggap bahwa Pancasila adalah thaghut, maka dipastikan siswanya akan berkeyakinan juga seperti itu. Maka, guru atau dosen menjadi factor utama perubahan perilaku mitra didik.
Kemudian, lingkungan sosial. Sesungguhnya lingkungan sosial memiliki pengaruh yang signifikan untuk memengaruhi perilaku seseorang. Lingkungan sosial memiliki pengaruh sugestif terhadap individu. Jika anak berada di pesantren dipastikan perilakunya akan menjadi baik, dan sebaliknya anak yang berada di kompleks pelacuran juga akan berkecenderungan untuk meniru ucapan atau ungkapan yang sering didengarnya. Itulah sebabnya, seseorang yang sering mendengarkan ceramah dengan konten kekerasan juga akan berkecenderungan seperti itu. Jadi, sesungguhnya lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan perilaku individu atau masyarakat.
Yang tidak kalah besar pengaruhnya terhadap perilaku kekerasan, menjadi ekstrimis atau teroris adalah media sosial. Era sekarang merupakan era media sosial begitu gigantic and powerfull. Begitu besarnya pengaruh media sosial tersebut sehingga media sosial dianggap sebagai penyebab utama keterpengaruhan individu atau seseorang untuk menjadi ekstrimis atau teroris. Media sosial dapat diakses siapapun, kapanpun dan dimanapun. Bisa di rumah, di tempat tidur, di sekolah, di ruang-ruang public dan sebagainya.
Dewasa ini nyaris tidak ada yang bisa mengerem pengaruh media sosial terhadap perubahan perilaku individu. Bisa dibaca misalnya dalam kasus anak-anak usia belasan tahun yang terpapar virus radikalisme, pejabat di perusahaan, bahkan ASN yang terpapar radikalisme. Semua itu tentu disebabkan oleh kebebasan akses media sosial yang sangat massive. Memang situs dan konten kekerasan tersebut bisa diblokir atau didelete oleh Kementerian Kominfo, akan tetapi diblokir 1000 akan muncul 1000 pula pada hari berikutnya.
Indonesia menganut madzab kebebasan ekspressi dan kebebasan akses informasi. Makanya, siapapun bisa berekspressi dan mengakses konten media sosial dengan sangat leluasa. Terkecuali ujaran kebencian, fitnah dan sebagainya yang beberapa kasus sudah disidangkan, akan tetapi untuk mengakses informasi dari manapun datangnya tentu bersifat sangat individual. Meskipun sudah ada regulasi yang mengatur hal ini, misalnya UU ITE, akan tetapi rasanya masih belum optimal untuk diterapkan. Di era proxy war dan cyber war seperti ini, tentu sangat rentan keterpengaruhan individu atau bahkan masyarakat terhadap berbagai konten “negative” yang sengaja diproduksi untuk merusak dan membuat kegaduhan atau kekacauan.
Factor keluarga juga bisa berpengaruh terhadap tindakan kekerasan atau ekstrimis atau bahkan teroris. Bisa dibaca misalnya kasus pengeboman gereja di Surabaya yang melibatkan keluarga, isteri dan anak-anak, atau kesediaan perempuan untuk menjadi pengantin bom bunuh diri. Semua ini bisa dilakukan karena factor keluarga. Kebanyakan yang dilakukan adalah dengan menikahi perempuan dan kemudian diajak untuk melakukan tindakan terror. Kasus Nurdin M.Top, Dr. Azahari dan sebagainya, bahkan penusukan terhadap Jenderal Wiranto beberapa saat yang lalu dilakukan oleh pasangan suami isteri. Pengambilan keputusan anak atau isteri terlibat di dalam gerakan terror tentu disebabkan oleh factor eksternal dan internal. Keduanya, saling terkait dan saling memperkuat. Oleh karena itu, factor keluarga juga dominan pengaruhnya terhadap perilaku kekerasan, khususnya ekstrismisme dan terorisme.
Oleh karena itu, kita juga tidak bisa membebankan gerakan deradikalisasi atau moderasi beragama itu hanya kepada lembaga pendidikan saja, sebab selain itu ternyata terdapat banyak variabel yang bisa mempengaruh seseorang untuk menjadi radikal.
Oleh karena itu tugas pendidikan tentu adalah untuk menyiapkan kurikulum, guru dan program pembelajaran yang relevan dengan tujuan untuk menciptakan generasi sekarang dan yang akan datang sebagai generasi yang memahami dan mempraktikkan ajaran agama dalam coraknya yang rahmatan lil alamin.
Wallahu a’lam bi al shawab.