Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

JIHAD, KHILAFAH DAN HIJRAH (3)

JIHAD, KHILAFAH DAN HIJRAH (3)

Konsep kedua, yang menarik adalah khilafah. Kata khilafah sungguh memiliki magnit yang luar biasa untuk menjadi referensi bagi mereka yang ingin mendirikan dawlah Islamiyah di negeri ini. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas umat Islam terbesar di dunia. Populasinya sejumlah 266,5 juta jiwa atau naik 123 persen dalam setengah abad (JP, 03/01/2020), maka mayoritasnya atau 85 persen beragama Islam. Ini artinya, bahwa potensi untuk “mendirikan” negara Islam dianggap oleh Muslim radikalis sebagai hal yang sangat potensial.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang “welcome” terhadap apa saja yang datang kepadanya. Budaya “nerimo” yang dijadikan sebagai referensi di dalam menafsirkan tindakan, bisa jadi memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kecenderungan “menerima” gagasan atau bahkan ideology yang datang kepadanya.

Tidak terkecuali juga konsep “khilafah” yang memang memiliki rujukan teksnya di dalam pengajaran keislaman. Dan di dalam khazanah keilmuan Islam –khususnya Fiqih dan Sejarah Kebudayaan Islam—khilafah menjadi pembahasan yang spesifik. Tiga kata: jihad, khilafah dan hijrah merupakan teks Islam yang diproduksi oleh para ulama berbasis pada pengalaman mendalami ajaran Islam sesuai teks suci, dan juga berbalut pada pengalaman historis di masa lalu bahkan juga di masa sekarang.

Namun demikian, seirama dengan penggunaan kata khilafah yang “menyimpang” karena dimaknai sebagai keinginan untuk mendirikan negara di dalam negara yang sah, maka kata ini lalu menjadi “momok” bagi masyarakat Indonesia. Berkat kata ini, maka membuat masyarakat Indonesia yang berkeinginan menjadikan Pancasila dan NKRI sebagai dasar dan bentuk negara harus bekerja keras untuk menghalanginya. Misalnya ungkapan “NKRI harga Mati” yang dikumandangkan oleh para Kyai NU di seluruh Indonesia.

Lembaga pendidikan keagamaan juga merasakan dampak yang luar biasa terkait dengan konsep khilafah. Jika selama ini persoalan khilafah tersebut menjadi bagian dari kajian fiqih, maka diupayakan agar diajarkan di Sejarah Kebudayaan Islam saja. Fiqih yang selama ini menggunakan teks khilafah sebagai bagian dari pembahasannya tidak lagi harus membahasnya. Cukup melalui Sejaran Kebudayaan Islam. Kementerian Agama (Kemenag) yang selama ini memiliki kurikulum fiqh dan juga membahas tentang khilafah juga harus merevisinya.

Bahkan, tidak hanya pembelajaran tentang jihad dan khilafah saja, bahkan soal-soal ujian yang di dalamnya terkait dengan soal ujian tentang jihad dan khilafah juga harus direvisi atau dibuang. Sesuai dengan Surat Edaran (SE) yang ditandatangani oleh Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaaan, Dr. Umar, bahwa seluruh soal yang terdapat ungkapan tentang jihad dan khilafah harus ditarik. Surat yang dikeluarkan tanggal 4 Desember 2019 tersebut menandai upaya Kemenag untuk semakin memantapkan Gerakan Moderasi Beragama dan Menanggulangi Radikalisme.

Memang harus diakui bahwa akhir-akhir ini banyak ditemui di lapangan tentang soal-soal yang terkait dengan khilafah dan jihad yang justru memperkuat posisi khilafah dan jihad dalam konteks mendirikan negara Islam. Dan seringkali Kemenag kedodoran menghadapi persoalan tersebut. Makanya, kehadiran SE tersebut tentu harus dimaknai sebagai upaya preventif dalam menghadapi masalah jihad dan khilafah.

Khilafah memang menjadi salah satu bahasan di dalam ilmu fiqih, dan hal ini merupakan warisan atau legacy para ulama di masa lalu, yang tentu memiliki pandangan bahwa persoalan khilafah dan jihad merupakan bagian tidak terpisahkan di dalam sejarah umat Islam di masa lalu. Selalu ada konteks sosial dan latar kultural dan politik yang mendasari mengapa jihad dan khilafah menjadi bahasan di dalam ilmu fiqih. Selama ini ilmu fiqih dijadikan pedoman di dalam melakukan tindakan keagamaan, dan dihadirkan oleh para ulama yang otoritatif dalam bidangnya.

Oleh karena itu, di dalam proses pengajaran fiqih tentang bab al jihad dan bab al khilafah, harus diajarkan oleh ahlinya yang tidak memihak untuk mendirikan khilafah atau mengajarkan mendirikan khilafah, sesuai dengan tafsir yang dianggap benar sendiri. Jadi factor pengajar menjadi sangat penting agar pembelajaran jihad dan khilafah tidak melenceng dari rel kebangsaan yang selama ini sudah menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia.

Pengajaran khilafah dalam fiqih justru untuk memberikan pemahaman tentang latar sosial, budaya dan politik yang berkembang di masa lalu, dan bagaimana kekhalifahan di masa sekarang. Era sekarang sebagai pasar raya tafsir agama dan praktik keagamaan termasuk praktik penyelenggaraan negara tentu harus dijelaskan berbasis pada sumber-sumber otoritatif dan empiris dimaksud. Dengan demikian, pengalihan mata ajaran jihad dan khilafah hanya melalui Sejarah Kebudayaan Islam justru akan menghilangkan makna latar sosial, kebudayaan dan politik dan agama, sebagaimana pandangan para ulama di masa lalu dan juga ulama di masa sekarang.

Rasanya yang sungguh lebih penting adalah menghadirkan pembelajaran tentang Islam yang ramah, Islam yang toleran, Islam yang menghargai kemanusiaan, Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Oleh karena itu konten kurikulum harus direvisi untuk menghadirkan wajah Islam yang moderat, yang mengajarkan penghargaan terhadap Tuhan, Manusia dan alam seluruhnya.

Dan saya kira Kemenag sudah melakukannya dengan program pembelajaran ISRA atau Islam rahmatan lil ‘alamin. Inilah yang seharusnya diperkuat dan diberpihaki oleh semuanya, pemerintah (baca Kemenag) dan juga institusi pendidikan baik di bawah Kemenag, ataupun di Kemendikbud. Rasanya perlu kerja yang lebih sinergik antar kementerian atau lembaga yang di dalamnya terdapat proses transformasi pendidikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..