Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

GENERASI MILENIAL DALAM JERAT RADIKALISME NEGATIF

GENERASI MILENIAL DALAM JERAT RADIKALISME NEGATIF

Meskipun banyak orang menyatakan bahwa generasi milenial kita bisa diharapkan untuk menjadi pilar bagi keberlangsungan NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai landasan yuridisnya, akan tetapi saya kira tetap harus ada keprihatinan –di kalangan generasi yang lebih senior—terutama dalam menghadapi sebagian generasi milenial yang berkeinginan berbeda dengan generasi sebelumnya, terutama terkait dengan ideology negara.

Kekhawatiran atau keprihatinan ini tentu bukan tanpa dasar. Keprihatinan atau kekhawatiran tersebut berangkat dari keinginan generasi yang lebih senior agar para penerus generasi di Indonesia tetap berada di dalam satu barisan untuk menegakkan empat consensus kebangsaan, yaitu: Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan kebinekaan.

Era milenial adalah era disrupsi. Suatu era yang penuh dengan ketidakpastian, perubahan demi perubahan yang sedemikian cepat, dan semakin menguatnya tantangan kehidupan ekonomi dan sosial yang juga berubah dengan cepat. Melalui kehadiran artificial intelligence (AI), maka banyak pekerjaan manusia yang digantikan oleh robot-robot dengan segala kekuatan dan kelebihannya. Manusia menjadi terdesak dengan teknologi ciptaannya sendiri.

Di era seperti ini, para milenial harus tetap berada di dalam koridor kebangsaan dan keindonesiaan. Mereka harus tetap menjadi bagian dari warga negara Indonesia yang setia dengan ideology Pancasila dan NKRI. Sementara itu, mereka hidup dengan tantangan yang tidak sedikit terkait dengan semakin maraknya inovasi-inovasi yang terkadang justru menyulitkan kehidupannya. Itulah sebabnya, generasi sebelumnya selalu menyatakan bahwa: “tidak ada yang lebih utama bagi warga negara Indonesia kecuali harus mempertahankan ideology Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final negeri ini”.

Namun demikian, kegundahan itu terus muncul. Salah satunya tentu hasil bacaan atas perilaku generasi milenial, sebagaimana dilaporkan oleh IDN Research Institute, dengan Tema: “Indonesia Milenial Report 2019”, yang menyatakan bahwa 81,5 persen milenial mensupport Indonesia sebagai Republik, 19,5 persen millennial menyatakan bahwa Indonesia akan lebih baik dengan system khilafah. Dan juga perempuan yang siap menjadi teroris. Data ini dapat dibandingkan dengan hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Universitas Negeri Jember, bahwa sebanyak 22 persen mahasiswanya terpapar virus radikalisme.

Hasil survey ini tentu mengkhawatirkan, sebab 19,5 persen merupakan angka yang lumayan besar. Jika dibandingkan dengan hasil survey lain, misalnya Survey CSIS (2017) tentang keinginan mengganti Pancasila dengan ideologi lain, maka disimpulkan bahwa: Gambaran setuju dari usia 17-29 tahun (generasi milenial) sebanyak 9,5% dan usia 30 tahun ke atas (generasi non milenial) 11,8%. Gambaran tidak setuju untuk usia 17-29 tahun (generasi milenial) 90,5% dan usia 30 tahun ke atas (generasi non mileneal ) 85,4%. Dukungan terhadap Pancasila sangat kuat di kalangan milenial dan non-milenial (Dari sisi presentase, dukungan terhadap Pancasila lebih besar di pemilih milenial). Gagasan untuk mengganti Pancasila mendapat banyak penolakan.

Prediksi tahun 2020, Generasi milenial berjumlah 83 juta atau 34 persen dari total populasi Indonesia sebesar 271 jiwa, generasi X sebanyak 53 juta atau 20 persen, dan generasi baby boomers sebanyak 35 juta atau13 persen. Jika yang terpapar virus radikalisme sebanyak 19,5 persen berarti sebanyak 16,85 juta. Tentu bukan angka eksak tentang jumlah itu, tetapi gambaran bahwa terdapat jumlah yang cukup besar dari generasi milenial yang terpapar radikalisme itu sangat mengkhawatirkan. Sebab selama ini kisaran generasi milenial yang cenderung intoleran dan berkeinginan mengganti Pancasila dengan ideology lain adalah 9-11 persen.

Data inilah yang saya kira patut untuk menjadi pencermatan dan sekaligus juga sebagai wake up call, bahwa kaum radikal negative itu telah semakin banyak jumlahnya. Dari tahun ke tahun kuantitas mereka semakin membesar. Artinya, bahwa mereka yang terkena virus radikalisme semakin membesar dan semakin menguat. Dan hal ini juga sekaligus memberikan makna bahwa upaya kaum radikalis negative cukup berhasil dalam mempengaruhi terhadap anak-anak muda generasi milenial.

Dan sementara itu, pemerintah juga selalu diserang jika menjadikan radikalisme negatif sebagai sasaran program, misalnya BNPT dengan deradikalisasi dan Kementeraian Agama dengan Moderasi Beragama. Pemerintah selalu dianggap mengada-ada dan membesar-besarkan radikalisme sebagai common enemy. Ada kegamangan di kalangan masyarakat kita untuk menjadikan mereka yang terpapar radikalisme sebagai sasaran pembinaan. Bahkan juga ada di kalangan aparat negara yang menyangsikan tentang keberadaan radikalisme negative ini.

Masih ada anggapan bahwa teks radikalisme yang dinyatakan oleh pemerintah sebagai pengalihan issue, pencitraan, dan bahkan rekayasa. Oleh karena itu, bisa jadi bahwa pemerintah pun akhirnya juga gamang untuk melakukan perlawanan terhadap radikalisme negative tersebut. Anehnya, di sana-sini ternyata terdapat bom bunuh diri, dan gerakan ekstrimisme lainnya.

Oleh karena itu, tetap diperlukan upaya untuk menjadikan radikalisme negative sebagai “lawan” yang harus diperhitungkan dalam kerangka untuk mempertahankan NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai basis yuridis negeri ini. Saya kira urusan radikalisme negative bukan hanya urusan pemerintah saja tetapi juga masyarakat pada umumnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..