MENCERMATI TEORI ILMU DAKWAH
MENCERMATI TEORI ILMU DAKWAH:
Kajian Pengembangan Berbasis Teori Komunikasi
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Guru besar Sosiologi UIN Sunan Ampel
Pengantar
Sebagai dosen, saya telah banyak menulis buku. Hanya menulis artikel di jurnal yang saya kira sangat kurang. Maklum dalam rentang waktu yang cukup panjang –tujuh tahun—saya pernah off tidak mengajar, kecuali menguji disertasi, karena jabatan structural di Kementerian Agama yang harus saya lakukan. Tetapi pasca kembali dari jabatan structural, saya kembali mengajar dan harus terus menulis, baik tulisan ringan maupun berat sebagai konsekuensi tugas jabatan dosen.
Saya sungguh beruntung karena untuk urusan tulis menulis saya tergolong yang rajin menulis, terutama lewat blog. Dan lewat menulis di blog itulah akhirnya lahir banyak buku. Selama saya di Jakarta itu, ada sebanyak enam buku yang berhasil terbit. Saya selalu berprinsip “saya menulis, maka saya hadir”, “saya menulis maka saya ada” atau verba volant, scripta mannen”.
Posisi saya ketika menulis tema ini saya kira juga perlu saya sampaikan, sebagai pertanggungjawaban atas karya akademis –meskipun tidak rigit—tentang pengembangan teori ilmu dakwah dari perspektif teori ilmu komunikasi. Saya merasa dekat dengan perspektif ilmu komunikasi, sebab di masa lalu, saya adalah dosen ilmu komunikasi sebelum pindah ke sosiologi agama dan kemudian menjadi professor sosiologi.
Perspektif Teori Ilmu Komunikasi
Sebagaimana diketahui bahwa ilmu komunikasi memiliki empat paradigma, yang sungguh sudah dipahami bersama. Paradigma sebagai pemikiran mendasar dari para ahlinya tentang apa yang menjadi subject matter of science telah menempatkan setiap ilmu pengetahuan memiliki paradigmanya sendiri-sendiri. Ilmu komunikasi memiliki paradigma mekanistik, psikhologis, simbolik interpretatif dan pragmatis. Di antara teori-teori tersebut yaitu:
- Teori peluru atau the bullet theory atau Teori Jarum Hipodermik. Teori ini dikembangkan oleh Wilbur Schramm. Inti teorinya adalah bahwa pesan komunikasi itu berlaku seperti peluru yang bisa menembus terhadap sasaran secara mematikan. Ibaratnya peluru, maka pesan dalam komunikasi itu tidak dapat dicegah pengaruhnya pada komunikan atau sasarannya. Bullet theory of dakwah atau teori peluru dakwah, tentu menarik disimak sebab selama ini sudah menjadi kelaziman di dalam pengembangan ilmu dakwah. Hampir seluruh penelitian tentang dakwah berada di dalam teori ini, misalnya, tentang bagaimana da’i dengan pesannya melalui media, metode dan sarana dakwah lainnya yang berpengaruh langsung kepada mad’u. Sudah sangat banyak penelitian dalam konteks ini.
- Teori Efek Media. Teori ini merupakan kelanjutan dari teori peluru yang dirasakan mulai kehilangan pamornya dalam studi-studi komunikasi. Oleh George Gebner dikembangkan teori Efek Media yang merupakan kritik terhadap teori peluru yang pernah sangat popular. Teori ini memiliki asumsi bahwa semakin sering seseorang mendengar atau melihat televisi atau media lainnya, maka akan semakin besar pengaruh media tersebut pada pandangannya tentang dunia yang memiliki kesamaan dengannya. Media memiliki dua kecenderungan yaitu melakukan mainstreaming atau pengarusutamaan informasi sehingga terdapat kesamaan pandangan atau respon tentang isi media, dan resonansi atau kemampuan untuk menyamakan antara realitas empiris dengan tayangan media. Di dalam kajian dakwah, maka teori efek media dapat digunakan untuk mengkaji peran media sosial atau media lainnya dalam pengaruhnya terhadap pandangan dan perilaku sasaran dakwah dalam hal tertentu. Semakin sering orang mendengarkan ceramahnya Gus Baha’, Ustadz Adi Hadayat atau UAS, maka dia akan berubah dengan mengidentifikasi dirinya atas apa yang diceramahkan tersebut.
- Teori konstruksi sosial komunikasi dakwah, misalnya didapatkan dalam teori konstruksi sosial yang dikembangkan oleh James Carey yang berasumsi bahwa ada 4 (empat) tahapan dalam konstruksi sosial media, yaitu: 1) Konstruksi. Actor atau manusia dapat mengembangkan suatu konsep untuk menjadi kenyataan. 2) Pemeliharaan. Actor harus melakukan pemeliharaan secara terus menerus. 3) Perbaikan. Actor juga harus melakukan perbaikan konstruksi sosial secara terus menerus agar jika terdapat elemen yang hilang dapat dibenahi. 4) Perubahan. Konstruksi sosial akan berubah pada suatu waktu. Perubahan tersebut sangat potensial terjadi. Teori ini dapat digunakan untuk mengkaji tentang dakwah Islam dengan memfokuskan pada perubahan perilaku sasaran dakwah melalui tahapan-tahapan konstruksi sosial di atas. Ada proses yang disadari oleh subyek maupun sasaran dakwah dalam kerangka mengkonstruksi, memelihara, memperbaiki dan pengubah tindakan para pelaku dimaksud.
- Teori Agenda Setting dakwah. Teori ini berasumsi bahwa media memiliki kemampuan untuk membentuk opini public. Jadi media memiliki kemampuan untuk memilih mana informasi yang dianggapnya penting dan mana yang dianggapnya tidak penting. Bahkan informasi yang tidak penting bisa menjadi penting jika diagendakan oleh media. Oleh karena itu media bisa mengagendakan berita agar berita tersebut dapat menjadi opini public. Teori ini dikembangkan oleh Mc. Comb dan D.L. Shaw pada tahun 1972. Selain itu media juga memiliki kemampuan untuk membangun pencitraan. Jika seseorang ingin memperoleh citra yang positif, maka media dapat dijadikan sebagai sarananya. Di dalam penelitian dakwah, maka teori ini bisa digunakan oleh da’i atau organisasi atau media Islam dalam kerangka untuk menyampaikan gagasan, ide atau pikiran agar dapat dijadikan sebagai rujukan oleh sasaran dakwah. Misalnya dalam pemberitaan di media sosial, maka tentu dilakukan dengan cara menyajikan mana yang dianggap penting dan kemudian dishare kepada audience. Sekarang sudah ada banyak dai yang melakukannya untuk kepentingan penyebaran Islam.
- Analisis framing dakwah. Analisis ini digunakan untuk memilih pemberitaan mana yang dianggap penting dengan didasarkan pada pilihan-pilihan yang relevan dengan kebutuhan audience. Misalnya, terdapat sekian banyak berita yang bertebaran di dunia media informasi, maka akan dipilih mana yang diperkirakan akan memperoleh respon yang cukup kuat dari audience. Jadi, media memiliki kekuatan untuk memilih mana berita yang dianggap penting dan kemudian diulang-ulang untuk pemberitaannya. Di media televisi, misalnya akan bisa diketahui bagaimana perilaku media di dalam memframing berita sesuai dengan apa yang sesungguhnya menjadi misi kuatnya. Di dalam studi dakwah, tentu bisa digunakan untuk meneliti tentang berita-berita tentang Islam yang terdapat di media massa atau media sosial. Melalui analisis framing akan diketahui misalnya bagaimana dan berapa kuantitas pemberitaan tersebut tersaji di media.
- Teori Stimulus dan Respons dakwah. Sebagai bagian dari paradigma psikhologi, maka teori ini digunakan untuk melihat bagaimana sebuah pesan disampaikan dan kemudian apa reaksi psikhologis yang terdapat pada sasaran komunikasi. Teori ini dikembangkan oleh B.F. Skinner dan kemudian menjadi bagian dari paradigma sosiologi maupun psikhologi. Teori stimulus dan respon mengandaikan bahwa factor lingkungan (stimulus) mempengaruhi terhadap perilaku (respon) manusia. Semakin kuat stimulus semakin besar respon yang diberikan kepadanya atau semakin berulang-ulang stumulus diberikan semakin besar keterpengaruhan atau respon yang diterimanya. Di dalam kajian dakwah, maka dapat diteliti misalnya seberapa besar pengaruh eksternal (da’i dengan pesan-pesannya) terhadap perubahan perilaku yang dijalani oleh sasaran dakwah. Meskipun corak teori ini lebih banyak menyasar kepada individu, namun demikian bisa juga digunakan untuk mengkaji komunitas dakwah dengan memperhatikan pengaruh kepada individu-individunya. Selain teori BF. Skinner, tentu juga bisa dijadikan sebagai perspektif, misalnya teori Freud tentang psikhoanalisis, teori James Taylor tentang Koorientasi Organisasi, bahwa organisasi merupakan kumpulan individu yang memiliki tujuan yang sama dan ingin mencapai tujuan bersama-sama dan dibangun melalui percakapan. Teori ini merupakan gabungan dari perspektif bahasa (linguistik), Wacana dan Organisasi.
- Teori interaksionisme simbolik dakwah. Teori interaksionisme simbolik dikemukakan oleh George Herbert Mead dari Universitas Chicago. Prinsip di dalam teori ini adalah terfokus pada bagaimana manusia memaknai tindakan-tindakannya berdasarkan atas interaksi di antara mereka melalui percakapan atau conversasi. Di dalam memaknai tindakan tersebut maka manusia akan memperhatikan terhadap impuls atau rangsangan spontan atau gerak tubuh (gesture) lawan bicaranya, persepsi atau actor mereaksi terhadap rangsangan atau gerak tubuh yang diterimanya, manipulasi atau pengambilan tindakan yang dianggapnya tepat, untuk dilaksanakan. Mind (percakapan di dalam diri individu), self (seseorang melakukan relasi dalam hubungan sosial), I (respon individu kepada orang lain) dan Me (penerimaan diri atas orang lain). Inti teori ini adalah pemahaman manusia atas symbol-simbol perilaku ditentukan oleh interaksi yang dibangunnya. Di dalam kajian dakwah maka yang dapat dilakukan adalah dengan meneliti tentang lambang-lambang komunikasi dakwah yang digunakan oleh individu atau komunitas dalam berinteraksi dengan individu atau komunitas lainnya. Symbol tersebut dapat berupa pernyataan, teks, atau ungkapan yang dibaca atau diterima oleh orang lain dan kemudian dipahami sesuai dengan interaksinya dengan orang lain. Contoh lainnya, kita bisa meneliti ungkapan-ungkapan (sebagai perwujudan symbol) yang menyebabkan seorang da’i begitu menarik banyak orang dan ketertarikan tersebut terbentuk karena interaksi dengan lainnya.
- Teori pertukaran. Mula pertama teori ini dikembangkan oleh George Homans, lalu Peter M. Blau dan Harold Kelly dengan konsepsi bahwa pertukaran akan terjadi manakala dua atau lebih individu memahami perilaku yang ditampilkannya dan memahami pertukaran apa yang dihasilkan dari relasi tersebut. Di dalam konsepsi ini, bahwa setiap relasi sosial mengandung nilai pertukaran, baik yang menguntungkan atau tidak. Jika menguntungkan maka akan berlangsung lama dan jika tidak, maka akan berlaku dalam waktu yang pendek. Jika dikaitkan dengan pesan-pesan dalam perilaku, maka akan terwujud di dalam lambang-lambang yang diketahui maknanya dan akan dipahami apakah lambing-lambang tersebut membawa kemanfaatan atau tidak.
- Teori-teori lain yang bisa dijadikan sebagai basis pengembangan teori ilmu komunikasi dakwah, misalnya adalah Teori Dialektika Rasional yang digagas oleh Michael Bakhtin dan diteruskan oleh Leslie Baxter dan WK. Rawlins. Asumsinya bahwa di dalam kehidupan bersama ditandai dengan adanya ketegangan atau pertentangan dan konflik antar individu dan juga masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya keinginan untuk saling memaksakan kehendak atau keinginan. Di dalam memenuhi kebutuhannya, manusia sering kali mengutamakan kepentingannya sehingga bisa mengganggu terhadap kepentingan orang lain. Di dalam studi dakwah misalnya bisa digunakan untuk memahami tentang aneka konflik sosial yang difasilitasi oleh keinginan pemenuhan kepentingan masing-masing, lalu bagaimana dakwah bisa menjembatani beberapa kepentingan yang berbeda tersebut untuk saling dinegosiasikan.
- Media Effect Theory, memiliki proposisi, bagaimana media mempengaruhi masyarakat dan masyarakat mempengaruhi media. Dependency Theory, mempelajari tentang pengaruh jangka panjang media komunikasi terhadap aundience. Yang dikaji adalah relasi integral antara media, audience dan system sosial. Teori ini dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin DeFleur. Information Seeking Theory, yang mengkaji tentang proses dimana pengguna (users) mengikuti untuk menikmati informasi yang diperlukan dan pemenuhan informasi yang dibutuhkan dengan menggunakan pendekatan fomal atau informal melalui sumber-sumber pelayanan informasi yang akhirnya menjawab kesuksesan atau kegagalan untuk menemukan informasi yang diinginkan.
Tentu masih ada banyak teori yang terdapat di dalam ilmu komunikasi. Teori-teori tersebut telah dikembangkan sedemikian kuat di kalangan ahli komunikasi dalam berbagai madzab pemikiran teoretik, dan kiranya dapat digunakan untuk mengembangkan teori ilmu komunikasi dakwah. Ilmu komunikasi dakwah merupakan studi lintas disiplin, di mana ilmu komunikasi adalah ilmu sosial dan ilmu dakwah adalah ilmu agama. Sebagaimana ilmu-ilmu yang digolongkan lintas disiplin, maka tentu dapat menggunakan teori-teori yang sudah ada untuk mengembangkan disiplin keilmuan ini.
Sebagaimana yang sering saya nyatakan bahwa ilmu dakwah merupakan ilmu yang mengemban tugas tidak hanya menjelaskan dan menggambarkan kenyataan dakwah, akan tetapi juga sekaligus memiliki tugas profetik yaitu mengemban tugas memperbaiki terhadap kehidupan individu dan masyarakat, maka seluruh bangunan teori yang bercorak menjelaskan dan menggambarkan juga harus diubah atau ditambah menjadi tugas profetik dimaksud.
Oleh karena itu yang diharapkan adalah menghasilkan teori-teori profetik, misalnya teori konstruksi sosial profetik, teori stimulus respon profetik, teori uses dan gratification profetik, teori pilihan rasional profetik, teori pertukaran profetik dan sebagainya. Jadi, tugas ilmuwan dakwah adalah memberikan penjelasan dan penggambaran dan sekaligus menemukan solusi yang tepat tentang bagaimana individu dan masyarakat yang ideal tersebut dibentuk dan diwujudkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.