MENCERMATI METODOLOGI ILMU DAKWAH
MENCERMATI METODOLOGI ILMU DAKWAH
Prof. Nur Syam, M.Si
Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya
Saya bersyukur bisa menulis mengenai “Metodologi Penelitian Dakwah, Sketsa Pemikiran Pengembangan Ilmu Dakwah (Ramadlani, Solo, 1990)”. Sayangnya buku ini belum sempat direview untuk memastikan bahwa buku ini masih layak diperbincangkan terutama di era sekarang. Sebenarnya buku ini sudah pernah saya revisi tahun 2005 yang lalu, sayangnya buku yang sudah saya masukkan ke penerbit hilang begitu saja dan yang menyedihkan saya tidak memiliki hard copy atau soft copinya. Sebuah kerugian akademis yang luar biasa.
Buku ini menandai satu era baru penerbitan buku tentang ilmu dakwah, sebab selama ini banyak tulisan yang hanya dicetak menjadi diktat saja dan hanya untuk kalangan terbatas. Dengan diterbitkannya buku ini, maka era publisitas buku menjadi keniscayaan dan bisa dibaca oleh kalangan yang lebih luas. Setelah itu lalu banyak buku tentang ilmu dakwah yang terbit meskipun dalam coraknya sebagai buku pengantar keilmuan.
Sebagaimana yang sering saya paparkan bahwa karya tentang metodologi ilmu dakwah lebih bercorak penelitian kuantitatif. Era tahun 1980-an merupakan era di mana suatu ilmu dianggap ilmiah apabila menggunakan pengukuran dan analisis kuantitatif. Makanya, buku yang saya tulis tersebut juga menggunakan metodologi penelitian kuantitatif. Pada waktu itu belum dikenal, apakah paradigm factor yang baru beberapa tahun kemudian bahwa model penelitian yang mencoba untuk menghubungkan satu factor atau lebih atau satu variabel atau lebih itu bisa dikaitkan dengan paradigm factor sebagaimana dikenal sekarang.
Nyaris semua judul penelitian tentang ilmu dakwah –khususnya di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel—menggunakan metodologi penelitian kuantitatif. Bahkan untuk mendukung metodologi penelitian ini, seorang mahasiswa harus menempuh perkuliahan statistic sebanyak empat satuan kredit semester (sks), statistic deskriptif dan statistic inferensial. Saya pernah dalam beberapa semester mengajar statistic, sehingga prinsip-prinsip uji statistic cukup saya pahami.
Saya sampai pada kesimpulan bahwa ada banyak buku tentang ilmu dakwah, namun demikian sangat sedikit yang membahas mengenai paradigm keilmuan dakwah. Buku-buku itu lebih banyak bercerita tentang apakah dakwah itu, dan bagaimana dakwah ditrasformasikan kepada masyarakat atau komunitas tertentu. Dan yang paling banyak adalah membahas tentang komponen atau subsistem atau factor dakwah seperti subyek dakwah, pesan dakwah, metode dakwah, media dakwah dan efek dakwah. Misalnya adalah karya Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Prenada, 2014).
Pada tahun 1990 saya mendapatkan tambahan pengetahuan metodologi penelitian melalui Proyek Latihan Penelitian Agama (PLPA) kerja sama antara Badan Penelian dan Pengembangan Departemen Agama (Balitbangdepag) dengan Toyota Foundation Jepang dalam satu paket program penelitian ethnografi, yang diasuh oleh Prof. Parsudi Suparlan, PhD., dalam waktu enam bulan. Saya digemblengnya sehingga mendapatkan ilmu baru, metodologi penelitian kualitatif. Saya meneliti “Ethnografi Kehidupan Penganut Tarekat Syatariyah di Desa Kuanyar Mayong Jepara”. Dari penelitian lapangan selama tiga bulan itu, lalu saya terbitkan buku “Tarekat Petani, Fenomenologi Tarekat Syatariyah Lokal” (LKiS, 2014).
Dari proyek ini, maka saya kembangkan di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Dan akhirnya banyak penelitian ilmu dakwah yang menerapkan metodologi penelitian kualitatif. Dan hal ini menandai era baru, penerapan penelitian kualitatif pada IAIN Sunan Ampel, Surabaya, khususnya Fakultas Dakwah. Penelitian kualitatif muncul seperti jamur di musim hujan. Banyak mahasiswa yang tertarik untuk meneliti untuk kepentingan skripsinya dengan metodologi baru, penelitian kualitatif. Ada di antaranya yang meneliti Jamaah tabligh, tarekat, pedagang, kaum bisnis, shalawat wahidiyah, masyarakat Tengger, sampai pewarisan nilai dalam keluarga, dan sebagainya. Rasanya saya masih mengenal nama-nama para pemula penulisan skripsi dengan pendekatan baru, metodologi penelitian kualitatif. Ada di antaranya yang menjadi dosen, pejabat, guru, dan juga pengusaha.
Dengan demikian ada dua arus besar yang terus berkembang sampai hari ini adalah penelitian dengan pendekatan metodologi penelitian kuantitatif dan metodologi penelitian kualitatif. Sampai akhir-akhir ini kecenderungan untuk melakukan keduanya masih terjaga. Namun demikian, juga terdapat yang melakukan penelitian teks atau analisis teks, meskipun jumlahnya tidak banyak. Pilihan yang ketiga ini sangat jarang terjadi. Sebenarnya Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel memiliki professor yang secara spesifik melakukan banyak kajian teks. Prof. Dr. Aswadi menulis dengan pendekatan penelitian teks, dengan judul “Teori dan Tehnik Mujadalah dalam Dakwah, Debat, Diskusi musyawarah Perspektif Al Qur’an”, Surabaya: Dakwah Digital Press, 2017.
Sebagaimana saya ungkapkan, bahwa ada lima paradigma ilmu dakwah berdasarkan pemetaan atas pemikiran para ahli keilmuan dakwah dan juga praktik penelitian yang dilakukan oleh para ahli dan peminat ilmu dakwah. Masing-masing tentu saja dapat dikaitkan dengan metodologi penelitian apa yang relevan dengan paradigma yang mengemuka tersebut.
Ada tiga pendekatan yang bisa digunakan di dalam penelitian dakwah, yaitu: pendekatan kuantitatif, pendekatan kualitatif dan pendekatan mixed methods. Pertama, Pendekatan kuantitatif. Penelitian dengan pendekatan ini bertujuan untuk menjelaskan relasi antar factor atau variabel yang berhubungan satu dengan yang lain. Biasanya dalam bentuk relasi asimetris. Yaitu ada satu atau lebih variabel yang mempengaruhi satu variabel lainnya.
Jika menggunakan siklus Walter Wallace, maka penelitian kuantitatif sebenarnya bergerak dari teori ke teori. Dimulai dengan teori, lalu dilogikadeduksikan akan menjadi hipotesis, lalu melalui instrumentation dilakukan penelitian empiris, lalu melalui scaling and measurement menjadi generalisasi empiris dan melalui logika induksi akan menjadi teori lagi. Begitulah seterusnya perkembangan teori tersebut. Jadi teori akan diuji secara terus menerus untuk menghasilkan teori baru meskipun akhirnya membenarkan terhadap grand theory yang sudah ada. Yang berkembang adalah teori-teori berskala menengah dan kecil, sementara itu grand theory selalu immune dari falsification.
Kedua, Pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu realitas sosial yang terdapat di dalam individu, komunitas atau masyarakat. Tidak sebagaimana pendekatan kuantitatif yang bisa memecah konsep-konsep dalam variabel-variabel dan indicator-indikator variabel, maka penelitian kualitatif bercorak sistemik atau holistic atau menyeluruh dan komprehensif. Ibarat melihat suatu kejadian dengan teropong maka dari realitas yang simple menjadi realitas yang kompleks atau realitas yang kecil menjadi besar atau dari realitas yang sempit menjadi realitas yang luas.
Ciri lainnya dari pendekatan kualitatif adalah untuk memahami proses atau makna. Proses adalah realitas yang sistemik dan holistic, tidak bisa dipisahkan antara satu tahap atau prosesi dengan lainnya. Sedangkan makna adalah memahami apa yang berada di balik tindakan individu. Yang dikaji bukanlah fenomena psikhologis atau kejiwaan akan tetapi adalah ide, gagasan dan pemikiran di balik tindakan individu dimaksud. Tindakan juga terkait dengan kesadaran atau sesuatu yang disadari.
Di dalam praktik penelitiannya, maka terdapat tiga metode pengumpulan data, yaitu metode pengamatan terlibat (participant observation), yaitu mengamati terhadap realitas yang terjadi melalui penelitinya sendiri. Seorang peneliti juga sekaligus sebagai instrument penelitian. Lalu, dapat menggunakan metode wawancara mendalam (in depth interview) yaitu wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada subyek sasaran penelitian tanpa menggunakan pedoman wawancara atau kuesioner. Sebagai instrument penelitian, maka peneliti dapat mengembangkan pertanyaan demi pertanyaan sewaktu penelitian berlangsung.
Kemudian juga menggunakan studi dokumen atau metode documenter, yaitu data sekunder yang sudah dikumpulkan peneliti lain, baik dalam bentuk statistic, karya akademis, tesis, disertasi, atau artefaks. Peneliti dapat menggunakan arsip-arsip atau teks-teks yang berkaitan dengan focus penelitiannya. Sebagai contoh, peneliti akan datang ke kantor kelurahan atau desa untuk mendapatkan data dokumen kependudukan sebagai latar hasil penelitiannya.
Ketiga, pendekatan mixed methods, yaitu penelitian yang menggunakan dua pendekatan sekaligus, yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif sekaligus. Tentu tidak dilakukan secara bersamaan, tetapi berdasar atas urutan waktu. Misalnya penelitian kuantitatif terlebih dahulu dan kemudian penelitian kualitatif. Proses perubahan dari penelitian kuantitatif ke kualitatif atau sebaliknya disebut sebagai trianggulasi atau jembatan antar pendekatan.
Penelitian kuantitatif menghasilan hubungan antar variabel, mana yang berpengaruh atau berkorelasi dan mana yang tidak berpengaruh atau berkorelasi, dan peneliti dapat menentukan mana yang akan dikaji lebih lanjut melalui studi kualitatif. Contoh, ada lima variabel yang dijadikan sebagai variabel bebas dan ada satu variabel terikat. Dari lima variabel tersebut, ada satu variabel yang tidak berpengaruh atau berkorelasi, maka peneliti dapat mempertanyakan mengapa satu variabel ini tidak berpengaruh atau tidak berkorelasi. Dan hal ini memancingnya untuk melakukan penelitian kualitatif menjawab mengapa tidak berpengaruh atau berorelasi.
Bisa juga berangkat dari penelitian kualitatif dan menghasilkan tipologi-tipologi atau hipotesis-hipotesis, lalu hipotesis atau tipologi tersebut kemudian diuji dengan menggunakan penelitian kuantitatif. Dari penelitian tentang kyai, maka menghasilkan tipologi: kyai kampong, kyai panggung, kyai politik dan sebagainya, lalu peneliti berehendak untuk mengujinya dengan penelitian kuantitatif untuk memahami, mana yang lebih acceptable di kalangan masyarakat. Maka dapat dilakukan uji beda tentang akseptabilitas kyai-kyai dimaksud.
Penelitian dakwah dapat dengan paradigma-paradigmanya dapat menggunakan pendekatan penelitian kualitatif atau kuantitatif. Ada paradigm yang hanya dapat didekati dengan penelitian kuantitatif dan ada paradigma yang hanya dapat didekati dengan penelitian kualitatif. Namun demikian juga terdapat paradigma yang dapat didekati dengan dua pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
- Studi-studi dalam paradigm factor tentu merupakan bagian penting di dalam praktik metodologi penelitian kuantitatif. Setiap faktor dakwah (subyek, pesan, media, metode dakwah) memiliki efek pada obyek dakwah. Masing-masing bisa dijadikan variabel-variabel yang lebih kecil cakupan atau indikatornya dan saling direlasikan dengan lainnya. Penelitian ilmu komunikasi dengan metodologi kuantitatif dapat diterapkan untuk penelitian dakwah. Secara structural ilmu dakwah menjadi kerabat dekat ilmu komunikasi dilihat dari unsur, komponen dan subsistemnya.
Jika menggunakan The Bullet Theory dalam ilmu komunikasi, maka dapat dinyatakan bahwa masing-masing unsur atau komponen dakwah tersebut dapat mempengaruhi obyek dakwah sebagaimana peluru yang melesat dari senapan atau anak panah yang melesat dari busurnya. Di antara judul penelitiannya, misalnya adalah “pengaruh Dakwah Ustadz Abdus Shomad melalui media sosial terhadap peningkatan paham keagamaan komunitas media sosial di Surabaya”, “Pengaruh media sosial terhadap kecenderungan berperilaku radikal para pelaku media sosial di Solo”, “Pengaruh metode ceramah melalui youtube terhadap pemahaman tentang jihad pada komunitas youtuber di Yogyakarta”. Jika penelitian korelasional, misalnya “Studi Korelasi antara Usia Kaum Milenial dengan Kecenderungan bersosial media di bidang agama di Semarang”, dan sebagainya.
Penelitian lain, misalnya adalah Rena Latifa, dkk., dinyatakan bahwa pola kognitif dan religiositas memiliki pengaruh terhadap sikap disagreement dalam pemilihan Gubernur DKI, 2017. Efira Nova Kamil, “Sikap Mahasiswa Terhadap Pemberitaan Kekerasan Wartawan Indonesia: Studi Korelasional tentang Hubungan Antara Sikap Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Pembangunan” (STKIP-P) Medan dan Pemberitaan Kekerasan Terhadap Wartawan Indonesia di Metro TV” dan lain-lain.
- Dalam paradigma sistem dakwah, maka dapat menggunakan penelitian kasus (case study). Penelitian kasus bertujuan untuk mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi oleh suatu masyarakat atau komunitas dalam ruang lingkup khusus atau luas dengan menemukan solusi yang tepat atas permasalahan yang dihadapi. Dalam kenyataannya bisa hanya mengungkap satu kasus atau multi kasus. Misalnya penelitian, “studi kasus untuk menangani masalah belajar, sosial dan ekonomi pada anak-anak berkebutuhan khusus”. Selain ini juga penelitian tentang “kebutuhan obyek dakwah dalam pengembangan keagamaan” dan sebagainya.
Paradigma Sistem dapat menggunakan metode penelitian kasus. Misalnya untuk mengetahui perubahan yang terjadi dari keberagamaan obyek dakwah karena sentuhan system secara berkelanjutan dalam proses yang sangat komprehensif. Sebagaimana diketahui bahwa dua unsur penting dalam paradigm system terpenuhi, yaitu problem solving dan proses yang ketat atau komprehensif terlihat di dalamnya.
Penelitian yang termasuk dalam kategori multikasus biasanya diindikasikan dua atau lebih kasus yang dihadapai oleh individu, komunitas atau masyarakat. Tentu saja penelitian seperti ini akan lebih rumit, sebab tidak hanya memerlukan berbagai pendekatan atas solusi masalahnya akan tetapi juga keterlibatan banyak ahli di dalam solusi problemnya. Kasus bimbingan keagamaan, misalnya bisa disebabkan oleh banyak factor, maka setiap factor penyebab tentu harus diselesaikan dengan cara-cara yang berbeda. Bisa jadi misalnya menggunanakan pendekatan humanisme dan behavioralisme sekaligus. Hal ini dapat dilakukan terkait dengan multikasus yang dihadapi oleh obyek dakwah.
- Dalam paradigma developmental, maka dapat menggunakan penelitian penelitian pengembangan atau developmental research, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan atau menemukan perubahan melalui penerapan pola-pola atau model-model dakwah baik yang dilakukan sendiri oleh penelitinya atau pengkajinya maupun sebagai pengamat perubahan.
Penelitian pengembangan bisa dalam waktu jangka panjang (longitudinal), yang mengkaji tentang masalah sosial keagamaan obyek dakwah yang kompleks sehingga membutuhkan waktu panjang untuk menyelesaikannya. Penelitian dilakukan dalam waktu yang panjang dengan sampel yang terbatas, sehingga bisa dipantau perubahan dan perkembangan penyelesaian masalahnya. Penelitian dalam coraknya seperti ini akan menghasilkan problem solving dalam berbagai perspektif, dan kemudian bisa dipilih mana yang paling urgen untuk dijadikan sebagai solusi yang lebih relevan.
Penelitian pengembangan juga bisa dalam waktu pendek (cross-sectional), yaitu melakukan kajian dalam corak variabel yang banyak dalam waktu yang bersamaan sehingga bisa ditarik hasilnya yang memiliki akurasi yang tepat. Penelitian seperti ini membutuhkan banyak sampel, banyak aspek atau perspektif sehingga masalah yang dihadapi oleh masyarakat dapat dicarikan solusinya. Meskipun dalam waktu bersamaan, namun karena cakupan masalah dan sampelnya yang lebih besar, sehingga akurasinya juga dapat dipertanggungjawabkan.
- Paradigm interpretif mengharuskan penggunaan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu realitas sosial yang terdapat di dalam individu, komunitas atau masyarakat. Misalnya seorang da’i dengan dakwahnya dapat diteliti dengan pendekatan penelitian kualitatif, yaitu untuk memahami proses dan makna dakwahnya. Untuk memahami makna dakwahnya tersebut peneliti harus bertanya dan mengikuti dakwah kyai dimaksud dan juga menanyakan kepada jamaah pengajiannya tentang bagaimana sesungguhnya dakwah yang dilakukannya. Demikian pula tentang makna dakwah melalui media sosial, dakwah melalui penerapan dan penguatan tradisi-tradisi masyarakat, dakwah dengan metode bilhal, billisan atau bilqalam dan sebagainya. Yang penting yang ingin digali adalah proses dan makna dakwahnya.
- Paradigma partisipatoris, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pelibatan masyarakat dalam suatu aktivitas dan bagaimana hasilnya. Penelitian seperti ini biasanya menggunakan empat prosedur yang lazim digunakan untuk community development. Misalnya, bagaimana menemukan masalah sosial keagamaan dalam suatu masyarakat melalui need assessment, lalu menganalisis situasi sosial budaya dan politiknya, kemudian menganalisis alternatif-alternatif yang dapat dipilih, lalu memilih mana program yang paling urgent dilakukan, melaksanakan program dan kemudian melakukan evaluasi untuk mengetahui keberhasilan atau kegagalannya. Metode penelitian Participatory Action Research (PAR) sudah banyak digunakan oleh para penggerak perubahan sosial kemasyarakat di kalangan NGO atau LSM namun demikian sekarang sudah diadopsi oleh perguruan tinggi dengan nama dan semangat yang bermacam-macam.
Paradigm System dan Paradigma Developmentalisme hakikatnya dapat menggunakan dua pendekatan, baik kuantatif maupun kualitatif. Paradigm system yang sangat kuat dari sisi keterkaitan antar subsistem dan prosesnya tentu saja bisa diteliti dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Proses dan kaitan antar subsistem yang bercorak integrated tentu sangat memungkinkan penggunaan pendekatan kualitatif.
Sementara itu, paradigm deveopmentalisme dengan penelitian yang memerlukan waktu panjang untuk mengamati dan memahami perubahan-perubahan dan penerapan model-model inovatif juga dapat penggunakan pendekatan kualitatif. Jadi tetap ada pilihan untuk melakukan penelitian di dalam paradigm ini. jika ingin mengukur hasil yang dicapai maka sebaiknya menggunakan pendekatan kuantitatif dan jika ingin memahami bagaimana perubahan terjadi, maka sebaiknya menggunakan pendekatan kualitatif.
Wallahu a’lam bi al shawab.