Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BANGUN LITERASI DAN AKSI KEBERSIHAN

BANGUN LITERASI DAN AKSI KEBERSIHAN

Setiap pagi –jika tidak ada udzur yang mendasar—dapat dipastikan saya berjalan kaki dari rumah menyusuri depan kampus UIN Sunan Ampel Surabaya –kampus yang megah—lalu kembali ke rumah. Perjalanan dari rumah ke rumah tersebut kira-kira sebanyak 4200 langkah. Ketika usia sudah merambat senior –untuk menyebut tua—maka diharuskan setiap hari berjalan kaki kurang lebih 3000 langkah. Olah raga yang keras seperti badminton atau tennis lapangan sudah tidak dianjurkan karena terlalu berat bagi orang yang sudah berusia di atas 60 tahun.

Saya tentu bersyukur masih dikaruniai kesehatan oleh Allah swt. Aktivitas pasca kegiatan sibuk di Jakarta –sebagai pejabat structural—masih tetap seperti biasa: mengajar, menulis dan memberikan ceramah atau pelatihan sesuai dengan bidang yang selama ini saya tekuni. Saya kira di usia yang sudah merambah senior itu aktivitas untuk berkarya tetap harus dipertahankan. Makanya, tulisan-tulisan saya masih bisa dibaca khalayak yang suka membaca. Prinsip “Saya Menulis, Saya Ada” tetap menjadi pedoman selama masih dikaruniai kemampuan.

Di dalam kegiatan jalan pagi itu, ada fakta yang terkadang membuat saya merenung, yaitu “kecenderungan pada masyarakat kita untuk membuang sampah sembarangan. Di jalan-jalan yang saya lewati selalu saja saya jumpai sampah yang dibuang orang secara sembarangan”. Padahal program Pro-Yustisia sudah didengungkan oleh pemerintah sekian tahun lamanya, bahkan juga di banyak tempat terdapat regulasi bahwa “bagi pembuang sampah sembarangan akan dikenai denda yang sangat tinggi dalam ukuran rupiah”, namun demikian kecenderungan untuk membuang sampah sembarangan juga tidak kunjung terkurangi.

Di Jalan A. Yani, jalan protokol yang sangat ramai, di depan kepolisian Daerah Jawa Timur, dan UIN Sunan Ampel Surabaya, sesungguhnya sudah disediakan banyak tempat sampah. Ada empat atau lima tempat pembuangan sampah. Namun yang terjadi adalah sebuah ironi. Masyarakat membuang sampah plastic –botol plastic atau gelas plastic dan lainnya—di tempat sembarangan. Bahkan jarak antara tempat pembuangan sampah dengan sampah yang dibuang oleh masyarakat itu hanya berjarak dua meter saja. Masyarakat kita tidak tergerak untuk membuang sampah di tempatnya. Inilah yang merupakan ironi di dalam kehidupan masyarakat kita.

Kesadaran membuang sampah pada tempatnya itu sangat rendah. Masyarakat tetap saja mengabaikan tata cara membuang sampah yang benar. Rupanya membuang sampah sembarangan telah menjadi tradisi di dalam kehidupan masyarakat. Mungkin masih diingat beberapa bulan yang lalu terdapat seekor ikan paus yang mati dan di dalam perutnya terdapat sangat banyak sampah plastic akibat masyarakat kita membuang sampah itu di pantai. Di kala air pasang, maka sampah dengan berbagai macam jenisnya itu terbawa ke laut dan akibatnya mencemari laut. Bahkan disinyalir di perairan laut kita sudah terdapat pulau-pulau plastic sebagai akibat tindakan permissive masyarakat untuk membuat sampah plastic sembarangan.

Memang terdapat pasukan kuning –pegawai kebersihan—yang setiap hari membersihkan Jalan A. Yani di Surabaya. Ada dua orang yang setiap pagi menyapu jalan dan membersihkannya sehingga kebersihan tetap terawat. Namun seandainya masyarakat kita sudah memiliki literasi kebersihan, saya kira kita sudah membantu pemerintah di dalam menjaga kebersihan lingkungan kita.

Sambil jalan itu saya memungut plastik-plastik yang bertebaran di jalan A. Yani. Saya masukkan botol-botol dan gelas-gelas plastik itu dari jalanan. Bukan untuk mencari popularitas, akan tetapi sebagai tanggung jawab sebagai warga negara dan umat Islam untuk menjaga kebersihan lingkungan. Di antara kita harus ada yang peduli terhadap lingkungan ini. Dan kitalah yang seharusnya menjadi agen bagi kebersihan lingkungan kita.

Umat Islam sesungguhnya memiliki kaidah yang sangat baik. Dan saya kira sudah kita hafalkan sewaktu kita belajar di lembaga pendidikan menengah. Pedoman itu berbunyi: “an nadhofatu min al iman”. Yang artinya kurang lebih: “kebersihan adalah sebagian dari iman”. Jadi ketika kita membersihkan lingkungan maka sebagai penanda kita telah beriman kepada Allah swt. Saya kira kita juga telah menghafalkan satu kaidah lain: inna Allaha jamilun yuhibbu al jamal” (HR. Muslim), yang artinya kurang lebih: Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan”. Kebersihan adalah bagian dari keindahan. Jika kita melihat terhadap lingkungan yang bersih, maka hati kita menjadi senang. Dan itu merupakan indikator keimanan.

Di dalam konteks ini yang dibutuhkan adalah menyatunya kaidah atau teks dengan kenyataan empiris. Jika kita sudah memiliki pedoman tentang kebersihan, maka bagaimana pedoman itu dapat menjadi kenyataan di dalam kehidupan. Di dalam bahasanya Clifford Geertz, maka ada pattern for behavior dan ada pattern of behavior. Ada pedoman sebagai pola bagi tindakan dan ada kenyataan empiris dari tindakan. Tugas kita adalah menjembatani pedoman dengan kenyataan tersebut.

Saya kira agar kita menjadi muslim yang kaffah tentu tidak hanya soal pengabdian kita kepada Allah yang harus baik dan relasi sesama manusia yang juga harus baik, akan tetapi juga bagaimana kita menjaga alam ini –tentu saja termasuk lingkungan—agar tetap berada di dalam keseimbangan. Dan menjaga kebersihan terhadap lingkungan dari sampah-sampah plastik adalah bagian dari penanda keberislaman kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..