MEDIA SOSIAL DAN DAKWAH
MEDIA SOSIAL DAN DAKWAH
Selama ini banyak yang menyatakan bahwa media sosial (medsos) itu memiliki kemadharatan yang lebih banyak dibanding kemanfaatannya. Pandangan ini tentu saja tidak salah mengingat –terutama di era pilkada atau pilpres—maka media sosial dijadikan sebagai sarana yang ampuh di dalam menggiring opini masyarakat tentang apa yang diinginkannya.
Media sosial sering dikaitkan dengan hoax, informasi bohong, pembunuhan karakter, ujaran kebencian dan sebagainya. namun sesungguhnya medsos memiliki kapasitas yang luar biasa untuk dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan kebaragamaan masyarakat. Misalnya ketenaran Ustadz Abdus Shomad (UAS) adalah didorong oleh penggunaan media sosial sebagai sarana untuk mendakwahkan Islam sesuai dengan paham keagamaannya. Selain beliau memang memiliki kapasitas sebagai da’i disebabkan beliau adalah alumni Timur Tengah, beliau juga memiliki keberanian dalam berbeda dengan pandangan ulama atau tokoh agama lainnya, terutama yang terkait dengan relasi antar umat beragama.
UAS memang didukung oleh team teknologi yang baik. Suatu team yang terdiri dari anak-anak muda untuk menyebarkan konten ceramah UAS dengan cara memilah mana yag disebarkan relatif utuh melalui editing secukupnya dan ada yang dipilah menjadi meme, infografis, dan sebagainya. Begitu hebatnya team media sosial itu, misalnya pernah di media sosial diunggah foto yang menyamakan wajah UAS dengan Panglima Sudirman.
Beberapa hari yang lalu, Senin, 23/09/2019, saya dan beberapa kawan (Dr. Chabib Musthofa, Yusrol Fahmi, M.Si, Ning Izmi, Alin, Zamzami, Ilham, Yero, Rizal dan Mukhlis mendiskusikan tentang bagaimana kita memasuki media sosial untuk membangun konten Islam wasathiyah. Di dalam diskusi itu, salah satunya bagaimana kita harus juga terlibat di dalam hiruk pikuk medsos dengan tujuan untuk mengembangkan konten Islam yang ramah dan juga mencerahkan. Targetnya tentu tidak semuluk-muluk misalnya untuk menyaingi informasi dari pelaku medsos lainnya, akan tetapi tentu untuk memberuikan gambaran bahwa ada alternatif lain untuk melihat Islam dengan pemahaman dan pengamalan yang lebih mengedepankan pada dimensi moderatisme.
Saya sampaikan ada tiga hal penting untuk dibahas di dalam forum kecil ini, yaitu: Pertama, bagaimana kita bisa menjadi team yang kuat untuk menyebarkan pesan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Konsepsi Islam rahmatan lil ‘alamin itu sudah sangat jelas, akan tetapi jangan sampai hilang di tengah kerumunan medsos yang menyebarkan kontra hal ini. Dewasa ini begitu banyak konten agama yang dijadikan sebagai sarana untuk memperkuat kelompok, paham dan juga keyakinan akan kebenarannya sendiri dalam menafsirkan agamanya. Kedua, kita harus bergerak untuk membuat konten-konten informasi keagamaan dalam berbagai variannya, sehingga ada alternatif lain bagi para penggemar medsos untuk memahami bahwa ada tafsir lain tentang agama dan juga diyakini bahwa tafsir adalah sesuatu yang bisa sangat variatif karena berisi “pemikiran” manusia tentang agamanya. Ketiga, kita sedang berhadapan dengan generasi milenial yang di dalam banyak hal berpikir sangat instan dan tidak suka pada hal-hal yang rumit, sehingga untuk memahami sesuatu cukup dengan membaca “sekejap” dan kemudian dianggap sebagai kebenaran. Mereka tidak memandang apakah yang berbicara itu tokoh agama atau bukan, yang penting pesan tersebut bisa memenuhi keinginannya dan dengan mudah bisa diperolehnya. Cara berpikir instan ini yang saya kira harus menjadi perhatian kita semua, terutama orang-orang yang sadar betapa medsos sesungguhnya bisa dijadikan sebagai sarana untuk dakwah Islam.
Menanggapi hal ini, Dr. Chabib Musthofa memberikan paparannya, bahwa dewasa ini memang media sosial sudah sedemikian rumitnya dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat. Coba jika dilihat lalu lintas informasi di media sosial, maka dapat menggambarkan tentang bagaimana tingkat kompleksitas dan lalu lalang informasi yang menyebar tanpa bisa dihentikan oleh siapapun. Makanya, harus segera dimulai untuk mengembangkan konten-konten sebagaimana disampaikan oleh Pak Professor tadi. Kita harus bergerak dan jangan hanya menjadikan hal ini sebagai wacana saja. Coba dilihat di media sosial sudah banyak konteks mengaji ilmu sosial, mengaji filsafat, mengaji Islam rahmah, tetapi juga terdapat konten-konten yang menyesatkan dan membuat perpecahan. Lalu lalang berita di medsos sudah dalam tahapan “mengkhawatirkan”. Makanya, harus diupayakan untuk membuat konten-konten informasi keislaman, melalui meme, infografis, speedwriting, dan bahkan vlog-vlog yang isinya tentang Islam ramah dimaksud. Bukannya, Pak Prof. Nur Syam sudah memilki “Nur Syam Center”, yang saya kira bisa dijadikan sebagai salah satu medium bersama untuk mengembangkan informasi damai dimaksud.
Ning Izmi juga menyampaikan bahwa NU juga sudah melakukan pelatihan tentang literasi digital dan menjadikan media sebagai sarana untuk menyebarkan islam yang rahmatan lil ’alamin. Yang kita akan lakukan kiranya memiliki kesamaan visi dengan organisasi-organisasi wasathiyah yang telah ada di Indonesia. senada dengan ini Yusrol juga menyampaikan bahwa sebenarnya Prof. Nur Syam sudah memiliki banyak ceramah atau wawancara yang intinya terkait dengan bagaimana membangun umat Islam yang moderat dan sudah dikategorikan, jadi tinggal kita yang harus bekerja untuk kepentingan tersebut.
Kita berkesepakatan bahwa kita harus menjadikan medsos sebagai sarana untuk pesan kebaikan. Meskipun kita tidak bisa mengimbangi derasnya arus di dalam media sosial tersebut, tetapi yang saya lakukan itu penting bahwa kita harus berbuat. Kelemahan kita adalah pada membangun tim yang kuat dan solid. Makanya, saya setuju dengan pandangan Dr. Chabib bahwa kita sudah saatnya bergerak.
Wallahu a’lam bi al shawab.