GENERASI QUR’ANI DI ERA INDUSTRI 4.0
GENERASI QUR’ANI DI ERA INDUSTRI 4.0
Sebanyak 40 orang pimpinan cabang Tilawati dari seluruh Indonesia mengikuti program pertemuan nasional yang dilakukan oleh Pimpinan Pesantren Al Qur’an Nurul Falah Ketintang Surabaya. Hadir di dalam acara ini adalah ketua Yayasan Pesantren Al Qur’an Nurul Falah, Ustadz Umar Zaini, dan segenap pimpinan Pusat Tilawati di Surabaya, 22 September 2019. Pesantren Al Qur’an Nurul Falah Ketintang inilah yang menciptakan Metode Belajar Al Qur’an Tilawati, yang sekarang sudah menjadi trend di Indonesia.
Saya tentu sangat bersyukur bertemu dengan orang-orang hebat yang selama ini mengabdikan dirinya untuk memasyarakatkan Al Qur’an di dalam kehidupan sosial. Sebagaimana diketahui bahwa Metode Tilawati adalah metode belajar Al Qur’an yang sudah memasyarakat di Indonesia. Terbukti hampir seluruh propinsi di Indonesia terdapat cabang Tilawati, misalnya dari Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan tentu saja di Jawa. Selain saya, yang menjadi narasumbernya adalah Prof. Masdar Helmy, PhD, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya.
Sebagaimana biasanya, saya menyampaikan tiga hal yaitu: pertama, tentang tantangan umat Islam di dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi yang sangat luar biasa. Kita sedang berada di dalam suatu era yang “nggegirisi” berupa era perang media atau yang biasa disebut sebagai cyber war. Yaitu perang bukan bersifat fisik sebagaimana di masa lalu, akan tetapi perang melalui media sosial. Kita berada di dalam era yang orang bisa melakukan tindakan yang baik dan dan buruk melalui media. Ada ujaran kebencian, ada pembunuhan karakter dan ada kebohongan public yang luar biasa di media massa. Akan tetapi di media sosial juga terdapat dakwah, nasehat keagamaan dan aplikasi belajar al Qur’an dan sebagainya.
Menurut saya bahwa para pimpinan Cabang Tilawati harus memeiliki kecerdasan media atau literacy media. jangan mudah percaya terhadap berbagai ungkapan di media. Check and recheck atau saring sebelum sharing. Janganlah kita menjadi penyebar hoax yang sungguh akan sangat merugikan masyarakat kita.
Kedua, sebagai akibat dari era cyber war tersebut, maka juga orang bisa digiring untuk memahami agama sesuai dengan yang dikehendaki oleh penyebar informasinya. Ada sekelompok komunitas yang dengan kekuatan medianya dapat mempengaruhi terhadap opini public. Dan yang menyedihkan mereka menjadikan agama sebagai komoditas untuk mempengaruhi orang untuk memiliki visi yang sama dengannya. Tafsir agama yang cenderung tunggal tersebut disebar melalui media sosial dan karena tingkat literasi media yang rendah, maka banyak yang terpengaruh. Dewasa ini banyak sebaran informasi seperti meme, infografis, speed writing dan sebagainya yang terkadang mengusung isu-isu yang menyesatkan atau hoax. Para pimpinan cabang tilawati harus menjadi agen untuk menyadarkan masyarakat tentang pengaruh negative media sosial, lalu mengisinya dengan informasi yang positif.
Ketiga, tentu tidak ada keraguan untuk mendidik masyarakat Indonesia dengan Al Qur’an, sebab tidak ada yang menyangsikan tentang kebenaran al Qur’an. seperti Maurice Buchaille, Leopold von Weiss, Toshihiro Isutzu, dan lain-lain. Ada yang menjadi Muslim dan ada yang tidak. Lalu, Al Qur’an yang terjaga keasliannya, semenjak Nabi Muhammad saw sampai sekarang. Para penghafal Al Qur’an adalah para penyelamat keaslian Al Qur’an.
Selain hal ini, Penulisan Al Qur’an adalah penyelamatan Al Qur’an. Para ahli tafsir dan para pengkaji Al Qur’an adalah penyelamat Al Qur’an. Semua dari mereka adalah orang yang bekerja karena takdir Allah semata untuk menjaga autentisitas Al Qur’an.
Dewasa ini ada kesadaran untuk mempelajari dan mengkaji Al Qur’an semakin banyak. Ada para ahli yang mengkhususkan untuk mengajar dan mendalami Al Qur’an. Ada individu yang mengkhususkan diri menghafal Al Qur’an. Dahulu kita heran para penghafal Al Qur’an di Timur Tengah dalam usia 7 atau 8 tahun. Kita dahulu heran orang bisa hafal al Qur’an dalam waktu 2 atau 3 tahun. Sekarang ada banyak anak Indonesia yang hafal al Qur’an dalam usia 7 atau 8 tahun. Sekarang ada lembaga pendidikan al Qur’an yang khusus belajar hafalan Al Qur’an dalam waktu 5 bulan
Pendidikan Al Qur’an sudah sangat memasyarakat. Banyak lembaga tahfidz yang berkembang di Indonesia. Ada Pesantren, TPQ/TPA, sekolah, madrasah, organisasi, individu dan sebagainya yang berfokus untuk mengajarkan al Qur’an. Ada masjid, mushalla, televisi dan radio serta media sosial yang mengkhususkan diri untuk mengkaji al Qur’an. Di dalam konteks ini, nuansanya mencapai derajat “memasyarakatkan al Qur’an dan “mengalQur’ankan masyarakat”. Al Qur’an menjadi program massive di tengah masyarakat.
Saya berasumsi, dengan semakin banyaknya pengkaji, penghafal dan pengamal Al Qur’an, maka suatu negara bangsa akan semakin baik dan berkualitas. Saya berpandangan bahwa arah ke depan Indonesia adalah dengan generasi Qur’ani. Bisa dibayangkan para politisinya hafal Al Qur’an, para pejabatnya hafal Al Qur’an, para staffnya paham al Qur’an, para pengusahanya mencintai al Qur’an dan masyarakatnya juga menyayangi al Qur’an. Jika seperti demikian, maka puncaknya ialah negara yang aman dan damai, penuh kesejahteraan dan kebahagiaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.