Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBAHAS SOSIOLOGI TRANSENDENTAL

MEMBAHAS SOSIOLOGI TRANSENDENTAL

Prof. Dr. Nur Syam, MSi (Founder Friendly Leadership Training)

Diskusi buku yang diselenggarakan di Mushalla Al Ihsan, 24/08/2019, terasa istimewa, sebab yang hadir adalah Narasumber yang kompeten untuk membahas karya ilmiah, sebagaimana pandangan kaum akademis. Saya sungguh merasa terhormat bahwa yang menghadiri bedah buku ini adalah Dr. Moh. Zein, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan, Khazanah Keagamaan dan Pengembangan Manajemen Kelembagaan pada Balitbangdiklat Kementerian Agama, seorang akademisi yang kemudian berkarir di birokrasi Kementerian Agama. Dan yang kedua, ialah Dr. Ali Rohmat, kepala Biro Perencanaan pada Kementerian Agama, yang juga penulis buku-buku tentang Haji. Bukunya tentang Manajemen Haji saya kira sangat memadai bagi bacaan akademik di UIN atau IAIN. Dan yang ketiga adalah  Dr. Abdul Halim, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Acara bedah buku ini dipandu oleh Dr. Chabib Musthafa, murid saya yang sedang naik daun dalam kiprah akademis dan juga birokrasi kampus. Acara ini dihadiri oleh sejumlah mahasiswa dan juga warga di sekitar Mushalla al Ihsan, yang baru didirikan sekitar tiga bulan yang lalu. Hadir antara lain, Dr. Syamsul Bahri, Drs. Rijalul Faqih, MM., Chalil Umam, MPdI., Pak Rangga dan kawan-kawan dari Bank Jawa Timur Syariah, Yusral Fahmi, MSi (penyelanggara Bedah Buku dari Darul Qur’an), Rusmin, MPdI., Rahmat Lubis, MM, Pak Yudi, Pak Tomi, Pak Hardi dan lainnya.

Sebagai narasumber, saya menyampaikan tiga hal, yaitu: Pertama, tentang posisi buku ini. Terus terang buku ini bukanlah buku akademik yang ketat dan berbasis pada pengalaman penelitian yang rumit dan mendalam. Buku ini merupakan refleksi tentang “Ramadlan” yang saya tulis dan dibantu oleh beberapa kawan untuk menulisnya. Ada tulisan yang merupakan refleksi, dan ada tulisan yang berisi content ceramah dan tulisan yang menggambarkan tentang hal itu dari sisi empiris.

Pada tahun 2016 yang lalu, saya bernadzar bahwa selama bulan puasa saya akan menulis setiap hari, dan Alhamdulillah nadzar tersebut terpenuhi dan kemudian dalam rentang waktu 2014-2019, saya menulis tentang “Hari Raya” di Indonesia yang unik dan menarik. Tidak hanya bagi akademisi atau penulis ilmiah popular, tetapi juga para penulis luar negeri yang suka mencermati “keberagamaan” di Indonesia. Tulisan-tulisan inilah yang kemudian saya bukukan, sehingga isinya merupakan refleksi tentang puasa dari sisi theologis, sosiologis dan budaya.

Jadi, jangan dibayangkan bahwa buku ini adalah buku akademis yang sophisticated, yang rumit dan jelimet, akan tetapi lebih merupakan buku refleksi yang berisi tentang kesan, pengalaman dan dunia empiris tentang puasa yang sehari-hari dilakukan oleh umat Islam dan juga tradisi-tradisi di sekelilingnya. Mungkin akan lebih tepat disebut sebagai “Sosiologi Reflektif”, namun saya lebih suka menggunakan istilah “Sosiologi Transendental”, sebab yang dikaji ialah persoalan theologis yang hidup di dalam diri manusia. Puasa adalah ajaran theologis yang hidup dalam ruang kemanusiaan, dan kemudian menghasilkan pengalaman sosiologis kemanusiaan maupun tradisi hari raya.

Kedua, mengapa puasa itu menarik dikaji. Ada tiga alasan, yaitu: alasan teologis, sosiologis dan budaya. Puasa memang merupakan ibadah yang khas dan juga menghasilkan perilaku yang khas. Puasa menjadi sarana yang sangat efektif untuk beribadah dalam “penebusan” atau “pengampunan” atas kekhilafan, kesalahan dan dosa. Ada dua jenis dosa bagi manusia, yaitu dosa karena lalai menjalankan ibadah kepada Allah dan dosa kepada sesama manusia. Dua-duanya bisa diselesaikan pada bulan ramadlan dan syawal.

Bulan puasa adalah Bulan diturunkannya Al Qur’an. Bulan Dilipatgandakan pahala bagi umat Islam yang melakukan kebaikan. Bulan penuh kerahmatan. Bulan penuh keberkahan. Bulan penuh ampunan. Bulan di mana-mana orang berlomba-lomba untuk beribadah. Bulan banyak lantunan ayat-ayat al Quran, banyak ceramah, kajian dan pendalaman ajaran agama. Banyak orang berdzikir, I’tikaf dan taqarrub ila Allah. Banyak orang melakukan muhasabah. Banyak orang melakukan amal perbuatan yang bertujuan “menyenangkan” Allah. Banyak shadaqah dan infaq yang dilakukan oleh umat Islam. Banyak doa berkumandang dari rumah, mushalla, masjid dan bahkan perkantoran. Banyak yang ingin tidak hanya memperoleh ampunan Allah tetapi juga kemaafan Allah kepada hambanya. Tidak hanya masjid yang ramai tetapi juga makam auliya, mall dan tempat perbelanjaan. Semuanya dilakukan untuk memperoleh ridha Allah dan kecintaan Allah. Ada malam lailat al qadar. Puasa memiliki sejumlah makna di dalam kehidupan umat.

Secara sosiologis, Puasa merupakan ajaran yang paling tua dalam sejarah agama-agama. Puasa sebagai bentuk dekonstruksi fisik. Pembalikan waktu makan bisa berakibat kesehatan, pendidikan dan kepekaan sosial. Puasa memiliki makna agar umat Islam memiliki kepedulian, kepekaan, solidaritas dan empati terhadap orang lain. Puasa dapat menjadi instrumen untuk mengasah kepekaan rational intelligent. Puasa dapat menjadi instrumen untuk mengasah emotional intelligent. Puasa dapat menjadi instrumen untuk mengasah social intelligent. Puasa dapat menjadi instrumen untuk mengasah spiritual intelligent

Secara kebudayaan, puasa dan hari raya menjadi arena untuk pualng kampong (Pulkam). Mudik, silaturrahim, kunjungan rumah dan sebagainya. Untuk pulkam, mudik, dan lain-lain itu diperlukan waktu, biaya dan tenaga ekstra sebab menempuh perjalanan panjang. Pulkam atau mudik menjadi ukuran seseorang dalam kehidupan bersama kolega, kerabat dan masyarakat lokal. Pulkam dan mudik adalah budaya khas Nusantara yang tidak dijumpai di negara-negara lain. Mulai dari rakyat jelata, birokrat, pejabat bahkan presiden juga merindukan tradisi ini.

Tradisi mudik, pulkam dan silaturrahim telah menginstitusional di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.Yang menikmati tradisi ini bukan hanya umat Islam tetapi juga umat beragama lain. Tradisi silaturrahim telah menjadi budaya Indonesia. Tradisi ini akan terus berlangsung di tengah perubahan sosial apapun.

Ketiga, puasa merupakan bulan syiar agama, di mana seluruh media televise, radio, media sosial, masjid, mushalla, dan lembaga pemerintah atau institusi sosial keagamaan menyelenggarakan acara-acara keagamaan yang sangat dinamis. Oleh karena itu, kita bisa memastikan bahwa bulan puasa merupakan bulan yang di dalamnya banyak terjadi peristiwa keagamaan, peristiwa sosial bernuansa agama dan bahkan juga tradisi berbalut agama.

Walllahu a’lam bi al shawab.

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..