MENGEMBANGKAN ISLAMIC STUDIES MULTIDISIPLINER
MENGEMBANGKAN ISLAMIC STUDIES MULTIDISIPLINER
Prof. Dr. Nur Syam, M.Si (Founder Friendly Leadership Training)
Saya diminta oleh Direktur Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Noorhaedi, untuk membimbing dan sekaligus menguji promovendus, Irfan Tamwifi untuk ujian terbuka program dokror Islamic studies. Selaku penguji adalah Prof. Dr. Noorhaedi, Prof. Dr. Iskandar, Prof. Dr. Machasin, Prof. Dr. Siswanto Masruri, Prof. Dr. Dudung Abdurahman, Dr. Lathiful Khuluq, dan Dr. Moch. Nur Ichwan. Ujian diselenggarakan di Ruang Ujian terbuka PPS UIN Sunan Kalijaga, 13/09/2019. Hadir juga dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Ampel, Dr. Maliki Abi Tholhah dan Dr. Syamsul Maarif.
Di dalam memberikan pidato, sebagai promotor, saya menyampaikan tiga hal, yaitu: pertama ialah ucapan selamat kepada doktor baru, Dr. Irfan Tamwifi, yang pada hari ini menyelesaikan ujian terbuka di hadapan para penguji. Selamat kepada keluarganya juga, yang dengan telaten mensupport untuk keberhasilan Dr. Irfan Tamwifi di dalam menyelesaikan program pendidikannya. Saya tahu bahwa untuk mencapai program doctor ini, ternyata tidak mudah. Cukup panjang waktu penyelesaiannya. Saya teringat bahwa Dr. Irfan Tamwifi ini menempuh ujian tertutup sampai 3 kali. Bukan tidak lulus tetapi oleh promotor terdahulu diminta untuk mengganti judul dengan judul baru dan itu artinya harus menulis ulang karya akademisnya. Sampai akhirnya harus mengganti promotor. Semula saya adalah co-promotor dan akhirnya saya diminta untuk menjadi promotor dan dibantu oleh Prof. Noorhaedi untuk membantu menyelesaikan disertasi ini. Cukup panjang waktunya jika dihitung dari No. Induk Mahasiswanya, yang diawali dengan angka 99. Jadi artinya Dr. Irfan Tamwifi ini sudah menjadi mahasiswa program doktor semenjak tahun 1999. Tetapi hari ini semua selesai dan semua merasa berbahagia.
Kedua, saya merasa berbangga sebab Dr. Irfan Tamwifi ini telah terlibat di dalam mengembangkan program integrasi ilmu. Sebagaimana diketahui bahwa jika orang bicara tentang pengembangan ilmu, maka rujukannya ialah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebelum yang lain-lain mengembangkannya, maka UIN Sunan Kalijagalah yang pertama mengembangkan program integrasi ilmu sebagai distingsi bagi pengembangan keilmuan di Universitas Islam Negeri. Dengan konsepsi integrasi dan interkoneksi, maka UIN Sunan Kalijaga menjadi barometer bagi pengembangan distingsi tersebut. Ilmu agama bisa berdialog bahkan bisa berintegrasi dengan sains dan teknologi.
Dr. Irfan Tamwifi di dalam studinya ini menulis tentang “Nahdlatul Ulama: Gerakan Tradisi dan Modernitas” yang menggunakan pendekatan “antropologi sejarah Keislaman.” Dr. Irfan Tamwifi tidak hanya mengembangkan studi keislaman dengan pendekatan lintas bidang, tetapi multidisiplin, yaitu: “antropologi, sejarah dan keislaman”. Antropologi sebagaimana diketahui adalah rumpun ilmu sosial, sejarah adalah rumpun humaniora dan institusi keislaman adalah rumpun ilmu agama. Jadi saya kira ini adalah bagian dari upaya untuk mengembangkan lebih lanjut tentang integrasi ilmu dimaksud. Jika di dalam ruang seminar, symposium dan sebagainya pembicraan tentang integrasi ilmu ini agak “menurun” akhir-akhir ini, akan tetapi kajian terhadap integrasi ilmu justru berada di dalam kajian di disertasi atau jurnal-jurnal ilmiah. Suatu hal yang saya kira harus diapresiasi sedemikian rupa.
Dr. irfan Tanwifi di dalam studinya ini banyak melalukan kritik terhadap NU secara institusional. Misalnya dinyatakan bahwa secara structural NU memang telah mengalami perubahan, misalnya dengan mengadaptasi orang-orang NU professional dan tidak hanya bertumpu pada NU genealogis atau dzurriyah Nyai-Kyai besar. Namun demikian, di dalam relasi kuasa budaya, NU masih tetap menggunakan genealogi kekyaian sebagai basis kekuasaannya. Tradisi NU untuk terus menerus mempertahankan kekuasaan budayanya di tengah gerakan-gerakan sosial yang terus berkembang.
Di sisi lain Dr. Irfan Tamwifi juga mengangkat konsep “kamuflase kebudayaan”, yaitu kesenjangan antara elit NU dengan masyarakat, di mana elitnya sudah berbicara dalam level dunia internasional, sementara itu warga NU masih bergulat dengan tradisi-tradisinya seperti tahlilan, yasinan, dzibaan dan sebagainya. Misalnya elit NU sudah membicarakan tentang ekonomi kerakyatan dan sebagainya, akan tetapi warga NU dan elit lokal NU tidak tergerak untuk mengikutinya.
Secara tipologis, NU juga bisa dipilah dalam tiga kategori, yaitu: konservatif-pragmatis, yang ditandai dengan upaya untuk mempertahankan tradisi-tradisi keagamaan dalam relasinya dengan gerakan modernis lainnya. Neo-tradisionalis, masuknya NU dalam dunia politik, baik NU sebagai partai politik, PPP dan kembali ke khittah menandai satu era baru bahwa NU bermain secara lebih luas tetapi tetap mempertahankan tradisinya sebagai institusi pengusung Islam tradisional. Lalu, Post-Tradisionalis ditandai dengan kemajuan-kemajuan NU dalam meraih pengembangan baik dari sisi SDM, Institusi pendidikan maupun pengembangan institusi ekonomi dan kesehatan. Tetapi di dalam konteks keagamaan tetap saja mempertahankan tradisi agama yang bercorak tradisional. Jadi NU sebenarnya sudah modern dalam konteks organisasi karena sudah menerapkan kepemimpinan legal formal, namun tetap memelihara tradisi budaya kyai, meskipun juga akhirnya NU bisa melahirkan elit-elit baru yang tidak memiliki basis genealogi kekyaian yang sangat kental.
Ketiga, Dr. Irfan Tamwifi harus terus menulis dan meneliti, sebab hakikat dosen itu adalah dunia penulisan. Oleh karena itu jangan jadikan doktor sebagai akhir karir pendidikan, tetapi justru menjadi awal karir kebangkitan. Tetaplah menulis agar kita terus ada. Karena menulis kita ada. Dalam bahasa Latin disebutkan “Verba Volant Scripta Manen”, jika dibicarakan akan hilang, jika ditulis akan abadi.
Jadi, semua doctor harus meneliti dan menulis, harus terus eksis di dalam dunia karya akademik maupun nonakademik agar dunia terus mengenal kita sebagai akademisi yang produktif.
Wallahu a’lam bi al shawab.