APARAT SIPIL NEGARA HARUS MENCINTAI NEGERI SENDIRI
APARAT SIPIL NEGARA HARUS MENCINTAI NEGERI SENDIRI
Saya diberi kesempatan oleh Pak Dr. Moh. Toha, Kabadiklat Balitbang Kemenag RI dalam acara Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar) pagi para Calon Aparat Sipil Negara atau Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kemenag RI, tahun 2019 di Hotel Grand Park Pabean Cantikan Surabaya. Selasa, 09/09/2019. Acara in diikuti oleh seluruh CPNS lintas institusi di Kemenag. Ada yang dari UIN dan IAIN, ada yang dari badiklat, Kantor Kemenag Provinsi dan juga Kabupaten se Jawa Timur. Acara ini dipandu oleh Pak Muhsinun dan juga Pak Dr. Abdul Main, Widya Iswara Badiklat, yang rupanya popular di kalangan para CPNS. Ahli memberikan motivasi dan menyanyi, katanya.
Saya diberikan kesempatan untuk memberikan materi mengenai “Moderasi Agama” yang saya kira merupakan materi penting bagi para ASN Kementerian Agama di Indonesia. Mengapa Moderasi agama penting untuk disampaikan kepada calon aparat negara. Hal ini merupakan pertanyaan penting, sebab mereka merupakan pelanjut dari ASN yang sekarang yang sedang menjalankan tugas dan fungsi untuk kepentingan negara dan masyarakat.
Kita sebagai ASN adalah garda depan pengawal terhadap Pancasila dan NKRI, sebagai falsafat dan bentuk negara yang sudah disepakati oleh para founding fathers negeri ini. Tidak boleh ada keraguan tentang penetapan Pancasila sebagai dasar negara dan juga NKRI sebagai bentuk negeri ini. Kita semua harus meyakini bahwa pilihan tersebut merupakan pilihan yang tepat dan harus menjadi landasan kita semua di dalam pengabdian kepada negara dan bangsa.
Negeri ini mempercayakan pengelolaannya untuk kepentingan rakyat kepada para aparatnya. Para aparat negara (state apparatus) yang akan menentukan bagaimana bentuk pelayanan yang sesungguhnya kepada masyarakat. Negeri ini baik jika aparatnya baik dan negeri ini akan hancur jika aparatnya jelek. Baik buruknya sebuah negeri akan sangat tergantung kepada baik buruknya aparat negaranya. Makanya, bagi para pemuda yang akan menjadi aparat negara tentu harus mempertimbangkan pilihannya, apakah kita akan menjadi aparat negara yang baik atau aparat negara yang jelek. Pilihan itu ada di tangan kita semua.
Kementerian Agama mengusung “Moderasi Beragama” sebagai ujung akhir dari seluruh missi dan programnya. Apapun intitusinya, selama institusi tersebut berada di bawah koordinasi Kemenag, maka harus menjadikan Moderasi Beragama sebagai tujuan dan target akhirnya. Di Kemenag, ada sejumlah Direktorat Jenderal Bimbingan Agama-agama, terdapat Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Sekretariat Jenderal, Badan dan sebagainya, maka seluruh missi dan programnya tentu harus bermuara pada Moderasi Beragama. Ibaratnya, jika hilirnya adalah program-program Kemenag berdasarkan atas seluruh institusinya, maka muaranya ialah moderasi beragama. Institusi bimbingan agama-agama, pendidikan agama, penelitian dan juga pelayanan umrah dan haji harus bermuara pada Moderasi Beragama.
Sebagai ASN kita sedang menghadapi banyak tantangan, di antaranya ialah gerakan radikalisme, ekstrimisme dan terorisme, yang bisa merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Beragama secara radikal dalam konteks positif atau beragama secara kaffah tentu baik dan wajib, misalnya menjadi pemeluk Islam yang taat pada ajaran agamanya. Akan tetapi ketaatan pada agama itu harus ditempatkan di dalam kerangka sebagai warga negara Indonesia bukan sebagai warga negara asing. Misalnya dengan keinginan untuk mendirikan negara selain NKRI yang berdasar atas Pancasila. Maka, jadilah Orang Islam yang berada dan menjadi warga negara Republik Indonesia.
Sebagai ASN jangan terpengaruh dengan issu-issu yang tidak jelas, misalnya dengan keinginan mendirikan negara khilafah dan jargon-jargon politik lainnya. Kita sudah memantapkan diri bahwa Pancasila dan NKRI adalah pilihan final bagi bangsa ini. sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh KH. Sahal mahfudz, bahwa Pancasila dan NKRI itu pilihan final bagi bangsa ini, sehingga tidak perlu ada pilihan-pilihan lainnya. Menjadi orang Islam yang baik, dan menjalankan agamanya dengan benar sekaligus juga sudah menjadi warga negara yang baik, selama tidak berpikir dan bertindak untuk mengambil ideology lain bagi bangsa ini. Umat Islam yang baik adalah umat Islam yang menjalankan agamanya dengan baik dan sekaligus juga meniadi warga negara yang baik.
Kita tidak boleh terprovokasi dengan gerakan radikalisme yang mengandung kekerasan, intoleran, saling mengkafirkan dan menganggap tafsir agamanya sendiri yang benar. Kita harus berpaham bahwa selain kita ada orang lain, dan juga ada pemahaman agama yang berbeda dengan kita. Jangan mengkapling surga untuk dirinya sendiri. Seperti kata Imam Samudra, bahwa untuk masuk surga itu harus pernah berperang sebanyak Nabi Muhammad saw melakukan peperangan, kurang lebih 80 kali. Jadi jihad menuru kaum garis keras itu adalah “perang offensive” perang terbuka sebagaimana Nabi Muhammad saw dahulu melakukan peperangan. Ini yang berbeda dengan para Jumhur Ulama (mayoritas ulama) yang menyatakan bahwa jihad itu adalah berupa berusaha secara sungguh-sungguh. Termasuk menjadi ASN yang baik dan serius merupakan bentuk dari jihad fi sabilillah. Menegakkan keadilan, kesetaraan, kerukunan, kesejahteraan dan pelayanan yang baik merupakan bentuk jihad fi sabilillah tersebut.
Kita sedang menghadapi perang melalui media sosial yang disebut Proxy War atau Cyber War. Perang di zaman sekarang itu tidak sebagaimana perang di masa lalu, perang fisik dan persenjataan akan tetapi perang sekarang itu adalah perang melalui media sosial. Di Cyber War itu yang terjadi ialah hate speech, character assassination, hoax, dan lainnya. Inilah perang sesungguhnya di era sekarang ini. Oleh karena itu, saya berharap agar para ASN berhati-hati. Jika kita menerima informasi agar di- check and recheck atau saring dahulu apakah informasi tersebut benar atau salah, berita bohong atau fakta sebenarnya. Makanya berlaku satu rumus, saring sebelum sharing atau check and recheck before sharing. Jangan pernah terjebak untuk menyebarkan berita hoax yang nanti akan merugikan kita sendiri.
Kita masih bersyukur bahwa para generasi milenial kita ini –berdasarkan survey—masih menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, sebanyak 88 persen dan sebanyak 12 persen yang manyatakan ingin menggantinya. Artinya, secara umum generasi milenial kita masih setia kepada negerinya sendiri, yaitu dengan memilih Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi tentu perlu diwaspadai sebab angka 12 persen itu tentu cukup besar dan jika tidak dimanej dengan benar akan bisa bertambah dan merugikan kita semua.
Disinilah arti penting keberadaan ASN itu menjadi agen negara yang bertindak jelas untuk berjuang memantapkan Pancasila sebagai ideology negara. Oleh karena itu, jika hari ini ada di antara kita yang masih-ragu untuk memantapkan hati hidup dengan Pancasila sebagai falsafat bangsa dan NKRI sebagai bentuk final negeri ini, maka mari kita renungkan apakah kita layak menjadi ASN yang seharusnya menjadi agen negara dalam menjalankan amanah negara, sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Kami berharap kita semua sudah yakin, dan keyakinan itu adalah bentuk syukur kita karena kita terpilih menjadi ASN di Negeri Tercinta Republik Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.