Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENCANDRA KABINET INDONESIA KERJA JILID II

MENCANDRA KABINET INDONESIA KERJA JILID II

Akhir-akhir ini pembicaraan tentang siapa yang akan akan masuk dalam Kabinet Indonesia Kerja Jilid II semakin semarak. Tidak hanya keinginan Partai Politik untuk memasukkan sebanyak-banyaknya kader partai di dalam susunan cabinet Indonesia Kerja, akan tetapi juga siapa dan dari mana saja. Partai Politik pendukung tentu menginginkan jatah partai politik sebagai konsekuensi dari pemihakan partai dan “pendukung”nya terhadap pemenang, tetapi juga sebagai imbal balik atas kemenangan yang raih oleh Calon Presiden dan Wakil Presiden di dalam perhelatan politik akbar tahun 2019.

Tidak hanya parpol yang bereuforia atas kemenangan di dalam pilpres 2019, dengan mengajukan nama-nama yang dianggap kapable di dalam susunan kabinet, akan tetapi dunia kaum priofesional juga ikut bereuforia untuk menebak-nebak siapa orang professional yang dimungkinkan untuk masuk di dalam cabinet. Tentu saja adalah mereka yang sudah memiliki track record bekerja dengan Pak Jokowi. Selain itu juga yang menjadi heboh adalah para pengamat yang terus mengumbar cerita di media, terutama media televisi.

Pada Kabinet Indonesia Kerja Jilid I, jumlah anggota cabinet yang diidentifikasi sebagai professional ialah sebanyak 56 persen sementara itu yang dinyatakan sebagai politisi ialah sebanyak 44 persen. Artinya, secara matematis jumlah yang mewakili unsur professional lebih besar jumlahnya dibanding yang mewakili partai politik. Dari sebanyak 34 Kementerian, maka menteri yang berasal dari professional sebanyak 19 orang, sementara itu yang berasal dari politisi sebanyak 15 orang. Dari yang berlatar belakang politisi, maka sebanyak 4 orang dari PDIP, 4 orang dari PKB, 4 orang dari Golkar, 2 orang dari Nasdem, 1 orang dari PPP dan 1 orang dari Hanura.

Dengan demikian, komposisi cabinet di era pertama kepemimpinan Pak Jokowi juga relative memadai, misalnya dengan memberikan peluang bagi para professional untuk mengabdi dalam bidangnya dan sesuai dengan kapasitasnya. Misalnya Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian PUPR, Kementerian Pendidikan dan sebagainya. Sementara itu kementerian yang bersentuhan langsung dengan masyarakat diberikan kepada parpol, misalnya kementerian Desa dan PDT, Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Ketenagakerjaan, dan sebagainya.

Jika melihat komposisi ini, sesungguhnya Pak Jokowi sudah bisa menempatkan para professional di dalam jajaran kabinetnya. Hanya saja pertanyaannya ialah apakah komposisi kaum professional di dalam cabinet akan ditambah atau stagnan saja. Saya berkeyakinan bahwa Pak Jokowi akan lebih berani untuk menambah pasukan profesionalnya di dalam cabinet Indonesia kerja tahun 2019. Ada pertimbangan rasional mengapa jumlahnya harus lebih banyak, sebab Pak Jokowi di era kedua tentu membutuhkan percepatan banyak hal terutama di dalam merealisasikan janji-janji politiknya yang telah dideklarasikan.

Menurut beberapa pengamat, bahwa sekarang adalah saatnya Pak Jokowi memiliki kemandirian di dalam menyusun cabinet, dan bisa mengoptimalkan hak prerogatifnya untuk kepentingan Indonesia ke depan. Meskipun kita tahun bahwa tidak mungkin untuk mengesampingkan dukungan parpol yang kuat di dalam pilpres, akan tetapi yang sesungguhnya dibutuhkan ialah orientasi kepada kepentingan masyarakat. Memang sebagaimana diakui oleh Pak Jokowi bahwa menteri dari parpol juga memenuhi kriteria professional, artinya meskipun mereka adalah politisi akan tetapi sesungguhnya juga orang yang professional di dalam bidangnya. Di masa Kabinet Indonesia Kerja jilid I, bahwa ada beberapa personal menteri yang berasal dari partai akan tetapi memenuhi indicator sebagai professional.

Dengan demikian, yang sesungguhnya dibutuhkan ialah bagaimana performance menteri yang memiliki track record memadai dalam bidangnya. Misalnya menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, yang memiliki latar belakang panjang sebagai akademisi, meskipun berasal dari partai politik, demikian pula Menteri Perdagangan, yang juga berasal dari Parpol, atau Menteri Dalam Negeri, yang juga berasal dari parpol, dan Menteri Agama yang juga berasal dari parpol. Jadi, sebenarnya yang menjadi ukuran ialah bagaimana latar politik dan profesi yang pernah dilakoni oleh yang bersangkutan dalam kaitannya dengan tugas dan jabatan yang diembannya sebagai menteri.

Pada jabatan kedua sebagai presiden, Pak Jokowi tentu ingin menuntaskan kerja besar yang hendak dicapainya. Yang sudah sangat berhasil ialah mengenai pembangunan jalan tol lintas Jawa, Sumatera dan sebagainya. dahulu kita hanya bisa melihat tol panjang itu di Malaysia, sepanjang perjalanan Johor ke Kualalumpur, kira-kira 4 jam perjalanan. Akan tetapi sekarang kita bisa melihat tol panjang Jakarta-Probolinggo yang memanjang melintasi pulau Jawa. Sebentar lagi klar tol panjang Jakarta-Banyuwangi.

Tentu saja masih ada program lain yang hendaknya diselesaikan, misalnya mengenai gerakan radikal yang tensinya terus meningkat. Makanya, Pak Jokowi harus memilih menterinya yang memiliki konsern terhadap hal ini. Saya menyatakan bahwa untuk urusan ini tidak bisa dipanggul oleh satu menteri, akan tetapi harus lintas Menteri, maka haruslah dipilih orang yang tepat untuk mengeksekusi masalah ini secara mendasar.

Problem lainnya ialah mengenai pengembangan ekonomi yang saya kira perlu percepatan. Sebagai agenda pemerintah, maka juga harus dipilih tim kuat dalam bidang ekonomi untuk kepentingan bertarung di era disruptif, dan era revolusi industry 4.0. Saya kira semua membutuhkan orang yang benar-benar professional agar target tinggi yang dicanangkan presiden bisa terealisasi secara lebih optimal.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..