MEMBACA DUKUNGAN KE PAK JOKOWI MASA JABATAN II
MEMBACA DUKUNGAN KE PAK JOKOWI MASA JABATAN II
Berita yang paling dinanti orang se Indonesia ialah pertemuan antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo pasca pilpres tanggal 17 April 2019. Berita ini bisa menjadi trending topic mengingat bahwa perhelatan politik pra dan pasca pilpres 2019 itu sedemikian keras bahkan mengarah kepada terjadinya upaya untuk makar dan membuat keonaran di dalam negeri.
Kita masih ingat dengan nyata tentang upaya untuk melakukan tindakan anarkhis pada tanggl 22 Juni 2019 tatkala akan dilakukan pengumuman pemenang pilpres 2019. Begitu “mencekam” dan “keras” bahwa di Indonesia akan terjadi kudeta rakyat terhadap kepemimpinan pemerintah sekarang. Hingga saat ini, saya kira masih sedang berlangsung upaya untuk memutuskan siapa sebenarnya yang bertanggungjawab atas “kerusuhan” di Jakarta –wilayah Tanah Abang—beberapa saat yang lalu.
Kekerasan di dalam pilpres sebenarnya dipicu oleh semakin menguatnya politik identitas yang digelindingkan oleh sejumlah tokoh nasional yang menginginkan agar dukungannya memperoleh suara yang signifikan dan memenangkan pertarungan politik, sementara itu kelompok incumbent juga berkeinginan agar pilihannya itu yang memenangkan pilpres 2019. Semuanya merasa akan sukses dan semua merasa akan memperoleh dukungan dengan kampanye yang dilakukannya, sehingga di sana-sini terjadi gesekan demi gesekan yang “rasanya” sulit didamaikan.
Suara sumbang itu tentu masih terdengar. Di media sosial masih nyaring terdengar “pertarungan” wacana di dalam masyarakat kita. Masih dapat dibaca pemberitaan demi pemberitaan yang masih saling menyudutkan dan menyalahkan. Temanya pun bermacam-macam. Ada yang menyebut sebagai kepemimpinan yang tidak legitimate, dan ada yang menyatakan kemenangan yang direkayasa, dan bahkan hakim yang menyidangkan sengketa pilpres juga dianggap sebagai hakim organic yang bekerja untuk kepentingan penguasa.
Pertemuan antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo kemarin mengindikasikan antara dua orang yang saling berhadapan dalam pilpres 2019, dengan tingkat dukungan yang sedemikian heboh dan kuat, sehingga membuat keduanya seakan-akan saling berhadap-hadapan secara fisik, namun sudah berbaikan. Hiruk pikuk dukungan mulai dari wacana people power, delegitimasi kekuasaan, gerakan massa 22 Juni 2019 dan sebagainya, termasuk juga upaya hukum untuk memenangkan tudingan bahwa terjadi ketiadaan obyektivitas KPU dan Hakim dalam pilpres 2019.
Namun upaya untuk memperkeras pilpres tersebut menjadi tidak bermakna di kala Pak Jokowi dan Pak Prabowo bertemu di MRT Jakarta untuk membincang mengenai bagaimana Indonesia ke depan. Pertemuan ini adalah klimaks dari pertarungan politik yang memang harus memenangkan yang satu dan mengalahkan satu lainnya. Dalam pilpres head to head seperti ini, maka dipastikan hanya ada satu pemenang dan ada satu juga yang kalah. Dan dalam pilpres ini seakan mengulang pilpres 2014 lalu, di mana juga bertarung di babak head to head antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Dan waktu itu juga sebagai pemenang Pak Jokowi dan yang kalah ialah Pak Prabowo. Ulangan peristiwa itu tentu menyesakkan bagi pasangan yang kalah, sebab dua kali secara berturut-turut mengalami kekalahan dalam pertarungan pilpres.
Jika dilihat di masa lalu, maka lagi-lagi yang memenangkan Pak Jokowi ialah pemilih tradisional. Saya melihat bahwa dengan mengusung Cawapres Pak Hatta Rajasa, maka pemilih dengan latar kultural NU dipastikan tidak akan memilih Pak Prabowo mengingat sejarah masa lalu, di mana Pak Amin Rais yang satu sekoci dengan Pak Hatta Rajasa adalah motor bagi pelengseran Gus Dur sebagai presiden, selain beberapa nama lainnya, sehingga pilihan orang NU tradisional ialah ke Pak Jokowi dan Pak JK. Apapun Pak JK dianggap sebagai tokoh NU kultural yang tetap disegani.
Dalam pilpres 2019, sebenarnya Pak Prabowo sudah benar dengan memilih Sandiaga Uno sebagai Cawapresnya. Selain muda dan energik juga memiliki kekuatan ekonomi yang baik dan generasi milenal sangat mendukungnya. Namun sekali lagi bahwa orang-orang di sekeliling Pak Prabowo yang dianggap sebagai front of hard liner, maka juga menjauhkan pemilih tradisional untuk memilih Pak Prabowo. Apalagi Pak Jokowi mengusung KH. Ma’ruf Amin yang dikenal sebagai tokoh NU yang tidak diragukan. Jadi meskipun terdapat sejumlah orang NU yang menggagas aliansi anti Pak Jokowi dan ingin berbuat “netral”, namun kekuatannya tidaklah seurgen para tokoh NU lainnya. Maka, sekali lagi Pak Jokowi dimenangkan oleh pemilih tradisional yang kebanyakan berbasis masyarakat pedesaan khususnya di Jawa: Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sesungguhnya pertarungan antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo usailah sudah. Akan tetapi yang menjadi agenda ke depan ialah bagaimana Indonesia pasca 2024. Adakah kelompok moderat masih akan menguasai perhelatan pemerintahan ataukah justru kelompok ideologis lain yang akan memenangkan pertempuran.
Kita tidak ingin seperti Mesir, yang meninggalkan jejak politik yang tidak ideal tetapi menjadi pilihan keharusan. Kita ingin Indonesia tetap menjalankan demokrasi, tetapi didukung oleh semangat kesatuan dan persatuan bangsa. Dan ini jelas pada pilpres 2024 harus dipilih orang yang memiliki semangat NKRI.
Wallahu a’lam bi al shawab.