MENGHILANGKAN PENDIDIKAN AGAMA DARI SEKOLAH
MENGHILANGKAN PENDIDIKAN AGAMA DARI SEKOLAH
Akhir-akhir ini dunia media sosial di Indonesia diramaikan dengan keinginan pemerintah untuk melepas pendidikan agama dari sekolah dan menyerahkannya kepada masyarakat. Ramai sekali pemberitaan di media sosial, sehingga memicu banyak respon dan tanggapan dari masyarakat, baik tokoh agama, tokoh pendidikan maupun kalangan ulama. Tentu ada yang menolak –dan lebih banyak yang melakukan penolakan—dan juga ada yang menerima keinginan tersebut, meskipun secara samar-samar.
Saya termasuk orang yang kurang percaya bahwa ada keinginan pemerintah untuk mengeluarkan pendidikan agama dari lembaga pendidikan dan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Ada beberapa argumen yang membuat saya ragu bahwa pemerintah berkeinginan seperti itu. Ada beberapa kendala yang saya kira tidak mudah untuk mengeluarkan pendidikan agama dari dunia pendidikan formal.
Pertama, kendala regulasi. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional jelas-jelas mengamanatkan tentang pentingnya pendidikan agama dimaksud dalam konteks dilakukan di dalam lembaga pendidikan. Di dalam pasal 30 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan agama dan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Demikian pula dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang juga mengamanatkan tentang pendidikan tinggi keagamaan, yang secara spesifik mengajarkan tentang ilmu agama dan keagamaan. Selain itu juga terdapat Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, yang intinya tentang kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama dan keagamaan.
Kedua, secara historis bahwa pendidikan agama dan keagamaan sudah mengakar dengan sangat kuat dan telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kurikulum di lembaga pendidikan di Indonesia. Pendidikan agama telah menjadi tradisi yang sangat kuat di dalam institusi pendidikan di Indonesia, dan saya kira pendidikan agama telah memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam peningkatan kualitas keagamaan di kalangan masyarakat. Meskipun hanya dua jam dalam sepekan, tetapi dengan tingkat rutinitas yang terjaga maka secara jelas memberikan gambaran tentang keberadaan pengaruh pendidikan agama bagi anak didik dimaksud.
Kita merasa senang dengan perkembangan pemahaman dan pengamalan agama yang terjadi dewasa ini. Dan saya kira pendidikan agama di institusi pendidikan tentu memiliki pengaruh, meskipun disadari bahwa pengaruh lebih besar tentu karena pembelajaran agama melalui factor eksternal, misalnya Taman Pendidikan Agama, Lembaga Tahfidz Al Qur’an, Rumah Al Qur’an, madrasah diniyah dan sebagainya. Selain itu juga semakin banyak lembaga pesantren dan lainnya yang berkontribusi bagi peningkatan pemahaman dan pengamalan agama.
Ketiga, sumber daya guru agama yang saya kira sangat banyak. Saya tidak tahu persis berapa jumlahnya, akan tetapi problemnya ialah akan dibawa kemana mereka yang secara fungsional sudah memiliki kontribusi bagi pengembangan kehidupan beragama dan juga secara structural telah memiliki status sebagai guru professional. Jadi akan terjadi tingkat keributan yang luar biasa terkait dengan pengalihan, penempatan dan pemberian tugas baru dan tugas lanjutan bagi para guru agama. Oleh karena itu, menghilangkan pendidikan agama di sekolah adalah tindakan yang tidak tepat sesuai dengan realitas empiris yang telah mentradisi dewasa ini.
Keempat, di era Pak Jokowi dan JK memimpin negeri ini, dapat dilihat bagaimana upaya untuk memperkuat pemahaman dan pengamalan beragama, misalnya dengan diupayakan untuk membuat kerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan. Pendidikan agama yang hanya dua jam dalam sepekan, kemudian dikembangkan dengan tambahan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan atau diselenggarakan di sekolah. Seirama dengan diberlakukannya program lima hari kerja untuk institusi pendidikan dasar dan menengah, maka tambahan pendidikannya ialah pada dimensi pendidikan budi luhur berbasis agama. Meskipun program ini semula ditolak oleh banyak orang, akan tetapi program ini tentu sangat penting sebab bertujuan untuk menambahkan kualitas pendidikan agama di kalangan anak didik. Jadi, saya kira upaya untuk memperkuat pendidikan agama ternyata sudah dilakukan di era yang lalu.
Ketika diangkat program ini, maka keberatannya ialah program ini akan mematikan lembaga-lembaga pendidikan agama yang diinisiatifkan oleh masyarakat maupun organisasi keagamaan. Seperti diketahui bahwa NU memiliki banyak program madrasah diniyah, demikian pula Muhammadiyah dan organisasi-organisasi lainnya. Namun demikian akhirnya ditemukan solusi bahwa sekolah bisa bekerja sama dengan lembaga pendidikan agama untuk penyelenggaraan program ini.
Melalui basis regulasi, sejarah dan implementasi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah, rasanya keinginan untuk meniadakan pendidikan agama di sekolah bukanlah tindakan strategis untuk bangsa dan negara. Harus diakui bahwa pendidikan agama tentu memiliki kontribusi yang jelas bagi masyarakat, sehingga tidak logis jika pendidikan agama ditiadakan.
Dan bagi saya, sungguh pikiran yang tidak logis dan bertentangan dengan upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah sendiri dalam mendorong penguatan pendidikan agama. Oleh karena itu, saya akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa rasanya tidak mungkin upaya untuk menihilkan pendidikan agama di sekolah akan dilakukan.
Jangan lupa, bahwa sekarang sedang banyak tersiar informasi-informasi yang menyesatkan di tengah hiruk pikuk cyber war yang memang diupayakan untuk mengoyak kebersamaan. Makanya, mari kita sikapi informasi-informasi tentang upaya pemerintah untuk mendegradasi atau bahkan menghilangkan pendidikan agama dengan sikap yang lebih dewasa dan rasional.
Wallahu a’lam bi al shawab.